Saturday, March 31, 2012

Rintikan Hujan Terakhir

Lelaki normal manapun akan memberi kesan yang sama pada gadis itu pada pertama kali melihatnya. Cantik. Lalu deretan pujian lainnya yang menegaskan dan hampir menutupi kekurangan gadis itu ketika mulai mengenalnya dan mencari tahu tentangnya. Cerdas, alim, salehah dan membuat lelaki manapun berharap dapat memiliki atau sekedar menjadi teman dekatnya.
Setidaknya, itulah yang ada di pikiran Rama pada Tika setelah pertemuan mereka yang berawal dari beberapa bulan terakhir dan membawa kedekatan hingga saat ini. Kedekatan itu seharusnya membuatnya bersyukur, bukan? Karena bagaimanapun gadis itu membuat hari-harinya jauh lebih baik dan tentunya membuat lusinan lelaki yang lain menatap iri padanya. Bukannya membiarkan gadis itu pergi tak ingin melihatnya seperti ini.
Tangan kanan Rama mencengkram setir sementara tangan kirinya memencet tombol-tombol di ponselnya. Sederet angka tertera di layar ponselnya, angka yang sudah dihafalnya di luar kepala. Tentu saja sudah dicoba untuk menghubunginya beberapa kali, namun operator ponsel selalu mengatakan bahwa pemilik ponsel itu sedang sibuk. Benarkah sedang sibuk? Ia sendiri tidak yakin dengan gagasan itu. Karena mungkin lebih tepatnya gadis itu tidak ingin menjawab teleponnya.
Matanya menatap datar ke depan sementara otaknya bekerja keras menyusun kata-kata yang tepat untuk dijadikan alasan. Ia berharap ada sedikit pencerahan untuk pikirannya agar bisa memberikan alasan yang logis sehingga membuat gadis itu percaya padanya. Mengingat tatapan gadis itu tadi yang benar-benar tidak bersahabat itu benar-benar membuatnya bersalah. Sangat berbeda dengan tatapan biasanya ataupun tatapan saat pertama kali mereka memulai percakapan.
Ia tersenyum getir ketika mengingat saat pertama kali takdir mempertemukannya dengan gadis itu. Gadis itu datang menghampirinya dan memanggil namanya. Kejadian yang tidak mungkin terlupakan dalam memori Rama.
“RAMA!!” seru gadis itu sambil menepuk kaca jendela mobilnya dan terpaksa membuatnya berhenti mengendarai. Ia keluar dari mobilnya dan mendapati seorang gadis berkerudung dengan sorot mata memohon.
“Tika? Kenapa?” tanyanya keheranan.
“Aku tahu aku pasti sangat mengganggumu, tapi aku mohon bantuanmu,” lalu gadis yang dipanggil Tika itu mengeluarkan secarik kertas dari tasnya, “kau bisa mengantarku ke tempat ini? Aku harus bertemu dengan kakakku disana,”
Rama membaca barisan huruf di carikan kertas itu, sebuah alamat yang tertulis disana kebetulan tidak jauh dari tujuannya. Lalu ia menatap gadis yang masih dengan tatapan memohon itu sambil mengulas senyum seramah-ramahnya. “Tidak masalah, kebetulan aku ingin melewati jalan yang sama,” katanya sambil melangkah ke pintu penumpang depan seraya membuka pintunya dan mempersilahkan Tika masuk. Dengan cepat Tika masuk ke dalam mobil mengingat hari itu langit sedang tidak bersahabat. Siapapun bisa berpendapat bahwa hujan deras kemungkinan besar akan mengguyur kota ini.
Setelah menduduki kursi pengemudi dan memasang sabuk pengaman, Rama langsung mengendarai mobilnya keluar area parkiran kampus mereka.
“Aku minta maaf lagi kalau aku benar-benar mengganggumu,” gumam Tika membuka percakapan di antara mereka.
Rama menoleh sekilas ke arah Tika yang duduk di sampingnya sebelum ia menatap fokus ke depan, “tidak apa-apa, santai saja. Aku sama sekali tidak keberatan,” sahutnya pada gadis di sebelahnya dengan sikap setenang mungkin.
Kalau ia boleh jujur, sebenarnya ia tentu merasa sangat senang bisa membantu gadis berkerudung yang menjadi pusat perhatian teman-temannya selama ini. Sama seperti mahasiswa yang lain, ia juga berharap bisa menjadi sekadar teman yang baik untuk gadis ini. Namun, nyalinya yang kecil menghalangi segalanya sehingga ia tidak punya keberanian untuk berkomunikasi dengan Tika, apalagi bermimpi untuk bisa menjadi seseorang yang penting bagi gadis itu. Dan sekarang, gadis itu datang sendiri meminta bantuannya. Kesempatan bagus, dan tidak mungkin ia menolaknya, bukan?
“Sudah sampai,” gumam Rama pelan ketika mobilnya berhenti di depan rumah kecil. Ia sendiri tidak sadar selama perjalanan tidak mengeluarkan suara sama sekali, sibuk dengan degup jantungnya yang tidak keruan. Dalam hati ia merasa bodoh, seharusnya ia menggunakan kesempatan ini untuk berkomunikasi dengan Tika.
Namun tidak ada reaksi dari gadis itu, membuat Rama menoleh dan menatap Tika yang memiringkan kepalanya ke kiri sementara kedua matanya tertutup rapat. Tidurkah ia? Dalam suasana dingin seperti ini, tidur memang alternatif terbaik. Karena hujan deras sudah mengguyur kota ini.
Rama tersenyum kecil setelah menyadari bahwa ia sudah lama menatap Tika. Karena selama ia mengenal Tika, belum pernah ia menatapnya sedekat ini. Pelan-pelan ia memundurkan posisinya supaya tidak menimbulkan kecurigaan, lalu menepuk bahu Tika dan memanggil namanya pelan.
Gadis itu pelan-pelan bergerak, mengusap matanya lalu menatap sekeliling, “Sudah sampai ya? Aduuuh maaf aku tertidur,” ucapnya bersalah.
Rama tersenyum kecil, “Tidak apa-apa. Oh ya, kau bisa gunakan jaketku, di luar hujan deras, nanti kau kedinginan,” dalam hati ia tahu, tindakannya sungguh pasaran. Namun ia tidak ingin melihat gadis di sampingnya ini menggigil kedinginan lalu jatuh sakit.
Tika buru-buru menggeleng, “Tidak perlu, sungguh!” lalu gadis itu merogoh tasnya dan mengeluarkan sesuatu. Payung. “Tenang saja, aku tidak akan kehujanan,” elaknya sambil tersenyum.
Meskipun Tika sudah menolak, tak urung Rama mengambil jaketnya dan melampirkannya ke atas pundak gadis itu, “Jangan sungkan, pakai saja.”
Tika tersenyum dan menerima jaket itu, “Terima kasih, secepat mungkin akan kukembalikan,” katanya sambil membuka pintu. Lalu ia membuka payungnya dan keluar dari mobil itu.
Ia tidak pernah menyangka sebelumnya, awal bertemu dengan gadis itu membuat sesuatu yang tak berani diimpikannya berubah menjadi kenyataan.
Mereka menjadi dekat. Siapapun bisa menyimpulkan bahwa kedekatan mereka bukan sekadar sahabat biasa. Hal itu bisa dilihat dari cara mereka memandang satu sama lain, bentuk perhatian yang diberikan, bahkan panggilan khusus yang mereka buat.
Dan tentu saja Rama memanfaatkan kedekatan mereka untuk mengutarakan perasaannya pada Tika, berharap sinyal positif yang selama ini gadis itu berikan padanya adalah semata-mata karena gadis itu memiliki perasaan yang sama dengannya. Berharap Tika menerimanya dan dengan begitu ia berjanji untuk tidak menyakitinya.
Beberapa hari setelah hari pengungkapannya, gadis itu memberikan jawaban. Tika  menerima perasaan Rama dan membuat Rama terkesima tak percaya. Tidak percaya bahwa tidak ada lagi hari-hari dimana ia hanya mengagumi gadis ini secara sepihak, tidak ada lagi pertanyaan-pertanyaan tentang perasaan Tika padanya yang belakangan ini mendominasi pikirannya, tidak ada lagi rasa takut ketika melihat lelaki lain yang menjadi pesaing baginya untuk mendapatkan Tika. Dalam hati ia berjanji akan melindungi dan menyayangi Tika dengan seluruh jiwa raganya dan ia juga berjanji untuk tidak membuat gadis ini pergi.
Beberapa bulan kemudian, Tika meminta Rama untuk bertemu dengan kedua orang tuanya. Rama setuju. Dan pada hari itu pulalah, ia mengunjungi rumah Tika selepas mereka selesai kuliah. Orang tua Tika menyambutnya dengan ramah, ia dipersilahkan untuk memakan jamuan yang ada dan sempat mengobrol dengan keduanya selama beberapa jam sebelum ia meninggalkan rumah Tika.
Secara tersirat ia menyimpulkan bahwa ayah Tika berharap bahwa ia serius menjalani hubungan dengan putrinya. Dengan optimis, Rama menyanggupinya tanpa ragu.
Selanjutnya adalah hari yang sulit baginya untuk menghubungi Tika. Perbedaan jadwal kuliah semester baru membuat mereka sulit bertemu, ditambah lagi jadwal kegiatannya yang tak kalah padat. Namun sebisa mungkin ia tidak benar-benar kehilangan kontak dengan gadis itu. Lalu ia bertemu dengan Noni, seorang gadis berkerudung modis yang menjadi teman barunya di kegiatan yang baru-baru ini diikutinya.
“Mau pulang bersama?” tawar Noni padanya ketika ia sedang membereskan peralatannya ke dalam tas.
Ia menatap gadis itu, “terima kasih, Noni. Kebetulan aku bawa mobil jadi bisa pulang sendiri.” Tolaknya halus.
“Oh, kau bawa mobil?” tanyanya sambil menatap Rama, “kalau begitu bagaimana kalau kau mengantarku pulang? Hari ini aku tidak bawa kendaraan. Boleh ya?” pintanya dengan nada memohon.
Berbeda dengan Tika, gadis berkerudung modis di depannya ini lebih ekspresif dan sangat percaya diri. Belakangan ini ia selalu pergi bersama-sama dengan Rama meskipun sebenarnya ia tahu Rama sudah memiliki Tika. Awalnya Rama terus menolak tawarannya, tapi akhir-akhir ini penolakannya sudah berkurang, bahkan terkadang Rama suka mengajaknya ke berbagai tempat.
Rama mengulas senyum setelah membereskan peralatannya. Ia sudah tahu dari berbagai sumber bahwa Noni menyukainya. Awalnya ia keberatan dengan segala tawaran yang diberikan oleh gadis itu, namun lama-kelamaan ia tidak lagi menolak. Setidaknya ia bisa memperlakukan gadis itu sebagai teman dekatnya, atau teman untuk sekadar berbagi cerita. Karena di matanya, Noni adalah gadis unik. Dan mungkin di luar perkiraannya, kedekatan mereka selama ini bisa memutarbalikkan perasaan meskipun ia berusaha menolaknya.
Rama menatap Noni yang masih di depannya, “baiklah,” jawabnya. Noni tersenyum penuh kemenangan dan segera menggamit tangan Rama, sama seperti yang biasa ia lakukan belakangan ini. Rama sama sekali tidak menolak, bahkan ia menyambut tangan gadis itu dan membawanya ke mobil.
“Hari ini kau langsung pulang atau ingin jalan-jalan dulu?” tanya Noni begitu mobil sudah melaju meninggalkan area kampus.
“Sepertinya langsung pulang.”
“Begitukah?” Noni mengerucutkan bibirnya dan menengok ke arah Rama sambil tersenyum, “padahal tadinya kupikir kau ingin jalan-jalan dulu,”
Rama menengok ke arah Noni sebentar lalu mengalihkan lagi ke arah depan, “Oh ya? Kau ada rencana jalan-jalan kemana?”
Noni menyebutkan sebuah mall dengan mata berbinar-binar, berharap Rama menuruti keinginannya. Dan senyum kemenangannya kembali mengembang ketika Rama memberhentikan mobilnya tepat di lantai dasar mall yang ia sebutkan tadi.
“Kita kemana dulu ya? Kau ada ide?” tanya  Noni riang sambil mengayunkankan tangan kanannya yang menggenggam tangan kiri Rama.
“Hmm.. bagaimana kalau kita makan dulu? Aku lapar..” usul Rama sambil mengulas senyumnya.
“Oke,” Noni mengangguk, “Kalau begitu aku yang pilih tempat,”
Mereka baru saja ingin berbelok ke arah foodcourt, namun langkah Rama terhenti seolah terpaku di tempatnya. Matanya terbelalak ketika menatap pasang mata yang lain di seberangnya dengan pandangan terluka. Meskipun pemilik pasang mata itu tidak menggurat apapun di wajahnya, namun Rama yakin benar, ada bara api yang menyala di bola mata itu. Kemudian pemilik pasang mata itu berlari menghindar sebelum ia sempat menghampirinya.
Tika, lirihnya. Sebagian pikirannya merasa ia sudah terjebak, namun pikiran lain mengatakan ia justru menikmati dan tidak masalah kalau terperosok ke dalamnya.
***
Berhenti meneleponku, besok temui aku di Café biasa.
Rama menghela napas dan menghembuskannya dengan keras setelah membaca pesan itu. Baiklah, ia akan berusaha bersabar menurut kata Tika untuk menjelaskan semuanya besok.
***
Entah sudah berapa lama hujan di luar mulai menderas, ia tidak tahu. Atau yang lebih tepatnya lagi, ia tidak ingin tahu. Karena semenjak langit mendung dan hujan belum turun, ia sudah duduk di depan gadis ini dan belum menjelaskan apapun. Terdiam dan sibuk menyusun kata-kata juga mengendalikan emosinya yang meluap.
Tika mendengus, “baiklah, kalau begitu aku yang mulai bicara,” gumamnya sambil melirik ke arah Rama yang masih bergeming.
“Maaf kalau aku tidak memberitahumu tentang ini. Sebelumnya aku masih menerka pemikiran orang tuaku yang secara tersirat menolakmu tanpa sebab, untuk itu aku berusaha mencari tahu alasannya dengan caraku, tanpa berkomunikasi denganmu.”
Rama masih bergeming, namun dari sorot matanya terlihat ia menunggu kelanjutan penuturan Tika. Sayangnya perhatiannya teralihkan dan terkejut ketika seseorang bergabung dengan mereka dan dengan santai menarik bangku kosong yang ada lalu duduk di atasnya.
“Maaf aku datang terlambat.” sahutnya
“Noni?” gumamnya lebih pada diri sendiri. Ia tidak percaya dengan penglihatannya, dan pikirannya buntu untuk menebak apapun.
Mendadak suasana menjadi dingin, sampai sebuah suara memecahkan, “Rama, bisa kulanjutkan penuturanku?” tanya Tika padanya.
Rama mengangguk lemah. Tak sadar ia menatap kedua gadis di depannya secara bergantian. Berusaha menemukan sesuatu.
“Aku sangat bersyukur pada Allah karena Ia memberitahukan semuanya sebelum kita melangkah lebih jauh, meskipun jawaban yang Ia berikan sama sekali bukan jawaban yang kumau..”
“Tika,” sela Rama tak sabar, “tolong jelaskan, aku benar-benar tidak mengerti!” serunya meninggi.
Tika mengangguk,  “singkat cerita, aku yang mengatur semuanya. Noni adalah sepupuku sekaligus tempat curhatku. Ia tidak ingin terus-terusan melihatku memendam semuanya, maka ia bersedia membantuku. Sekaligus ia ingin tahu seperti apa sifat calon suamiku.”
“Oh ya, Rama,” sela Noni menambahkan, “aku yang berusaha keras untuk memaksa Tika tidak menemuimu dan meminimalisir komunikasi kalian. Tentu saja karena aku tidak ingin laki-laki manapun hanya menjadikannya boneka. Oh ya, aku juga minta maaf selama ini. Semua ungkapanku, tentu saja kau bisa menyimpulkannya kalau itu bukan sungguhan, bukan?”
Rama benar-benar tercengang, tidak percaya. Ia tidak bisa berkata-kata apapun, seakan mulutnya terkunci. Pikirannya benar-benar menolak kenyataan ini. Kenyataan bahwa ia terperangkap dalam jebakan dan ia bermain di dalamnya. Ia tidak tahu siapa yang jadi tersangka disini. Tidak ada yang salah dan bersikap egois disini menurutnya.
Sampai akhirnya, di detik berikutnya ia baru menyadari bahwa ia-lah tersangkanya!
“Aku sudah menjelaskan semuanya. Ada yang ingin kaujelaskan? Kalau ada, aku bersedia mendengarkannya.” Ujar Tika bijak.
Berkali-kali otaknya berpikir keras, menemukan pencerahan. Meskipun ia sudah berusaha puluhan kali mencoba menyusun kalimat yang tepat, namun lidahnya yang kelu menggagalkan semuanya. Ia mendengus keras, kesal, hingga akhirnya ia hanya mampu melirihkan kata maaf dengan memalingkan muka.
Dari ujung manik matanya, ia menangkap Tika yang tersenyum. Senyum yang ia yakini adalah senyum bijak yang dibuatnya sebisa mungkin. Karena dari sorot mata gadis itu terlihat guratan kekecewaan, juga keterlukaan. Dan tampaknya kali ini matanya ingin mengeluarkan air mata yang sebenarnya sudah ditahannya.
“Terima kasih, Rama.” Ucap Tika. “Terima kasih untuk selama ini,” lalu tetesan bening itupun jatuh sebelum ia sempat menyekanya.
Rama tahu meskipun Tika tidak mengucapkannya secara langsung bahwa kata-katanya yang tadi adalah ucapan perpisahan. Maka dari itu, ia tidak mencoba menghalangi apapun yang ingin dilakukan gadis itu. Bahkan ketika gadis itu dan sepupunya beranjak dari bangkunya, keluar café dan meninggalkannya.
Hari itu, tepat di rintikan terakhir hujan di luar café, ia melihat bayangan kedua gadis itu. Dan sekaligus sebagai rintikan hujan terakhir setelah ribuan rintikan hujan yang pernah ia lewati bersama gadisnya.

Behind The Story 'Rintikan Hujan Terakhir'

Hari itu tiba dan seharusnya aku tidak perlu sesedih ini, tidak perlu sekecewa ini, tidak perlu memaksakan senyum seperti ini..
Karena bagaimanapun, rasanya aku mulai terbiasa dengan keadaan ini. Keadaan dimana lagi-lagi aku keluar sebagai bukan pemenang. Seharusnya aku tahu, seharusnya aku sadar, namun kenyataannya adalah rasa nekat yang mendominasi pikiranku sehingga membuatku tetap melangkah maju meskipun aku tahu bagaimana akhir ceritanya. Karena sebagian pikiranku mengatakan bahwa aku hanya perlu mencobanya.
Lalu pengumuman itu datang dan rasanya aku ingin bisa menulikan pendengaranku saat itu juga karena terlalu tidak siapnya untuk mendengar siapa pemenangnya. Antara optimis dan pesimis beradu, dan bolehkah aku bersikap terkejut ketika lagi-lagi kekalahan yang kuterima?
Karena pada kenyataannya, kata gagal lebih banyak tertulis di dalam daftar hidupku belakangan ini daripada kata menang. Dan biasanya pada saat itu aku hanya perlu tetap berpikir positif pada Allah, mungkin saja ada skenario yang indah pada saatnya...
Allah tahu yang terbaik untuk hamba-Nya. Ya, aku selalu berpegangan dengan kata-kata itu..

Friday, March 23, 2012

TOMCAT=BINATANG LAMPU [???]

Ternyata baru akhir-akhir ini ada berita mengejutkan tentang seekor binatang baru yang katanya sedang meresahkan rakyat yang bernama Tomcat. Pers menyebarkan beritanya bahwa Tomcat baru datang ke Jakarta.
Bagi siapapun yang percaya ini, tolong hilangkan kepercayaan itu. Karena entah mengapa Pers menyebarkan berita yang sama sekali gak update ini, padahal aku pribadi udah kenal baik dengan binatang itu sejak kira-kira 3 tahun yang lalu, dan aku yakin kakak kelasku atau temanku juga bisa mengenal binatang ini jauh sebelum aku tahu. Tapi saat itu kami menyebutnya sebagai Binatang Lampu, karena tidak tahu bahwa nama aslinya adalah Tomcat.
Jadi ceritanya, waktu aku sekitar kelas 1 SMA dulu, aku bertempat di asrama yang bernama Granada lantai 3. Granada itu sebuah gedung tua yang terkenal bagi anak satu sekolah. Karena saking tuanya jadi ga heran kalau seandainya ada binatang aneh yang datang dan menyebabkan penyakit kulit ga jelas. Salah satunya Tomcat itu.
Binatang ini semacam lebah yang gak terima kalau temannya mati atau tersakiti. Jadi kalau ada manusia yang mematikan temannya, maka manusia itu harus bersiap kalau suatu saat kulitnya akan terluka karena ulah si Tomcat.
And i'm includding..
Aku sempat membunuh Tomcat yang besar lalu tiba-tiba mendapatkan mataku agak bentol sehabis bangun tidur siang. Awalnya aku tidak mempermasalahkan karena kukira hanya bintitan biasa. Tapi kenyataannya semakin hari jadi makin aneh bentuknya, ada baretan yang menyebabkan luka sampai akhirnya memerah. Puncak-puncaknya mataku jadi seperti habis kena tonjokan sehingga melebam gak jelas. Oh ya saat itu Tomcat menyerang mata kiriku. Dan rasanya benar-benar menyedihkan, ditambah lagi aku harus ikut foto untuk kegiatan saat itu. Oh dear, kalau seandainya foto itu jelas, pasti siapapun yang melihat bakal menyimpulkan kalau itu bukan foto anggota kegiatan, melainkan foto korban KDRT ! Namun Allah melindungiku, karena yang terjadi adalah foto itu tidak begitu jelas. Alhamdulillah..
Jadi untuk siapapun yang tiba-tiba berhadapan dengan binatang ini, jika ingin membunuhnya harap lewat perantara benda dan tidak menyentuh langsung ke kulit. Contohnya; memukul Tomcat hingga mati. Karena aku pernah menggunakan cara ini dan resiko Tomcat balas dendam kecil..  

Thursday, March 22, 2012

BIG ANNOUNCEMENT

Akhir-akhir ini banyak yang bilang padaku kalau blogku ini gak bisa di coment. Benarkah?
Kali ini aku coba ngotak-ngatik, dan siapapun yang blog-walking disini mohon bantuannya yaa..
sekarang sudah bisa di coment atau belum? Kalau bermasalah tolong berikan komentar di Chatbox..
Sip, thank you, terima kasih :)

Wednesday, March 21, 2012

KECELAKAAN

Dulu aku pernah punya prinsip, selama aku belum terkenal atau belum dikenal oleh banyak orang maka aku tidak perlu malu untuk melakukan kesalahan, bahkan kesalahan yang terkadang bikin malu..
sebagai contoh, aku dengan ke-sotoy-anku jalan kaki melawan arus dari pasar jum'at ke terminal lebak bulus yang sebenarnya lumayan jauh dan sempat diketawai banyak orang. Dan posisiku tentu saja pura-pura cool padahal dalam hati malu banget.
Terus adegan lain adalah aku salah masuk jalur busway. Seharusnya jalur masuk yang aku pakai malah yang terjadi ngikutin petugas yang seenaknya makai jalan keluar untuk masuk. Tentu saja aku diketawain lagi dan lagi..
Dan yang terjadi kali ini adalah aku sempet tabrakan motor. Gak parah, dan gak menyebabkan kelukaan sama sekali. Tapi tentu saja bikin panik, takut, merinding, sama menggigil ga jelas. Sampai-sampai pikiranku terus kebayang tentang adegan itu dan gak bisa berpikir jernih saking shocknya. Mungkin dalam waktu dekat ini aku bakalan trauma buat naik motor, karena yang aku tau penumpang bisa dapat luka yang lebih parah daripada pengemudi kalau kecelakaan.
Sempat terlintas tentang adegan kecelakaan di film 49days, seseorang yang koma dan arwah berpisah dengan jasadnya. Ya, mungkin agak aneh gak jelas gitu kenapa justru merujuk kesini tapi entah itulah yang terjadi saat aku tabrakan dan jatuh. Banyak kemungkinan yang terjadi saking meracaunya pikiran sampai menimbulkan kata 'seandainya'..
Ternyata Alhamdulillah karena Allah masih menyelamatkanku dalam posisiku sebagai penumpang yang jatuh, dan temanku yang sebagai pengemudi tanpa kelukaan apapun. Dan lagi-lagi Alhamdulillah karena Allah menghentikan laju container di belakang kami ketika kami terjatuh... Alhamdulillah!
Banyak yang menolongku disitu, juga menolong pengendara motor yang posisinya sebagai lawan tabrakan kami. Meskipun hanya sebagai penumpang, rasa malu, panik takut tentu aja ada..
Dan rasanya itu kesalahan fatal yang terjadi.. 

Saturday, March 17, 2012

Tulisan Pertama di bulan Maret

Harusnya, lebih baik bikin tulisan di awal bulan. Tapi maaf ya sodara-sodara, aku baru mulai posting lagi-lagi di pertengahan bulan. Maklum, di bilang sibuk.. nggak. Kalo dibilang males mungkin....iya! hehehe :D
Lanjut ke cerita..
Tiba-tiba aku mau nyeritain tentang kejadian bulan Maret sekitar dua tahun yang lalu dimana aku masih kelas 2 SMA. Dan siapapun yang pernah mengalami kesempatan kali itu pasti ngerasa kan, kalau di umur segitu lagi labil-labilnya? Dan tentu saja si 'labil' itu sempet ketemu denganku dan mempengaruhi daya pikirku untuk jadi lebih iseng! Ya, iseng. Pekerjaan yang secara langsung bikin kepuasan batin banget kalo sukses.
Jadi waktu itu, si Tuyus, temen sekamarku ulang tahun di akhir Maret. Tentu saja insting isengku yang lagi naik daun itu bekerja. Awalnya gak ada niat ngerjain dia apa-apa. Sampai akhirnya, waktu aku lagi diem-diem baca komik -dan si Tuyus lagi ada rapat ketua organisasi-, Vidung, salah satu teman sekamarku yang lain itu bergerak cepat buat ngerjain. Dia sigap ngeberantakin lemari Tuyus sampe benar-benar porak poranda.
Lalu aku tinggal diam gitu aja? Oh tentu saja tidak!
Rasa setia kawanku di dukung oleh kreativitasku membantu Vidung ternyata  menghasut dua anggota kamar yang lain untuk ikut serta. Namanya Ncrut dan Siskuntum. Nggak nyangka, mereka antusias banget buat ngerjain Tuyus.
Lalu anggota kamar lain datang, namanya Londish. Ia datang ketika kami berhasil memporak-porandakan lemarinya dan mendorongnya ke ujung koridor lantai asrama. Tentu saja dia nanya, namun setelah ia tahu jawabannya, keliatannya ga ingin ambil pusing dan capcuss tidur.
Pekerjaan selesai. Aku kembali baca komik, Vidung baca novel, siskuntum balik ke kasur, dan Ncrut.. pergi keluar kamar.
Siang pun datang..
Rasa lapar pun ikut datang. Saat itu kebetulan makanan lagi enak. Lele goreng. Aku dan Vidung siap-siap ganti baju pergi ke dapur. Tapi Allah berkehendak lain, Tuyus datang dan suasana menjadi berubah..
Tahu apa yang terjadi setelahnya??
"MANA LEMARI GUE???!!" demi apapun, aku berani sumpah kalau suara itu benar-benar menggelegar. Mungkin satu asrama dengar.
Siskuntum bangkit, Londish bangun, sementara aku dan Vidung?? Entahlah, kami juga gak tahu kenapa kompakan milih tidur di kasur pura-pura kembali tenggelam dengan bacaan kami.
Saat itu aku bersyukur karena ga ada yang sadar bahwa aku baca komik terbalik. Alhamdulillah!
"MANA LEMARI GUE??" Tuyus mengulang pertanyaan menggelegarnya.
Belum ada yang jawab. Atau yang lebih tepatnya lagi, Belum-ada-yang-pura-pura-berani-jawab!
Lalu dengan suara setenang dan seberani mungkin, aku angkat bicara, "Di koridor, Yuus! Masa lo ga lihat?" saat itu aku sok-sokan jadi si nyolot yang merasa ga bersalah sama sekali.
Tuyus berusaha keras masukin lemarinya ke kamar sendirian setelah tau letak lemarinya. Tentu saja sambil menggerutu panjang lebar.
Aku dan Vidung pura-pura cuek, dalam hati gondok banget karena si Ncrut ga ada dalam kejadian ini. Padahal dia termasuk ide pokok dan tokoh utama cerita. Udah gitu, Tuyus jelas-jelas pasti nyangka kalau tersangka ini cuma ada dua. Aku dan Vidung.
Kabar lele goreng? Ah entahlah, kami masih berharap mereka masuk ke perut kami meskipun selera udah ilang tak berjejak..
***
Selepas pulang sekolah..
"Al, bantuin gue nyariin kunci perpus dong. Tuyus bilang kuncinya ilang, dan kita harus tanggung jawab karena ngeberantakin lemarinya,.." pinta Vidung padaku."Gue ga tahu si Tuyus beneran atau mau bales dendam sama kita,"
Jujur aja, aku benar-benar bingung. Ternyata efek pekerjaan ini masih ada embel-embelnya.
Ternyata, setelah berusaha nyari, sebenarnya kunci itu gak ilang. Tuyus masih kesal dan gak terima kalau kita gak kesal juga. Benar-benar teman yang baik, selalu berbagi dalam setiap rasa. Meskipun itu rasa kekesalan.
Aku kira pembalasannya sudah sampai itu, ternyata dia ga puas kalau belum ketemu Ncrut. Jadi malamnya, ia introgasi Ncrut dengan pertanyaan yang nyaris seperti omelan. Untungnya, pengalaman Ncrut yang cukup banyak membuatnya gak kaget dengan pertanyaan Tuyus. Salut sama Ncrut, di saat-saat begini dia sempat-sempatnya jawab pertanyaan itu dengan nada nyolot. *Tepuk tangan*

Pesan dari cerita ini; Kalau pengen ngerjain orang, sebaiknya sediakan headset dan MP3 buat jaga-jaga supaya ga ada lagi adegan baca komik terbalik!

NB; nama tokoh disamarkan, bagi yang bersangkutan ataupun yang tahu cerita ini sebelumnya, harap diam-diam saja. Meskipun saya sendiri gak tahu nyuruh diam untuk apa. Sekian :D