Sunday, March 30, 2014

PENGUMUMAN GIVEAWAY MELODIE DER LIEBE


 
Selamat malam, semuanya!
Sesuai janji, aku mau mengumumkan pemenang #GIVEAWAYMdL. Dan setelah membaca ulang satu-satu mention kalian, finally aku kebingungan untuk menentukan pemenang. hahaha. Jawabannya unik-unik, variatif, dan bagus-bagus. Tapi, tentu aja aku harus memutuskan dua orang buat mendapatkan Melodie der Liebe. Siapa dia?
Beri selamat pada…. @febriandia dan @miftaresty!!!
Jawaban mereka?
@febriandia: Kalau aku diberi kesempatan, aku ingin bisa berduet dengan Greyson Chance, menyanyikan single pertamanya yang berjudul “Waiting Outside The Lines”. Well, aku sadar diri, kalau suaraku pas-pasan—bahkan fals dan cempreng banget—tapi hal itu enggak menghalangi keinginanku, because it’s the most meaningful song I’ve ever heard. Lewat lagu itu, aku sadar kalau aku ini tipe cewek pengecut yang kerjanya cuma duduk manis nungguin pangeran berkuda putih datang menjemput. Lagu itu mengingatkanku kalo aku seharusnya berani melangkah dan mengambil resiko—bukannya terus nungguin Sang Pangeran sampe bulukan. Lagu itu mengandung arti kalau sebuah kesuksesan itu dipetik dari kerja keras. Dan aku sadar kalau selama ini aku belum pernah benar-benar bekerja keras—sementara aku terus menimbun cita-cita sampai melebihi ketinggian Menara Petronas.
Aku ingin bisa menyanyikan lagu itu. Mengucapkan rasa terima kasihku pada Greyson, karena telah mampu menyinggung sekaligus menginspirasiku untuk terus berusaha.
@miftaresty: Mau banget duet sama Tompi. Tak bisa membayangkan bagaimana rasanya kalau benar terjadi. Alasannya? Tompi itu salah satu penyanyi favoritku dulu yang lagu-lagunya menurutku nggak pernah basi. Ditambah lagi aliran musiknya Jazz dan lagunya itu asik banget buat didengarkan, lembut dan bikin tenang. :)Lagu yang mau dibawakan kalau ada kesempatan duet bareng, Tak Pernah Setengah Hati. Lagu ini maknanya dalam. Berulang kali mendengarkan, tak pernah bosan karena isinya mengenai sebuah ketulusan yang bisa didedikasikan kepada siapapun yang terkasih, bukan hanya sebatas kekasih dalam arti pasangan. Setiap kali meresapi lagu ini rasanya mau nangis karena selalu terbayang wajah orang tua.
Tak pernah setengah hati pula buat ikut Give Away  ini #eh

Penilaiannya dari apa? Seperti kataku di pengumuman, hal yang pertama dinilai adalah ketepatan dia mencerna peraturan. Banyak banget yang nggak sesuai.
Setelah itu, dinilai dari kerapian tulisan dan penggunaan EYD. Kenapa EYD jadi nilai plus dan harus disertakan? Karena penulis itu harus mengenal bahasanya sendiri, tentu saja. Cara menganalisisnya, bisa dari sering membaca juga menulis.
 Udah segitu aja pengumumannya. Buat yang belum menang, jangan berkecil hati. Kita latihan lagi menulis, supaya makin terasah! Sampai jumpa di giveaway selanjutnya!! LOVE-LOVE!!

*ps: Buat para pemenang, tolong kirim alamat lengkap ke DM twitter @asmirafhea, ya. Ditunggu ^^
-AF

[PARE 11]: BELAJAR TAMYIZ


“Kolom satu saudaranya bi jarin, lagunya… bi ka li laa, ila ‘ala, bifi’lin an dzorof hatta…”
Ada yang tau belajar atau ada yang pernah belajar Tamyiz?
Nah, salah satu kenanganku belajar bahasa Arab di Pare adalah belajar Tamyiz. Salah satu metode baru yang dikembangkan oleh seorang kiai untuk mempermudah para pelajar dalam mencerna bahasa Arab, mulai dari yang masih bocah sampai yang udah bangkotan.
Cara belajarnya? Kita sebagai murid itu harus bernyanyi! Yap, harus. Lagunya bervariasi di tiap kolomnya dan disesuaikan dengan lagu zaman sekarang. Contohnya kalimat di atas, kolom satu itu menggunakan nada dari lagu Iwak Peyek. Sedangkan pada kolom lainnya, mempunyai nada sendiri-sendiri. Dan lagu-lagu di tiap kolom Tamyiz itu kami sebut sebagai mantra.
Pertama kali dikenalkan pada metode Tamyiz, tentu saja aku heran plus penasaran. Selama ini dalam ilmu nahwu yang kupelajari, Tamyiz itu dikenal sebagai takaran. Ada Tamyiz jarak, timbangan, dlsb. Tapi, ini beda. Justru Tamyiz yang dimaksud karena metode ini dibentuk sama kiai yang bernama Tamyiz. Maka, digunakanlah sekaligus sebagai nama metodenya.
Rasa penasaranku bertambah begitu teman-teman semaskan mempromosikan pelajaran ini saat taqyim (evaluasi) setelah maghrib. Testimoni dari mereka yang pernah belajar, katanya mempelajari Tamyiz itu menghilangkan stress. Rasanya asyik-asyik aja gitu disuruh belajar sambil nyanyi. Adu kencang suara juga boleh. Mau yang ditampilkan justru suara falsnya juga nggak masalah. Pokoknya bebas. Siapa yang nggak tertarik coba denger kalimat provokatif macam begini? Lagi pula, rasanya unik banget gitu, belajar nggak pakai stress. Apalagi belajar bahasa Arab yang notabene-nya justru rumit.
Singkat cerita, aku akhirnya mendaftar dan membeli bukunya. Setelah mencocokkan jadwal beserta pengajar, jadilah yang terpilih Ustadzah Nadia Sarah Shabrina Safnihar yang mengajarkanku dalam metode ini.
Kami memulai pelajaran ini justru paling terlambat. Sekitar sepuluh hari sebelum pulang, itu pun cuma berlangsung sampai tiga pertemuan, karena susah mengatur jadwal. Dan selama mengenyam pelajaran yang nggak tuntas itu, aku ditempatkan ke dalam satu kelas bersama mayoritas mahasiswi-mahasiswi teladan. Siapa mereka? Ada Mbak Ani Ana (atau Ana Ani, ya? Lupa. Pokoknya itu :D) yang paling pendiam, Badi’ah, Ariena, sama Nadia. Saking teladannya mereka, nggak segan-segan buat berpartisipasi kalau aku dikit-dikit protes sama lagu dari mantra Tamyiz yang menurutku rada-rada. :p
Contohnya begini, aku kasih gambaran salah satu adegan a la mahasiswi teladan yang lagi belajar Tamyiz sama ustadzah yang masih jadi anak sekolahan.
“Udah lanjutin lagi, nih,” kata ustadzah Sarah yang waktu itu mungkin lagi berusaha buat mengendalikan kita yang bawel. Ia menyanyikan lagu dari salah satu kolom (yang aku lupa kolom berapa), yang menurut kita paling awkward. “huwa huma hum, tak gendong, hiya huma hunna, gendong balik, anta antuma antum, anti antuma antunna. Ana nahnu, ana nahnu…”
Aku cengo. Lagu apa coba pakai ada adegan gendong-gendong segala? Mau dikaitin sama lagunya Mbah Surip juga nggak sama.
Aku lihat ekspresi teman-teman sekitar. Berharap bukan aku doang yang merasa aneh begini.
Tapi Mbak Ani tetap diam sambil senyam-senyum sebagai respons. Atau mungkin karena dari sananya dia diam, ya? Entah.
Badi’ah membuka mulut lebar-lebar. Matanya dipicingkan. Pasti dia juga heran.
Nadia mengerutkan dahi. Mungkin ini pertama kalinya dia yang sebagai penyanyi dengar lagu yang unik begini.
Ariena? Pingsan. ;p
Maka, sebelum semuanya pingsan, aku mengambil alih situasi, “Ih, kok aneh banget, sih? Nggak mau nyanyi ah.”
“Nggak boleh nanyaaa!!” seru –entah suara siapa.
Yup, satu keunikan lagi di belajar Tamyiz ini, kita dilarang bertanya! Unik, kan? Padahal, dari kecil di tiap pelajaran apa pun, justru ada penekanan buat siswa untuk bertanya supaya tidak tersesat menelan pelajaran. Tapi saat belajar Tamyiz, justru berbeda…
Kemudian Nadia, Ariena sama Badi’ah punya cara lain. Mereka tetap nyanyi, dengan menambahkan kata ‘serrr’ ala lagu dangdut di dalam mantra itu. Jadinya kayak begini; “huwa huma hum, tak gendong, serrr, hiya huma hunna, gendong balik, serr….”
“Heh! Laa tughoyyir!
Kali ini, seruan datang dari kamar tetangga membuat kita bergeming sekaligus cekikikan. Artinya, kita nggak boleh mengubah-ubah lagu.
Yap, rules selanjutnya dari belajar Tamyiz ini, kita nggak boleh menambahkan, mengurangi, membuat variasi sendiri baik dari kata, nada, ataupun lagu. Sekreatif apa pun kita suka, pokoknya nggak boleh. Harus menurut ajaran dari sananya supaya kita nantinya nggak kebingungan sendiri saat belajar. Termasuk dilarang mengaitkan ilmu shorof atau nahwu dalam belajar ini.
Sebenarnya, yang paling penting dari belajar apa pun adalah menikmati. Kayak kita berlima ini, menikmati belajar teorinya sekaligus menikmati buat ngerjain ustadzahnya yang masih bocah. :p Meskipun beberapa kali aku (doang) yang harus kena tamparan di tangan ataupun paha dari si ustadzah yang songong itu, ikhlasin aja. Mudah-mudahan lain kali ada waktu buat ngebalesnya. *siapin sarung tinju*
Anyway, meskipun tiga kali belajar Tamyiz, teorinya lumayan ngena di aku. Setidaknya sedikit banyak mengerti lah, meskipun sebenarnya nanggung banget karena (sayangnya) nggak sampai tuntas. Penasaran sih sebenarnya buat selesaiin sampai Tamyiz 3. Tapi waktu kita nggak cukup.
“Ada CD-roomnya nggak, sih? Nanti kita belajar dari dengarin dari sana aja,” usul Ariena yang sebenarnya pakai bahasa Jawa yang kental. Anggap aja dari kalimatnya kalau dia benar-benar mahasiswi panutan yang suka mengulang pelajaran di luar kelas. :p
“Ada, tapi nggak boleh. Belajar Tamyiz itu modelnya harus begini. Face to face sama gurunya,” jawab Ustadzah Sarah –yang tentu aja bikin kami cemberut.
Rada bête, memang. Apa-apa dibatasi. Tapi, kalau kita harus berpikiran luas, strategi belajar yang seperti ini justru bagus. Jadi, nggak ada penyelewengan dari teorinya supaya bisa ditangkap siswa seratus persen.
Lalu, Ustadzah Sarah menggoreskan tulisan di papan tulis. Kali ini, kita belajar analisis kalimat dari Al-Qur’an dengan teori Tamyiz.
“Lho, kok pake spidol ijo sih, ustadzah?” aku bertanya lagi.
Ustadzah Sarah menoleh.
“Eh iya , lupa. Nggak boleh nanya ya…”
Sontak, dia tergelak. “Gebleek…!” sahutnya seraya menamparku. Kali ini kena paha.
Siaull. Monyong banget sih bocah ini! err…. 
Ini dua buku Tamyiz yang jadi objek pembelajaran.
 
Ini sejarah Tamyiz yang harus dicatat di pertemuan pertama! dan kalau bisa, pakai pensil catatnya. :))

-AF

Friday, March 28, 2014

GIVEAWAY MELODIE DER LIEBE


Jum'at mubarak, semua! Ada kabar bagus nih buat yang mau dapet hadiah di hari yang bagus ini. Akan ada 2 novel untuk 2 orang pemenang beserta tanda tangan dari penulisnya. Hihihi. Caranya gampang banget! Jawab pertanyaan di bawah ini:

-Berhubung Melodie der Liebe itu berkaitan dengan musik, aku mau tanya: Seandainya kamu diberi kesempatan bernyanyi duet dengan penyanyi papan atas, kamu mau nyanyi dengan siapa, lagu apa, dan beri alasannya kenapa?

Nah, dari pertanyaan di atas, jawabannya ikuti aturan ini:
1. Uraikan jawabanmu di blog atau di notes facebook.
2. Jawaban terdiri dari 100-150 kata. (Ini bisa dicek di ms. Word sebelumnya)
3. Lalu mention link jawabanmu ke twitter @asmirafhea dgn format: #GIVEAWAYMdL Penyanyi Favorit (tulis link pendekmu di sini) cc: @asmirafhea ataaau... Bisa juga dengan tulis linknya di komentar Giveaway Melodie der Liebe di facebook Asmira Fhea dgn format: Hai, aku udah ikutan Giveaway MdL lho, ini linknya: (tulis link notes/blogmu)
4. Harus tertulis rapi, dilarang ditulis singkat-singkat apalagi meng4L@y. Kalau bisa usahakan pakai EYD (nilai plus untuk ini). Cintailah bahasa kita! Hohoho
5. Pengumuman pemenang akan diumumkan hari Minggu jam 20.00 di twitter @asmirafhea. Dan jawaban paling akhir diterima hari Minggu jam 17.00-nya. Lewat itu didiskualifikasi.
6. Ingat, penyanyi papan atas, ya. Jangan cuma penyanyi kamar mandi. (Ini juga aku nggak kenal :p) Boleh soloist, boyband, girlband, terserah. Lagunya boleh dangdut, koplo, pop, lagu jadul, up to u!  Contoh: aku mau banget duet sama Afgan di lagunya Jodoh Pasti Bertemu. Karena biar menyanyinya menghayati juga, bisa sekaligus modus... Dst dst. :p (sampai maksimal 150 kata).
7. Udah, segitu aja. Selamat berlomba! Semoga menang yaaa... 

Kalau ada pertanyaan, silakan ajukan di komentar. Dan dilarang keras untuk menanyakan hal-hal yang jawabannya sudah tertera di atas. Danke Schoen! ^^

-AF

Wednesday, March 26, 2014

[PARE 10]: TAQDIMAINI


Selesai dari euphoria Melodie der Liebe, mari kita kembali cerita tentang Pare, hehehe. *setidaknya, aku harus istiqamah buat nuntasin cerita ini sampai akhir*
Jadi, waktu di sana, ada dua taqdim yang menjadi tugas para murid. Yang satu taqdim presentasi di depan kelas, yang satunya lagi taqdimul hifdzi alias setor hafalan di dua minggu terakhir sebelum pulang.
Nah, alhamdulillah aku diberi kesempatan buat presentasi di depan kelas, jadi ada yang bisa kuceritain di sini. Hahaha. Sistemnya dipilih satu hari sebelum maju. Tema bebas. Dan berhubung murid sekelasku lumayan membludak, jadi nggak semua kedapatan.
Saat itu, aku diberi giliran maju di dua minggu terakhir sebelum pulang. Aku lupa hari apa. Yang jelas, saat itu bagian jamnya Ustadz Thoyyib. Dan seperti yang sudah-sudah, meskipun beberapa kali ditugaskan maju depan umum (dalam bentuk apa pun), nggak menutup kemungkinan kalau aku nggak bakalan demam panggung. Setelah resmi ditunjuk, hal pusing yang harus dihadapi adalah nyari topik. Meskipun sebenarnya banyaaak banget topik yang bisa dibahas, tapi aku merasa buntu. Beberapa teman bantu menyumbang ide. Katanya, karena aku suka Korea, jadi bisa bahas tentang bahasa Korea yang tengah kupelajari. Ah, kayaknya kurang tepat deh. Mengingat kelasku aktifnya parah banget, jadi malas buat angkat topik itu. Antisipasi aja, takut disuruh translate macam-macam. Tau sendiri mereka bagaimana… heuheu.
Bahas tentang drama Korea yang lagi aku suka? Nggak nyambung juga! Nanti lagi seru-serunya membahas, syukur-syukur mereka dengerin. Kalau mereka malah buat drama sendiri di kelas tanpa aba-aba? Bikin terharu. Bahas tentang aktor drama kesukaan, misalnya mas Micky Yoochun? *ehm* ngeri kalau ternyata ada yang ngefans sama aku di kelas terus jealous. *emang, lo siapa, Fi?* -___-
Dan setelah mengerucutkan ide, jadilah aku memilih topik yang ringan; Manfaat membaca buku bagi kesehatan manusia. Jiaah, tsaddap! Kedengarannya alamiyah banget bahasannya. Padahal, semua berkat Mbah Google. Matur nuwun, Mbah…
Waktu presentasiku nggak sampai lima menit. Karena takut nge-blank jadi bawa kertas hafalan –yang sebenarnya nggak boleh dan nyaris disita sama ustadznya waktu aku maju. Tapi dengan kekuatan puppy eyes, aku diperbolehkan deh. Yes!
Bukan kelasku kalau nggak aktif nanya. Dan aku merasa beruntuuuuung sekali karena cuma ada dua penanya. Entah mereka lagi seragaman makan apa semalam, jadi nggak bawel-bawel amat –meskipun pas presentasi dan aku stuck di kalimat idza berulang-ulang, mereka malah nyanyi: idza anta saidun shofiq yadaik! (kalau kau suka hati tepuk tangan!) -> remake dari lagu Indonesianya. Errr. Dan alhamdulillah, tingkah laku mereka yang begitu, nggak perlu buat aku heran.


Ada juga taqdimul hifdzi. Alias setor hafalan. Ini tugas yang lumayan bikin ketar-ketir di minggu-minggu terakhir sebelum pulang. Buat yang kelas Aidina satu, target hafalannya 1750 kata. Sedangkan di Aidina dua, 2000 kata. Dan itu harus dari kosa kata yang kita catat sehari-hari! Maknyuuus. Oleh-oleh yang maha keren sebelum pulang.
Sistem taqdimul hifdzi ini berdasarkan kelompok. Jadi, satu kelas itu dibagi empat kelompok. Masing-masing murid menyetor hafalan pada teman sekelompoknya masing-masing. Dalam kasus ini, aku mau berterima kasih banyak buat Sarah yang mau jadi teman begadang buat hafalan. Eh, bukan sama-sama hafalan maksudnya. Di sini aku doang yang hafalan, sedangkan dia main games. Mulai dari games di iPad sampai baterainya habis, abis itu beralih ke laptop, sampai nggak sadar kalau kita menghabiskan malam bersama di teras kamar –jangan ada yang bayangin romantis di adegan ini. hahaha. Kita yang sebenarnya sama-sama menguap, tapi karena ngobrol hal-hal yang lucu, jadi lupa kalau ngantuk. Taqdimul hifdzi sampai ketawa-tawa, sampai kayaknya yang suka bertugas ketawa malam-malam itu lupa sama tugasnya. Atau emang sengaja ngasih giliran ke kita di malam itu? Bisa aja sih…
Sayangnya, cuma bisa malam itu aku begadang sampai pagi. Di malam-malam selanjutnya terlanjur tepar karena ngurusin masrohiyat. Mana parahnya, di malam kedua mau begadang, Sarah justru ninggalin aku yang ketiduran di teras depan kamar. Walhasil, pagi-paginya aku ditemukan oleh Nadia kayak anak gelandangan. Dasar songooong… (>,<)
Taqdimul hifdhi-ku nggak sampai dua ribu. Cuma bisa sampai 1125. Ngenes. Sesuatu yang masih membuatku merasa belum puas berada di Pare kalau belum nuntasin itu. Tapi, mau gimana lagi? Al waqtu qod intaha…
-AF

Monday, March 24, 2014

BEHIND THE STORY MELODIE DER LIEBE



Sinopsis:
Ini tahun keempat bagi Aimee, Tami, dan Diana. Semester yang seharusnya menjadi tahun kelulusan bagi mereka. tapi kenyataannya, justru berbeda. Diana tidak tertarik untuk menyusun tugas akhir karena itu berarti ujung kedekatannya dengan Aurich, lelaki yang disukainya.
Kehidupannya banyak berubah setelah mengenal si cewek perfeksionis Tami Hiromasa dan si cewek perebut kekasih orang, Aimee Verall. Di samping ketiganya terlibat sebuah proyek film, ada alur percintaan yang membuat mereka kerap berbenturan.
Persahabatan itu memang penuh warna, dan nikmatilah selama kau bisa.

***
Alhamdulillah, dengan segala kasih sayang Allah, aku tidak henti-hentinya mengucap syukur. Juga tentunya pada kedua orang tua, yang menjadi perantara dari ridho-Nya sehingga yang biasa jadi khayalan perlahan jadi nyata. Rasanyaaa… kayak habis makan cokelat keju dalam porsi banyak, terus divonis dokter nggak bakalan gemuk. Hehehe *maklumlah, aku tukang ngayal* ;P
Sejak aku post di berbagai socmed tentang Melodie der Liebe, terang aja pasti banyak pertanyaan masuk, dan yang paling populer itu begini:
-Artinya Melodie der Liebe apa?
-Ceritanya tentang apa?
-Kenapa harus di Jerman?
-Terus gimana bayangan di Jermannya?
Dst… dst.
Nah, kalau begitu aku jawab nomer dua dulu ya, dan jawabannya tertera di sinposis atas. Heuheu. Kalau penasaran, bisa order langsung ke toko buku terdekat ;p. Sedangkan Melodie der Liebe itu sendiri, berarti Melodi Cinta kalau dalam bahasa Indonesia. Kenapa harus di Jerman? Ehm, Ehm.
Sebenarnya, setelah beberapa kali ikut berbagai seminar kepenulisan, kesimpulan yang bisa kutarik dari minat pasar terhadap fiksi remaja Indonesia adalah penggunaan setting luar negeri, termasuk di bagian Eropa. Akhir-akhir ini memang yang sedang menjamur itu soal Asia timur; Korea, Jepang. Tapi, karena aku mau cari sensasi sendiri, keluarlah dari lingkaran Asia Timur meskipun sebenarnya demen banget Korea. Hihihi. Jadi, setelah pilah-pilih, kena lah Jerman jadi objek cerita.
Sebenarnya yang diperlukan dari menulis cerita di luar negeri adalah riset yang mendalam, apalagi kalau kita sendiri belum pernah ke sana. Mencari seluk-beluk budayanya, kebiasaannya, bahasanya. Memang alangkah lebih baik kalau kita pernah menginjakkan kaki di sana, jadi bisa bercerita dengan ringan. Tapi, penulis juga berhak untuk berimajinasi, lalu bercerita apa yang ia suka. Dan segala imajinasi yang berkeliaran, maka riset lah yang mengarahkan pada jalur yang aman.
Sampai di sini, ada yang sulit dicerna? Heuheu.
Selanjutnya, aku suka musik dan film. Jadi, setelah riset tentang Jerman, ketemu lah universitas perfilman di sana. Yup! Cerita ini tentang anak kuliahan, dan tentu saja tidak lepas dari masalah percintaan :D. Musik dan film aku padukan, jadilah proyek drama musikal.  Jadi kalau ditotal; Anak kuliahan, terlibat proyek drama musikal, di salah satu universitas di Jerman.
Proses pembuatan novel ini sekitar 4-5 bulan di bawah bimbingan editor Kampus Fiksi, Mbak Rina Lubis. Selama itu, diperlukan kekuatan napas agar bisa menyelesaikan sampai ending. Beda sama membuat cerpen yang nggak sampai seminggu bisa selesai. Novel butuh kesabaran dan konsekuensi, pasti! And I should say thanks to her, karena sebagai editor, Mbak Rina punya sense yang kuat dan tajam dalam mengedit, terutama dalam meluruskan logika cerita. Beberapa kali aku harus revisi, dan yang paling utama dari penulis itu adalaaah… punya mental tahan banting ketika naskah kita dikembalikan dalam keadaan penuh coretan tanda harus diperbaiki. Nggak jarang dari penulis yang ngedrop di bab sekian setelah menerima kritikan dari beberapa sisi, hasilnya molor buat melanjuti. Nah, kalau kritikan bisa buat kita kuat, kenapa kita harus percaya pujian yang bisa membuat kita lemah, bukan? Dalam berkarya seperti apa pun, pasti pernah mengalami masa-masa seperti ini.
Banyak terima kasih juga buat teman-teman yang dengan baik hati untuk membentangkan tangannya dan merangkulku yang berusaha sedemikian rupa agar mewujudkan khayalan jadi nyata. Dalam kasus ini, aku berterima kasih banyak pada Fadhilah P. Sari yang kini sedang merintis kuliah kedokteran di Bochum, Jerman. Kami rela uber-uber sinyal dan mencocokkan waktu demi bisa skype-an, dan dia dengan baik hati mau bantu aku dari awal. Cari informasi, berbagi cerita, dan banyak lagi. Jadi, buat yang baca tulisanku di sini, mari kita doakan bersama-sama supaya dia lancar di sana, dan pulang ke tanah air dengan selamat, jadi bisa sama-sama memajukan bangsa nantinya. Aamiin!
Terus juga, buat Dita dan Indah, teman sekamar di kosan yang rela jadi korban pertanyaanku kalau lagi kehabisan kata-kata. Hahaha, kalau flashback ke kejadian kemarin-kemarin, nggak jarang dari kita malah terjebak di adegan seperti ini; aku mencari tahu kata sambil memvisualisasikan dengan gerakan, mereka yang harusnya tinggal jawab malah ikut penasaran sampai besoknya. Errr, maklumlah, kita belum jadi thesaurus berjalan… :D

Lalu-lalu-lalu, pada guru menulisku. Terima kasih banyaaaaaak buat Panda Taufan E. Prast, Bunda Erawati Tf, dan Mami Yusi Rahmaniar. Mungkin kalau nggak ada mereka, yang namanya khayalan, akan terus berada di dalam koridor khayalan.
Paling penting! Buat penyedia ruang kreasi, Abuya Edi Akhiles, sebagai pimred Diva Press yang (masih mengira) aku keterusan mainin simsimi. Ampun, Pak. Saya khilaf. Saya lagi selingkuh membesarkan Pou. *abis ini ditagih naskah baru* *pantengin laptop*
At least, banyak yang istimewa sebenarnya, cuma kalau ditulis satu-satu, keyboard laptopku bisa jebol. Hohoho. Dan untuk mereka yang istimewa, perkenankan aku mempersembahkan karyaku mendarat di deretan koleksi buku mereka. Semoga sukaaa!! ^^
 Oh ya, sekalian juga. Aku pernah posting soal tulis-menulis, dan kalau berkenan membaca, bisa klik di sini.
Sekian dari aku. Kita bertemu lagi di postingan lainnya. Salam juga dari Melodie der Liebe, katanya, jangan lupa culik dia di toko buku dengan 38000. Hohoho!

Love,
-AF