Saturday, August 15, 2015

FUTURE SUNNY





Atas rekomendasi oleh seorang teman, akhirnya aku tertarik untuk menonton movie Korea yang berjudul Sunny. Ceritanya? Tentang segerombolan ibu-ibu yang tengah nostalgia mengumpulkan anggota geng semasa sekolahnya dulu, lalu menjalin lagi memori yang sudah usang itu… di usia mereka yang tidak lagi muda.
Durasi filmnya sekitar satu jam lebih, sih. Cumaaa, aku menontonnya nggak dalam satu waktu. Sempat tertidur dua kali selama film berlangsung. Jadi, menontonnya seakan terbagi dalam tiga potong cerita—awal, tengah, ending.
Some people feel sad after watching that movie. Me? Something just like stab my heart. You might call me that copious, but, if you’re a young lady, I recommend you to watch that movie.
Cerita diawali oleh seorang ibu rumah tangga bernama Im Na Mi yang terkenang masa mudanya dulu ketika melihat gerombolan anak sekolah di jalan. Teringat geng sekolahnya, teringat tingkah absurd mereka menari Sunny, teringat banyak hal. Sampai suatu saat, ia bertemu kepala geng mereka dulu di sebuah rumah sakit yang memintanya untuk mengumpulkan mereka kembali.
For some reasons, meskipun usiaku belum se-mature para ajumma di film itu, I feel d’ javu.
Beberapa hari lalu ketika menghadiri pernikahan seorang teman SMA, aku dan keempat temanku—well, you can call us as ‘a gank’ karena kami berada dalam satu distrik—berangkat bersama dalam satu mobil. Dan seperti kumpulan young lady kebanyakan ketika mereka bertemu, hal yang membuat seru perjalanan adalah… yes, curhat-curhatan.
Temanku yang berkerudung hijau toska mulai bercerita tentang hubungannya dengan si mantan—yang konon dijalinnya dari zaman kami berseragam putih-biru. Cerita si mantan mengalir, mulai dari kabar, kualitas hubungan mereka sekarang, sampai kondisi percintaan si mantan saat ini. Lalu seperti obrolan cewek-cewek kebanyakan…, satu topik seakan kurang, jadi menjalar ke mana-mana. Temanku yang berkerudung merah kedapatan jokes tentang mantan-calon-kakak ipar. Temanku yang berkerudung hitam bercerita tentang malam minggu dan perjodohan. Sedangkan temanku yang berkerudung ungu, di balik kemudinya, kami goda tentang calon suami.
Aku mencelos, “udah susah, ya, kalo pacaran di umur sekarang.”
Temanku yang berkerudung hijau toska setuju, “iya, di umur sekarang itu udah masuk jenjang serius. Udah masuk waktu-waktu menikah. Jadi, kalau punya relationship sama cowok, kaitannya banyak; keluarga kita setuju atau nggak, orang tua dia setuju atau nggak, gitu.”
Temanku yang berkerudung merah menambahi, “nggak kayak dulu. Pacaran ya pacaran aja. Dibawa happy dan nggak ribet.”
Aku berkelakar, “dulu gue malah backstreet. Simple.”
Menikah bisa menjadi topik yang populer di usia segini. Untuk perempuan muda, selain topik ini menjadi topik populer, tapi juga menjadi sumber topik yang menjalar ke mana-mana. Menikah tandanya bukan hanya bersenang-senang dengan pacar dengan status yang lebih legal. Tapi juga jadi istri, jadi ibu—dua jabatan yang memegang peranan penuh tanggung jawab dan keikhlasan.
Aku sendiri udah berencana akan menjadi full time mommy (and also writer) buat nanti (*ehem*). Entah apa yang akan terjadi ke depannya nanti, tapi yang jelas nggak mau ada orang lain yang pertama kali tau tumbuh kembang anaknya sebelum ibunya sendiri. Sedih, gaeees! =)) but, you might think that my choice a bit impulsive. Karena kebanyakan perempuan yang berani merencanakan hal seperti itu berarti dia punya persiapan yang matang, atau paling nggak dia sudah bersiap-siap dari sekarang, udah lebih serius, udah ‘berani’ ninggalin main-main. Sementara aku…, belum. :’) *langsung gelantungan di tali ayunan*
Topik seputar future young lady berakhir di meja panjang ketika aku dan kedua temanku (dua yang lain sudah berpisah pulang ke rumah mereka) tengah memesan ramyeon. Temanku yang berkerudung hijau toska mendapat pesan dari ibunya yang sudah khawatir karena belum pulang. Maklum, sih, saat itu jam delapan malam dan dia anak satu-satunya. Dia menjawab pada ibunya kalau dia sedang bersiap-siap pulang setelah mengambil motor dari rumah temanku yang berkerudung merah—padahal kenyataannya, kami masih makan-makan dan masih dalam sesi curhat-curhatan.
Saat itu, aku langsung terbayang sesuatu, “sekarang, kita masih dicariin nyokap. Kebayang nggak, sih, beberapa waktu dari sekarang, di saat kita lagi asik kongkow, suami kita nyariin sekhawatir nyokap kita?”
Temanku yang berkerudung merah menyeringai, “dan di saat itu mungkin dialognya jadi begini, ‘udah malam kok belum pulang? Gue dan anak-anak belum makan seharian. Lo belum masak!’”
Kami semua tertawa. Dan…, ya iya, yah. Jalanan Jakarta yang arusnya suka bikin mager bikin kita hari itu benar-benar pergi seharian. Pergi pagi, pulang malam, padahal di tempat tujuan nggak begitu lama. But now, we prefer no worry about anything. Just enjoy our time as a young lady, puas-puasiiin, sebelum berubah menjadi ‘Sunny’.
-AF