Friday, February 27, 2015

RUMAH KITA; DI ANTARA RINDU DAN DENDAM YANG SAMA-SAMA KOKOH




“Menjual rumah ini bukan hanya menjual sebuah bangunan fisik. Bagi saya, rumah ini adalah kenangan, sejarah, cinta, dan…, kehidupan itu sendiri.
Pada setiap dinding, ruang, dan lekuk likunya ada cerita tersendiri. Pahit, manis, asam, getir, semua lengkap.”
Cerita dibuka dari sudut pandang seorang perempuan lansia—seorang ibu dari tujuh putra, dan seorang istri dari lelaki yang berusia dua belas tahun lebih tua darinya. Tinggal di satu atap rumah mewah di kawasan Menteng hanya dengan sang suami dan para asisten, sementara anak-anak mereka yang sudah berkeluarga menetap di rumah masing-masing.
Hanya berdua. Dan itu yang menjadi alasan suaminya untuk bersikukuh menjual rumah ini. Rumah tempat mereka menggores kenangan bersama. Rumah pemersatu keluarga besar mereka.
Bagi suaminya, rumah ini terlalu sepi. Keluarga mereka juga tak sering-sering mengunjungi. Untuk ukuran seorang lansia seperti mereka, lebih baik tinggal di tempat kecil di pinggir kota daripada di tengah-tengah kota.
Tapi baginya, argumen itu tak benar. Ia tak rela kalau sampai rumah ini menjadi hak milik orang lain. Terlalu banyak sejarah di rumah ini. Dan kalau urusan kenapa keluarga—atau paling tidak, anak-anak mereka—jarang mengunjungi, mungkin sebabnya ada pada bentuk komunikasi antara ayah dan anak yang tak kunjung membaik.
Suaminya begitu dingin sehingga membentuk jarak pada anak-anak mereka. Terlalu takut untuk disentuh, terlalu tinggi untuk digapai. Dan karena itu, beberapa kali ia memosisikan diri sebagai jembatan di antara mereka.
Hanya kepada Truly, menantu pertama mereka, ia membuka diri. Baginya, Truly sudah seperti anak perempuannya sendiri. Kepribadiannya yang hangat dan terbuka membuatnya lebih leluasa untuk berbagi.
“Rumah itu adalah sebuah tempat di mana sejauh-jauhnya kita pergi, kita akan selalu rindu pulang padanya. Sebab hanya di sana, keletihan kita terobati. Ada istri yang penuh cinta menyambut dan menemani kita, saling berbagi dan bercerita. Ada anak-anak yang akan makin meramaikan hidup kalian, membuat kalian terus belajar menjadi bijak. Rumah itu adalah sarang yang hangat yang membuat kita ingin selalu berdiam di dalamnya. Tetapi kita tetap harus terbang untuk mencari bekal agar semuanya lebih baik.”

Sebuah Keluarga Besar
Ketika kita ditempatkan dalam keluarga besar—anak-anak yang banyak, sepupu, cucu, keponakan bersatu—hal yang paling pertama tergambar mungkin adalah betapa ramainya suasana itu. Ketika berkumpul, saling berbincang panjang ini-itu. Mulai dari generasi termuda sampai para sepuh.
Tapi bagaimana jika itu hanya terjadi sesekali? Seperti hanya di hari besar saja?
Di sini, Ifa Avianty mengangkat topik yang lumayan jarang dikemas itu; bagaimana sudut pandang lansia ketika ditinggal anak-anaknya yang punya kehidupan sendiri, atau bagaimana sudut pandang seorang menantu yang berada di tengah-tengah keluarga yang kaku—tidak leluasa untuk mengekspresikan ungkapan hati mereka satu sama lain.
Ada Papa Kurt, tokoh yang paling disegani dalam novel ini. Pribadinya yang tertutup, keras dan cenderung otoriter, menciptakan benteng bagi anak-anaknya. Sehingga ketujuh putranya kehilangan sosok ayah yang berwibawa dan menjadi idola bagi anaknya.
Ada Mama Beatrice, atau dipanggil Mama Bea, istri dari Papa Kurt yang merupakan keluarga bangsawan. Pemilik rumah Menteng itu sebelum hak milik keluarganya dipindahkan menjadi hak milik Papa Kurt. Semasa dulu, Mama Bea diceritakan sebagai pribadi yang gesit, menarik dan sangat cantik. Sebagai ibu, Mama Bea kerap kali menjadi yang menjembatani komunikasi antara anak-anak dan ayahnya.
Ada Wisnu, anak sulung dari pasangan Papa Kurt dan Mama Bea. Pribadinya tak jauh dari Papa Kurt yang cenderung tertutup dan pendiam. Menikah dengan Truly—sahabatnya sendiri semenjak remaja—dan dikaruniai tiga putri. Seorang kepala sekolah yang amat berdedikasi pada pekerjaannya, dengan kondisi ekonomi yang tidak seberada saudara lainnya.
Ada Truly, seorang istri dari Wisnu dan menantu dari pasangan Papa Kurt dan Mama Bea. Punya sifat ceroboh yang sudah tak tertolong lagi. Ceriwis, ramai, supel, friendly, dan ekspresif. Kepribadiannya ini kerap kali menjadi tempat cerita Mama Bea dan Bektik—alias Bebek Cantik; sebutan para menantu yang ceriwis semua.
Mereka berempat sebagai tokoh utama di novel ini. Sudut pandang mereka diceritakan secara bertukar-tukar, sehingga mengarahkan pembaca pada akar konflik dari versi tokohnya.
Lalu ada beberapa tokoh lain. Di antaranya anak-anak Papa Kurt dan Mama Bea setelah pasangan Wisnu dan Truly; Fahmi-Mabel, Krisna-Lulu, Mahatma-Merlin, Bisma-Anne, Pandu-Andita, Farid-Aimee. Di antara mereka, karakter yang paling menonjol adalah pasangan Fahmi dan Mabel. Fahmi diceritakan sebagai pemberontak sehingga menikahi Mabel diam-diam. Yang konon membuat Papa Kurt melarang Mama Bea mencari tahu kabar tentang Fahmi.
Selain itu, ada beberapa tokoh dalam keluarga ini yang digambarkan menjadi figuran. Keluarga Mama Bea yang berdua belas saudara beserta pasangannya; Tante Lili-Om Pram, Om Berhard-Tante Yolla, Om Alex-Tante Paula, Om Hans-Tante Tia, Om Herman-Tante Sandra, Om Carl dan Tante Sasa, Om Adri-Tante Kiki, Tante Deassy-Om Harsa, Tante Maria-Om Tiar, Tante Olivia-Om Doni, dan terakhir Om Reinhard-Tante Grace.
Whooo, banyak banget, ya? Ini sebenarnya belum seberapa, karena belum disebutkan para sepupu dan figuran yang lain. Dan sebenarnya, salah satu kelemahan novel ini adalah kebanyakan tokoh ini, karena lama-kelamaan makin bikin bingung pembacanya. Sedangkan peran mereka nggak begitu banyak porsinya. Beberapa cuma ditampilkan sebatas nama tanpa cerita. Jadi, kelihatannya malah jadi nggak penting, kan?

Bahasa, Diksi, dan Gaya Tulisan
Sudah khasnya, gaya tulisan Ifa Avianty itu mengalir, ekspresif dan up to date. Caranya bertutur yang super blak-blakan ini kerap kali membuat saya terkekeh sekaligus mengernyit. Oh ya, Ifa Avianty juga suka menyisipkan bait lagu barat di tiap membuka bab dan isi cerita—dan ini salah satu lainnya dari ciri tulisannya.
Hanya saja, ada beberapa kata yang digunakan tidak sesuai KBBI. Seperti;
-          “….mereka yang langsung merubah suasana…” (halaman 163) seharusnya ‘mengubah’. Dengan kata dasar ‘ubah’.
-          “….Mama telah menghembuskan angin….” (halaman 175) seharusnya ‘mengembuskan’. Dengan kata dasar ‘embus’.
Sementara secara ekstrinsik, sayang sekali penataan sampul dan isi di sini sangat perlu diperbaiki. Bahkan, nama penulisnya sendiri salah tulis. Yang seharusnya; Ifa Avianty justru menjadi Iva Afianty, dan soal isi…, letak page number-nya seperti kurang diperhatikan.
Contoh page number yang terpotong.

Konflik dan Solusi
Dalam novel ini, konflik yang dihadirkan cukup padat. Dari seputar kondisi keluarga besar Papa Kurt dan Mama Bea, konflik batin sepasang lansia, gejolak rumah tangga para tokohnya, sampai kondisi psikologis Mama Bea yang dihadirkan sebagai penyebab sekaligus pengiring cerita sampai pada solusi. Bagaimana memecahkan kebekuan suasana keluarga mereka, menahan Papa Kurt agar tidak bersikeras menjual rumah, sampai sebab sikap dingin Papa Kurt yang menjadi alasannya yang membuat jauh dengan anaknya sendiri.
Ifa Avianty menghadirkan akhir cerita yang menjawab segala pertanyaan sejak awal cerita. Menurut saya, novel ini recommended dengan isu psikologis sebuah keluarga kelas menengah ke atas yang dekat dengan keseharian kita. Memberi pandangan bagaimana seorang anak sepatutnya pada orang tua ketika mereka sudah berkeluarga, seorang menantu pada mertuanya—atau bahkan—memberi pandangan bagaimana kelak menjadi orang tua nanti menjaga komunikasi yang baik dengan anak.
Selamat membaca, semoga dengan ini kita mendapat inspirasi!


Identitas Buku
Judul                  : Home; Saling Menjauh tapi Saling Merindu
Penulis              : Ifa Avianty
Editor                : Arini Hidajati
Jumlah Hal        : 388 Halaman
Penerbit            : Diva Press
Tanggal Terbit : September 2013
ISBN                  : 978-602-255-300-7




-AF

Wednesday, February 25, 2015

FINAL PROPOSAL


Seharusnya, aku udah bisa cerita soal ini dari awal Februari kemarin. Atau paling lambat, hari Jum’at kemarin. Kalau aja mentalku stabil—dalam artian nggak dikuasai rasa takut yang berlebihan—atau nggak menghabiskan berlembar-lembar kertas untuk merevisi teknis penulisan. Tapi kenyataannya, aku baru bisa cerita sekarang. Hari ini. Setelah semua kejanggalan itu musnah. Atau lebih tepatnya, dimusnahkan secara susah payah.
Hari ini aku baru menghadap dosen buat seminar ‘kecil’ proposal. Kenapa begitu? Karena kita nggak betul-betul presentasi proposal di depan banyak audience, menjelaskan dari awal sampai akhir. Tapi hanya disuruh baca (sebagai tes awal seseorang bisa menguasai bahasa Arab atau nggak), beserta disuruh menguraikan gramatikalnya. Terus sekilas menyampaikan inti paragraf yang ditunjuk dosen untuk dijelaskan. That’s all. Kelihatannya sederhana, tapi ternyata beberapa dari kita masih ada yang takut untuk itu.
Kenapa takut? Karena awalnya dapat kabar kalau nggak lulus tes baca, bakalan bayar ekstra di luar biaya kuliah buat tutorial. Harganya nyaris setengah harga kuliah—sedangkan di semester akhir ini kita kuliah dengan biaya full padahal nggak masuk kelas. Kalau aku pribadi, sih—meskipun ngerti banget kualitas gramatikal Arabku pas-pasan—rasanya nggak rela (pakai banget) ngeluarin biaya di luar tanggungan SPP kuliah buat tutorial. Tapi beruntung lah, katanya kabar soal tutorial ini akan ditinjau ulang. Means, semoga yang ditakutkan tadi nggak jadi kejadian. Aamiin.
Sebenarnya kalau dipikir-pikir dan dibandingin sama yang lain, bikin skripsi pakai Bahasa Arab itu nyenengin. Apalagi kalau kuliah di Sastra Arab begini. Yang artinya, hidup kita akan berkutat di naskah-naskah semacam puisi, prosa, manuskrip, drama, atau yang lain. Kebanyakan studi kasusnya secara kepustakaan. Jarang ada yang penelitian lapangan—meskipun ada beberapa. Nggak perlu mengolah data pakai statistik karena kebanyakan bentuknya analisa. Terus, teknis penulisannya pun nggak serumit menulis kayak berbahasa Indonesia atau Inggris—yang mana nggak boleh ngelupain bentuk EYD kayak misalnya; nama orang, inisialnya harus huruf besar. Atau setelah titik, huruf pertamanya besar.
Di bahasa Arab—atau aksara lain yang nonalfabetis—semuanya sama.
Hanya saja, kesulitan lainnya di gramatikal; nahwu dan shorof.
FYI, aku mau buat pengakuan kalau sebenarnya nilai nahwu dan shorofku nggak begitu lemah (diliat dari raport zaman sekolah dulu) dibanding nilai eksak. Daripada matematika atau IPA, aku lebih pilih ngerjain nahwu yang mungkin notabenenya juga rumit. Jadi, bersyukur aja kalau nilai nahwu bisa di atas angka tujuh di raport.
Tapi yang bingung, aku cuma bisa ngerjain sesuai bukunya. Giliran bentuk teksnya lain…, aku pening. *jegger* *ini kenapa, Tuhaaan?* *nangis di bawah shower*
Dan berlandaskan alasan itu, jangan heran pas tes baca di depan dosen tadi aku menjawab *ehm* semampuku. Kayak contohnya;
“Ini kenapa dibaca ‘tu’? apa kedudukannya?”
Dan aku cuma bisa jawab, “Feeling, Pak.” Seraya nyengir kuda.
Bersyukur lah punya dosen yang friendly, jadi pas jawab kayak begitu aku nggak dimarahin serta merta dibilang, “Kamu gimana, sih?” Bla-bla-bla. Tapi beliau justru ketawa dan melempar pertanyaan selanjutnya dengan gurauan, “Ini kenapa dibaca begini? Feeling lagi?”
Yah…, mau nggak mau aku ngangguk kan? Abis, mau jawab apa lagi….
Jadi, punten yah, Bapaknyaaa, kalau mahasiswimu ini hanya mengandalkan feeling. Hiks. *garuk-garuk tembok*
Setelah tes tadi, Bapak dosennya kasih tau kalau kabar ketentuan dosen pembimbing skripsi akan diumumkan awal Maret nanti. Means, minggu depan. Banyak yang harus disiapin, termasuk do’a. Mudah-mudahan dapat dosen pembimbing yang ramah dan bersahabat supaya nggak bikin nge-down. Aamiin.
If someone ask me what I wish at this time, I’ll answer hanya ingin ngerjain ini tanpa melibatkan diri pada kesibukan yang lain. Nggak mau terjun ke sini, ke situ, karena udah ngerasa cukup melibatkan diri kemarin-kemarin sebelum ketemu skripsi. Sekarang, rasanya pengin sendiri dulu. Nggak pengin terbebani yang lain, apalagi didesak, kecuali kalau aku mau melakukannya suka rela. Nggak pengin ketimpaan tugas lain—yah, kecuali nulis draft karena…, anggap aja itu sebagai pelarian isi kepala.
If that could really really happen…
Sayangnya, buat hal sesederhana itu aja rasanya sulit. Penghambatnya adalah rasa ‘nggak enakan’ yang lama kelamaan bikin jengah juga. Udah secara tersirat menyatakan keberatan, tapi ternyata ujung-ujungnya dikasih argumen. Pengin bilang ‘nggak mau’ tapi rasanya……
If I could say that. If I that brave.
-AF

Sunday, February 15, 2015

TIME FLIES



Kemarin, baru saja aku menghadiri pesta pernikahan seorang teman SD.
Yah, mungkin bagi sebagian orang yang seusia denganku, ini hal yang lumrah. Mereka mungkin pernah menghadiri pesta pernikahan temannya beberapa kali. Dan sebelum argumen itu menyangkalku, perlu kuberi tahu bahwa aku pun pernah melakukan hal serupa sebelumnya; menghadiri pesta pernikahan teman SMP, SMA, teman komunitas, teman se-profesi—beberapa kali. Hanya saja, ini kali pertama aku menghadiri pesta pernikahan teman SD.
Dan rasanya berbeda.
Pesta pernikahan teman kami menjelma jadi reuni. Sembilan tahun lebih beberapa di antara kami yang baru bertemu sekarang. Kadang, kami menyerupai orang yang baru pertama kali bertemu; bertanya nama, saling mengorek memori, “Duh, gue lupa lo. Lo dulu yang mana, sih?” atau, “Dari dulu muka lo nggak berubah, nih dia yang berubah.”, lalu berbasa-basi soal kabar, profesi, dan yang lain. Lalu di antara kami juga yang memorinya masih baik sehingga kenangan dulu tergali sempurna, “Si dia kan yang dulunya suka sama ini, bla-bla-bla…”
Sembilan tahun. Time flies sampai nggak sadar bahwa yang berasa baru terjadi, sekarang diangkat sebagai kenangan.
Hidup bergerak cepat, menjejaki fase-fase baru yang akan menghampiri kami. Masuk SMP, masuk SMA, diterima kuliah, beberapa ada yang mulai start bekerja, lalu meraih cita-cita. Dulu, kami yang masih suka bawa bekal ke sekolah, bertengkar dengan teman sebangku, kini menjelma sebagai orang dewasa yang berbicara benar-benar seperti orang yang sudah meninggalkan masa kecilnya; soal dunia perkuliahan dan skripsi, si dia yang sekarang dalam masa training menjadi pramugari, si itu yang sekarang gajinya bisa ‘segini’, sampai hal yang lebih intern—yang kalau dipikir-pikir sempat nggak nyangka juga bakalan bicara soal ini, pada teman yang setiap kali bertatapan dengan mereka, dunia anak-anak masih terasa melekat di sana.
Satu sisi, ada rasa ketidakrelaan. Rasanya ingin semua seperti dulu dan tak berubah. Tapi di sisi lain, harus sadar. Kalau kita nggak bisa terima tentang perubahan dunia, orang di sekitar juga nggak bisa terima kita.
Time flies. Bahkan, kini salah satu di antara kami ada yang sudah menikah. Meskipun kemarin saat diskusi sempat menyinggung bahwa ada beberapa lainnya yang sebenarnya juga sudah berkeluarga, tapi karena putus kontak, ini jadi yang pertama. Dulu, kami hanya sebagai teman bermain monopoli. Kini, tanpa disadari menjadi partner diskusi. Dulu, kami hanya sebagai anak yang masalah hidupnya tak jauh dari sekolah. Kini, kami menjelma jadi orang dewasa dengan masalah hidup yang lebih luas.
Dengan begitu, kenyataan ini menyadarkanku bahwa ada satu fase di mana nantinya kami akan berbicara seputar ‘keluarga di masa depan’. Meskipun mungkin nantinya ada yang bilang, “ye elah masih lama!” tapi setidaknya sadar, kita harus siap-siap.
Time flies. Tak akan berjalan mundur, kalau-kalau kita merasa kurang. Sekalipun menoleh, yang terjadi adalah kita akan dihadapkan pertanyaan, “kamu sudah berbuat apa?” yang kemudian mengharapkan kita memberi jawaban yang tidak mengecewakan.
-AF