Friday, October 30, 2015

[CERPEN] PINTU YANG TERTUTUP SEMPURNA




Pada pintu yang tertutup sempurna di depannya, gadis itu berdiri.
Ia memang sudah tahu, dengan caranya begini—yang kembali mengunjungi pintu ini sejak beberapa bulan silam—memang kesalahan yang patut dimintai pertanggungjawaban di kemudian hari. Seharusnya, ia tidak di sini. Karena meskipun pintu itu tertutup, nyatanya ia tidak bisa mencegah memori yang masih merekam banyak hal di dalamnya; segala yang berkaitan dengan ruangan di balik pintu tersebut—yang mampu menyentuh sisi sentimentilnya kembali.
Ia masih ingat. Bahwa pada dinding ruangan di balik pintu itu, ia bisa menemukan bentuk tawa yang begitu dikenangnya. Tawa milik seseorang hanya karena hal-hal sederhana. Tawa yang menular, baginya. Juga tawa yang sering kali mengurangi bebannya akibat lelah beraktivitas seharian. Tawa seseorang itu…, tawa yang ia rindukan.
Pada dinding itu juga, ia menemukan hal yang berbeda; sebuah keraguan. Ia sendiri tidak bisa mencegah ketika banyak tanda tanya tumpang tindih di kepalanya; tentang apa yang ia cari, tentang apa yang ingin ia temukan, sekaligus tentang apa yang sebenarnya ia harapkan. Pertanyaan itu semakin lama semakin menyudutkannya. Dan semakin hari, semakin tidak menemukan jawabannya.
Kemudian dinding itu juga menjadi bagian dalam sejarahnya ketika tangis meruah. Ketika pada akhirnya, ia membuat keputusan terbesar untuk pergi meninggalkan. Ruangan ini, juga seseorang itu. Ia tidak pernah berpikir bahwa hal ini akan begini menyakitkannya. Meski berkali-kali merasa kehilangan, kenapa rasanya masih begitu lara?
Gadis itu tidak bisa mencegah air matanya saat meleleh dari sudut mata. Ia sudah melakukan keputusan terbesar, dan seharusnya ia segera siap menerima apa pun risikonya. Pintu itu memang tertutup sempurna, meski orang baru sudah menghuni ruangan di dalamnya. Dulu, ia yang memegang kuncinya. Tapi untuk kali ini, ia akan bersikeras untuk hanya menatap dari depan, lalu kembali tanpa kata-kata. Masa-masa di ruangan itu biar saja terkurung dalam memorinya, meski pintu ingatannya tertutup sempurna, sementara kuncinya ia buang dan entah berakhir di mana.
-AF
*tulisan ini disertakan dalam tantangan #NulisBarengAlumni #KampusFiksi bertema Kunci*

Thursday, October 22, 2015

[CERPEN] ROSES OF THE RAIN






Lelaki yang tengah menghentikan sepeda motornya di salah satu pinggiran jalan raya itu menatap nanar ke depan. Langit mulai menunjukkan tanda-tanda kegelapannya meski jam masih menunjukkan pukul dua belas siang. Gerombolan angin berembus menyapa kasar pori-pori punggung tangannya yang tidak dibungkus sarung tangan itu, dan nyaris menerbangkan secarik kertas di sebelah tangan—kalau saja ia tidak kuat menggenggamnya.
Di kertas itu, tertulis sebaris alamat rumah, dan sebaris alamat sebuah taman pemakaman.
Sebenarnya, ia tidak ingin berada di sini—menempuh jarak puluhan kilometer dari tempat tinggalnya untuk mendatangi seseorang yang keberadaannya hanya bisa dilihat dari gundukan tanah. Ia sendiri memang tidak berniat sama sekali untuk hadir sampai ke sini—kalau saja temannya yang berambut gimbal itu tidak menyuruhnya nyaris memaksa.
Ia masih tidak menginginkan ada di sini. Karena bagaimanapun, ia tidak ada sangkut pautnya dengan kematian gadis…, itu, tiga minggu yang lalu.
*
“Jadi, kamu orangnya?!”
Itu kalimat pertama yang ia dapatkan ketika menyebutkan nama di depan pemilik rumah—yang alamatnya tertulis di secarik kertas yang ia genggam tadi; sepasang suami-istri paruh baya. Sang istri langsung menyambarnya dengan kalimat tanya bernada tinggi, sementara sang suami berusaha menenangkan istrinya—meski tatapan tajam dan penuh menyelidik tidak lepas darinya.
“Lebih baik kalau kamu tidak pernah ke sini sama sekali daripada datang tidak ada gunanya begini!” desis sang istri paruh baya itu tadi, belum selesai melepaskan amarah.
“Ma….”
“Gunanya orang ini apa, Pa?! Kedatangannya nggak akan bisa mengubah pikiran anak kita! Nggak akan menyembuhkan sakit hatinya. Nggak akan menghidupkannya lagi!” Kali ini sang istri berseru histeris. Mengabaikan sang suami yang masih berusaha membuat suasana terkendali. “Kalau dia tidak pernah bertemu orang ini…” Sang istri menunjuk kepada lelaki itu. “Maka tidak akan begini jadinya.”
Lelaki itu bergeming. Rasanya ingin menghardik balik kalau saja ia tidak ingat dengan siapa ia berhadapan. Ia ingin sekali bilang bahwa ia jengah terhadap perlakuan putri mereka yang terlalu mengekangnya. Atau paling tidak ia ingin bilang kalau ia menyerah dengan sifat pencemburu putri mereka yang membuat dirinya terasa sulit bergerak. Atau sifat-sifat lain putri mereka yang menjadi alasan kuatnya mengapa ia lebih baik menyelesaikan hubungan sebelum semuanya bergerak lebih jauh.
Ia butuh sebuah hubungan yang membebaskan. Dan itu tidak ia dapatkan ketika masih bersama dengan putri mereka.
Sang istri pemilik rumah ini masuk ke dalam rumah dan beberapa saat kemudian datang membawa selembar kertas yang terlipat. Disodorkannya dengan kasar pada lelaki itu—masih lengkap dengan kobaran api di matanya. “Kamu baca ini. Pergi ke makamnya. Meskipun sebenarnya kamu sudah sangat terlambat untuk meminta maaf!”
Kalau saja bukan hasil bujukan temannya yang berambut gimbal itu, ia tidak akan datang ke sini—apalagi sampai rela dihardik oleh orang tua dari perempuan yang terlalu dibesarkan dengan sifat manja, beserta khayalan-khayalan negeri dongengnya yang kelewat batas. Sekali lagi, ini bukan salahnya. Apa pun yang bersangkutan dengan perempuan itu setelah mereka berpisah—termasuk dengan akhir jalan hidup perempuan itu, bukan lagi bagian dari tanggung jawabnya.
Ia hanya ingin melakukan—apa yang kata temannya itu—harus lakukan. Itu saja.
*
Langit mulai menurunkan hujan kecil-kecil sehingga bunyinya terdengar mengetuk helmnya. Lelaki itu tidak ingin sejenak menepi, meskipun ia bisa memperkirakan bahwa jarak menuju makam perempuan itu masih jauh. Lebih baik menerobos hujan, baginya. Dan ia juga tidak masalah jika sampai pada pemakaman dalam keadaan hujan. Ia ingat perempuan itu menyukai hujan, bunga mawar, baju-baju putri di kerajaan—seperti dongeng-dongeng dari film yang pernah ditontonnya.
Kalau saja panjangnya jarak di antara kita tidak mengalahkan besarnya egoku, mungkin yang terjadi tidak seperti ini; kehilangan cara membuatmu bertahan untukku. Bunyi pesan dalam selembar kertas yang terlipat tadi menggema di kepala lelaki itu. Tulisan perempuan itu, yang konon katanya, ditulis sebelum perempuan itu pergi. Kalau saja aku tahu caranya bertahan setelah berpisah darimu, mungkin aku tidak begini rapuh.
Pandangan lelaki itu buyar. Entah karena kaca di helmnya semakin diguyur hujan atau karena hujan itu sendiri mulai menyambangi matanya.
Kalau saja aku ada kesempatan bertemu denganmu, akan kulakukan demi memperbaiki segalanya. Aku tidak pernah berhenti berharap kau segera melihatku, lalu setuju untuk bertemu, kemudian aku berjanji untuk memperbaiki kesalahanku dan memulai dengan awal yang baru.
Saat itu, bayangan pertengkaran-pertengkaran yang terjadi di akhir komunikasi mereka sebelum berpisah, terserak—sementara bayangan perempuan itu menangis menyesal seperti bunyi dalam suratnya bersatu secara utuh memenuhi isi kepala. Semuanya tumpang tindih menguras emosinya. Lelaki itu masih ingat sebab dan bagaimana mereka bertengkar sebelum berpisah, sama seperti ingatnya bagaimana ia tidak ingin disalahkan dalam posisi itu. Perempuan itu terlalu banyak aturan, memang benar. Tapi kemudian ia sadar, mungkin ia juga yang belum bisa meyakinkan perempuan itu supaya percaya terhadap apa pun yang dilakukannya, supaya mereka berdua berada dalam titik saling memberi kenyamanan.
  Ini pertama kalinya ia mendatangi makam perempuan itu, dan karena itu pula ia mempercepat kemudi motornya. Mengabaikan hujan yang makin deras, atau tubuhnya yang makin kedinginan, atau lampu lalu lintas berwarna merah yang menyala, atau…, sebuah truk besar yang melaju cepat di hadapannya. Ia sendiri menjadi lepas kendali. Hal yang terakhir ia dengar adalah bunyi decitan bersandingan dengan bunyi benturan yang sama-sama keras. Tubuhnya sendiri terpelanting dan terseret di aspal sehingga sulit bergerak.
Sementara hal yang terakhir ia lihat adalah seorang perempuan bergaun putih, berjalan pelan di sisi jalan besar dengan kehujanan, dengan beberapa tangkai mawar merah yang digenggam di tangannya. Sementara beberapa kelopak merah di antaranya tersebar, berserakan di sepanjang jalan.
*
-AF
*tulisan ini disertakan dalam tantangan #NulisBarengAlumni #KampusFiksi bertema Hujan*

Wednesday, October 14, 2015

[CERPEN] FIRST DANCE WITH THE KING





Lonceng berbunyi. Pesta dansa dimulai. Lelaki bermata cokelat itu menatapku dengan lembut. Sebelah tangannya terulur minta disambut. Aku membalasnya dengan senyum, lalu menggandeng tangannya dan kita berdua berjalan ke lantai dansa—tempat Dad yang sudah berdiri di sana.
Ketika Dad sudah di depanku, lelaki bermata cokelat itu tersenyum seolah-olah di balik matanya, ia mengatakan, “Enjoy your first dance.” Sebelum akhirnya ia menyerahkanku pada Dad, dan ia sendiri menghampiri ibunya untuk menikmati dansa pertamanya.
“Jadi, bagaimana rasanya hari ini, Sayang?” Dad bertanya ketika tangan kami sudah saling menggenggam. Kami berdua siap mengambil peran di lantai dansa. “Putri Dad cantik sekali.” Dan itu pujian entah keberapa kalinya dalam hari ini.
“Menyenangkan, Dad. Rasanya aku ingin merasakan hal yang sebahagia ini seumur hidupku.” Aku sendiri tidak bisa menyembunyikan senyum lebar ketika ditanya begitu. Hari ini aku resmi menjadi ratu sehari dari seorang lelaki hebat yang mempersuntingku sebagai istri. Lelaki yang setiap kali kutatap matanya, kudapatkan keberanian yang sama ketika aku bersama Dad. Lelaki yang tidak segan-segan mengorbankan banyak hal untuk melindungiku, sekaligus lelaki yang selalu kupercaya bahwa ia akan terus menyayangiku.
“Aku juga bahagia. Hari ini membuatku teringat saat menikahi ibumu.”
Kali ini aku tersenyum simpul. Aku selalu ingat bagaimana kisah cinta mereka ketika Dad bertemu Mom sejak pertama kali. Baik Dad ataupun Mom sering bercerita tentang itu berulang-ulang, lengkap dengan binar penuh cinta di mata keduanya. Aku pun tidak pernah bosan mendengarnya. Sampai suatu hari, tak ada lagi Mom yang bercerita, dan hanya Dad yang kadang-kadang bercerita sendiri, padaku, sementara binar cinta di matanya berganti dengan tatapan hampa.
Aku tahu bahwa aku akan mendengar kalimat itu dari Dad cepat atau lambat di hari ini. Seperti halnya aku tahu kalimat itu akan membawa kami pada suasana seperti apa.
“Ibumu, dengan kecantikan yang selalu kukagumi, sangat memikat di hari itu. Sama sepertimu di hari ini.”
Ya, Mom memang selalu cantik dan mengagumkan. Aku mengakui hal itu sepenuh hati. Dan entah berapa kali sejak beberapa hari belakangan, aku bermimpi Mom ada di sini, menemaniku dan Dad di hari bahagiaku.
Mungkin itu cara Mom di surga sana memberitahukan bahwa ia turut berbahagia atas hari pernikahanku. Mom memelukku lewat mimpi.
“Ibumu tidak pernah luput dari ingatanku sampai detik ini. Dan itu yang berkali-kali kuingatkan pada lelakimu untuk tidak pernah meluputkan putriku dari ingatannya. Aku tidak segan-segan membunuhnya kalau dia menyakitimu.”
Kali ini aku tertawa. Kutatap manik mata Dad yang sedang bergurau itu seraya meneropong momen-momen kebersamaanku dengan Dad.
Hal yang paling pertama tebersit di benakku adalah saat sulit kami ketika awal-awal ditinggal Mom. Baik aku dan Dad sama-sama lebih banyak diam, merasa sangat kehilangan sosok penghangat di rumah kami, juga tidak tahu caranya menjembatani komunikasi di antara kami. Saat itu aku baru berumur sepuluh tahun, dan perlu waktu yang panjang untukku menyadari bahwa selamanya aku tidak bisa mendengar suara Mom—baik berupa celotehannya, dongeng tiap malamnya, gurauannya, atau senandung nyanyiannya setiap kali kuminta.
Yang kulakukan adalah banyak menangis dan mengurung diri. Aku enggan melakukan apa pun, termasuk pergi ke sekolah. Rasanya tidak lagi sama dan kini lebih berat. Saat itu, aku tidak peduli pada apa pun karena yang kuinginkan adalah aku ingin menyusul Mom saja.
Tapi Dad—dengan segala kekuatannya—akhirnya membuatku luluh dan membuka mata. Saat itu aku menyadari, aku terlalu egois untuk berpikir bahwa hanya aku saja yang kehilangan Mom. Padahal kalau aku mau berpikir lebih luas, sejak saat itu, setiap kali menilik air muka Dad saat Mom menjadi topik pembicaraan kami, Dad-lah yang terlihat lebih kehilangan. Bagi Dad, Mom tidak bisa digantikan oleh siapa pun.
 Lalu Dad menyarankanku untuk mencoba banyak kegiatan. Salah satunya mengambil kursus vokal dan bernyanyi. Aku tentu menentang; suaraku tak sebagus Mom! Tapi saat itu Dad justru menggenggam tanganku erat seolah menyalurkan keberanian dan rasa optimis miliknya dari sana untukku. Genggaman itu yang kemudian selalu diberikannya kepadaku setiap kali aku khawatir menghadapi apa-apa dalam perjalanan karierku; dari pertama kali menjadi peserta lomba bernyanyi, pertama kali terlibat dalam konser, pertama kali punya solo album, dan momen pertama kali lainnya. Keberanian Dad sedikit-banyak sudah menular padaku, sehingga aku tumbuh sebagai gadis yang bersikap optimis ketika menghadapi hal-hal baru.
Dad juga menjadi saksi perjalanan hidupku; menjadi orang pertama yang bangga padaku atas apa saja yang menjadi pencapaianku, juga orang pertama yang membesarkan hatiku ketika keberuntungan sedang tidak berpihak padaku. Dad, dengan segala kehebatannya, selalu menjadi kekuatan terbesarku.
Sampai ketika umurku beranjak sembilan belas tahun. Sama seperti gadis lainnya, aku mulai jatuh cinta. Dan bagiku, ini pertama kalinya. Aku pernah menyinggung lelaki itu satu kali di hadapan Dad, tapi Dad kali itu tidak menggubrisku, tidak seperti ketika aku sedang berceloteh hal-hal lainnya. Saat itu Dad hanya mendengarkan, dengan air muka yang sulit kutebak.
Jadi aku memilih untuk melupakan perasaanku dan meninggalkan lelaki itu. Umurku masih sembilan belas, perjalanan karierku masih panjang. Dan aku hanya ingin melakukan hal-hal yang membuat Dad tersenyum penuh antusias setiap kali aku menceritakannya.
Sampai suatu hari, ketika aku sudah berumur dua puluh lima, lelaki bermata cokelat itu datang dengan sorot mata penuh percaya dirinya. Saat itu karierku sedang jatuh-jatuhnya dan aku kesulitan untuk mengontrol diri, apalagi untuk berkenalan dengan orang baru yang sama sekali tak ada gunanya untukku. Tapi yang terjadi adalah aku mendapatkan bentuk solusi yang tak pernah kupikirkan sebelumnya dari lelaki itu, bonus dengan sengatan optimis yang ia jalarkan lewat tatapannya padaku.
Semua mengalir begitu saja sampai suatu hari saat makan malam Dad menanyakanku tentang dia. Aku mengelak dan meyakinkan Dad bahwa di antara kami tidak ada apa-apa. Tapi saat itu aku melupakan sesuatu; meyakinkan diriku sendiri juga mengingat bahwa tidak ada yang bisa kusembunyikan dari Dad tentang hal apa pun. Dad menemukanku ketika aku diam-diam memutar video konser lelaki itu, dan aku tidak bisa menahan diri untuk tersenyum. Saat itu, dengan segala bentuk keterkejutan yang membuatku bingung harus melakukan apa, Dad hanya berkata, “Wajahmu memerah, Sayang.” Seraya tersenyum—yang lagi-lagi sulit kutebak apa artinya.
Ya, Dad. Mungkin benar, aku memang jatuh cinta. Aku jatuh cinta pada lelaki bermata cokelat yang setiap kali berada di sisinya, aku seperti menemukan sosok yang mirip dengan ayahku sendiri.
“Aku pun berharap begitu, Dad. Dia akan terus menyayangiku sampai kapan pun, sama seperti Dad menyayangi Mom.” Aku tertawa. “Aku akan selalu menyayangi Dad, dan mulai hari ini, aku juga akan selalu menyayanginya—seperti menyayangi diriku sendiri.” Kuyakinkan Dad dari pupil mataku, bahwa Dad tidak akan kehilangan siapa pun, justru bertambah seorang lelaki menjadi anggota baru di keluarga kami. Lelaki yang mungkin suatu saat akan belajar banyak dari Dad untuk menjadi sosok ayah yang selalu kukagumi.
Kali ini Dad yang tersenyum. Dansa pertamaku akan segera berakhir, dan aku akan melanjutkannya bersama lelaki bermata cokelat yang kini menjadi suamiku.
Dad, don’t worry. From now on, I may have a prince. But you still be my king.
-AF
*tulisan ini disertakan dalam tantangan #NulisBarengAlumni #KampusFiksi bertema Ayah*