Wednesday, September 30, 2020

DAY 9: WRITE ABOUT HAPPINESS


Kurang lebih sudah tujuh bulan diharuskan untuk menetap di rumah karena pandemi, sudah berapa kali menemukan comfort zone sebagai cara untuk tetap membuat hidup jadi waras?

Aku; belajar masak, baking, sepedaan, ikut empat lomba menulis, ambil freelance, keluar-masuk webinar, nonton (kira-kira) lima drakor, buka kelas menulis, dan yang sekarang… blogging. Buat standar orang yang sebenarnya nggak bisa diam, ini belum banyak, sih. Ada yang jadi mendekor rumah, main tanaman, pelihara ikan, main TikTok, dan lain-lain.

Dulu, keinginanku untuk bahagia sebatas bisa tidur tanpa kerjaan sampai kebawa mimpi. Hahaha! Sesusah itu dulu mendapatkan work life balance. Isi kepala dihantui oleh pertanyaan yang datangnya dari pikiran sendiri, merasa nggak nyaman, yang kata orang-orang, sih, lagi menghadapi quarter life crisis. Mungkin iya, mungkin nggak. Karena aku nggak terlalu mau mikirin, dan fokusku adalah bagaimana supaya bisa keluar dari terowongan yang gelap ini.

Akhir 2019 mengambil keputusan besar, dan awal 2020-ku dimulai dengan mimpi baru. Mengejar apa yang ingin aku kejar, memulihkan diri dari krisis ini-itu, kebahagiaanku pun terbangun sedikit-sedikit. Sampai pandemi datang menyerang. Hampir semua orang, termasuk aku, harus menata ulang prioritasnya karena situasi ini. Banyak yang tertunda, banyak yang gagal, banyak yang harus memulai semuanya dari awal. Mempertaruhkan tenaga lagi, dana lagi, emosi lagi. Aku sendiri ada di dalam tahap berusaha menerima perubahan kondisi ini, meski jauh di lubuk hati masih berharap bisa memperjuangkan mimpi yang kuukir di awal tahun kemarin.

Entah kapan, entah bagaimana, entah melalui jalan apa.

Meski dari dulu punya bakat rebahan, diuji tiga bulan awal masa pandemi aja sampai pada titik udah bosen rebahan mau menghadap mana lagi. Mungkin langit-langit kamar, tembok, kasur, udah bosen ngelihat ini lagi, ini lagi. Makna kebahagiaan pun bergeser lagi, pengin punya kehidupan yang normal lagi. Yang nggak ada batasan menulis mimpi ini-itu, bisa ke mana aja dan nggak perlu khawatir.

Mungkin iya, hikmahnya diuji oleh wabah ini kita jadi menemukan diri yang baru dengan mencoba keterampilan-keterampilan baru. Tapi nggak bisa bohong juga, 2020 dengan kabar duka yang datang bertubi-tubi ini bikin sedih. Baru berbela sungkawa sama satu orang, muncul lagi orang lain. Meski kita sudah diingatkan oleh agama bahwasanya kita sebenarnya sedang menunggu giliran, melihat yang kayak begini rasanya semakin real. Hiks.

Oke, tulisan ini vibe-nya jadi semakin serius begini. Padahal temanya happiness. Wkwk!

Jadi apa intinya?

Buatku, sembari berkompromi dengan keadaan, menunggu semuanya membaik, makna kebahagiaanku sesederhana mencoba keterampilan baru, mengetahui tugas domestikku sudah beres, proyek-proyek berjalan lancar, dan bisa rebahan! Hahaha!

Monday, September 28, 2020

DAY 8: THE POWER OF MUSIC


Berbeda dengan Tansis, aku justru orangnya lumayan audio visual. Maksudnya, lagi nyapu aja setel lagu kayak harus ada sound track-nya, lagi jemur baju pasang lagu atau dengarin podcast, lagi nyetrika baju sambil drakoran, kalau nggak YouTube-an—yang tentu saja kesemua itu berdasarkan pilihanku. Kalau orang lain yang pasang lagu sesuai pilihannya, jatuhnya malah kesal, soalnya annoying.  Wkwk! Kecuali dalam keadaan yang perlu konsentrasi penuh, biasanya nggak boleh ada suara, karena aku sedang berusaha mendengar suara dari pikiranku sendiri.

Soal pilihan musik, sebenarnya seleraku nggak begitu update kayak orang pada umumnya. Apa yang aku dengar beberapa tahun lalu, bisa nggak ganti-ganti sampai sekarang kalau udah suka banget. Kayak lagu Miracle OST-nya Reply 1988. Dari zaman selesai nonton dramanya, sampai sekarang udah nonton drama lain yang berbeda, lagu yang satu ini sampai bikin YouTube tuh hafal. Karena meski udah diputar macam-macam, baliknya bisa ke sini-sini lagi. Di antara yang lain lebih suka A Little Girl atau Don’t Worry, aku lebih suka Miracle sambil ngebayangin adegan-adegan hangat yang diciptakan di drama itu.

Buatku, lagu kayak parfum atau aroma yang kita hirup. Bisa banget lagu yang diputar acak di suatu tempat, lalu kita nggak sengaja dengar, melempar kita pada memori pertama kali mendengarnya. Aku pernah merasakan itu ketika sekilas mendengar lagu EXO yang Baby Don’t Cry. Setelah entah berapa lama nggak dengar lagu itu—karena pada dasarnya aku bukan penggemar bangetnya EXO, lagu yang satu itu mengembalikan memoriku pada pertama kali mendengarnya; di kamar kos, diputar lewat salah satu laptop teman yang berwarna merah, diputar bersama sederet lagu EXO yang lain kayak History dan Mama, yang sempat bikin aku bosan tapi sekaligus menikmati momennya. Yang kalau diingat-ingat bisa bikin baper sendiri karena ternyataaaa… oh udah lama banget berlalu ya.

Sama kayak lagu Diana Ross dan Lionel Ritchie yang Endless Love. Meski lawaaas banget dan sering mendengar lagu itu diputar di acara pernikahan, nyatanya lagu itu punya memori yang personal buatku; ketika KKN, salah seorang teman bilang mau jadikan lagu ini sebagai alunan di acara pernikahannya kelak. Jadi setiap kali mendengar lagu ini, rasanya yang keingat adalah temanku itu.

Apa lagi yaaa… oh kayak lagu-lagu OST Petualangan Sherina juga melempar ke masa kecil yang nggak bakal terulang itu. Lengkap dengan sederet tindakan halu yang nempel-nempel plester di tangan, makan smarties, pakai jaket jeans, dan lain sebagainya.

Kalau sekarang lagi suka lagu apa, ya? hmm, nggak jelas sih. Kadang ulang-ulang OST-nya Itaewon Class yang Start itu. Kalau nggak, OST-nya Hospital Playlist yang dinyanyiin Kyuhyun judulnya Confession is Not Flashy—ngingetin adegan Gyeo-ul dan Jeong-won. Yang Aloha juga asik, sambil ngehalu kapan bisa karokean bodor lagi. Huhu!

 

Sunday, September 27, 2020

DAY 7: FAVORITE MOVIE


Ada nggak sih yang pernah ngerasain, keinginan-keinginan yang awalnya cuma berani disuarakan di dalam hati menjadi bulat setelah menonton film? Ini bakalan kedengaran random banget, sih. Tapi aku pernah merasakan kayak gitu berkali-kali. Salah satunya waktu nonton Frozen.

Sekilas dari luar film-film Disney kayak diperuntukan buat anak kecil—tapi menakjubkannya mereka sering kali bisa membuat orang dewasa berpikir makna filosofi yang terdapat di baliknya. Waktu nonton Frozen 1, aku berada dalam kondisi yang butuh melampiaskan diri. Cerita Elsa yang membangun kastil untuk dirinya sendiri sebagai cara agar dia nggak dianggap monster oleh banyak orang, sekaligus agar dia tetap bisa menjadi dirinya sendiri dengan perbedaan yang dianugerahkan kepadanya, no one can disturb, itu mewakili aku yang pada saat itu yang lagi pengin sendiri nggak mau diganggu siapa-siapa. Lagu Let It Go juga mewakili apa yang ada di pikiran untuk melepas apa yang telah mengganggu. Semakin dinyanyikan dalam keadaan emosi, rasanya semakin bertenaga meskipun nadanya ke mana-mana. Hahaha!

Lalu muncul lagi Frozen 2 dengan lagu Into The Unknown-nya. Sama-sama kayak menyuarakan hati banget buat aku yang rasanya pengin pergi ke suatu tempat untuk mengikuti kata hati. Tsaah! Pergi ke tempat asing yang membuat kita menemukan diri sendiri, padahal tadinya cuma berani bilang, "escape bentar enak nih." Meski sontrek Frozen 2 nggak se-ear catchy Frozen 1, tapi aku suka sih lagu-lagunya. Into The Unknown, Show Yourself, Some Things Never Change, sama The Next Right Thing.

Aku sendiri merasa banyak klik sama karakter Elsa sebagai sama-sama anak pertama. Berharap kalau ada Frozen 3 nanti dia nggak jomblo lagi deh, ya… Biar Anna punya ipar. Hahaha. Abisnya sedih pas baca berita simpang siur tentang orientasi Elsa—yang dibuat untuk mewakili suara orang-orang yang bersangkutan—entah bagaimana fakta aslinya. Disney seperti biasa nggak buka suara soal ini.

Oh ya ngomong-ngomong, aku belum nonton Mulan. Selain karena ponsel udah penuh buat nambah aplikasi lagi, review tentang Mulai bertebaran di internet—dan dari belahan dunia mana pun sepakat mereka kecewa membuang ratusan dolar untuk menonton itu. Aku juga jadi berpikir ulang buat nonton, meski pada awalnya malah penasaran pas liat trailer. Kayak yang woman power banget. Tapi entah eksekusinya, ya…

Saturday, September 26, 2020

DAY 6: SINGLE AND HAPPY

Sejujurnya aku bingung dengan tema ini. Pertama, karena belum pernah berikrar untuk double alias belum pernah menikah. Kedua, karena apa pun yang terjadi dalam hidup ini harus dibawa happy aja—baik saat single saat ini, ataupun saat memutuskan double nanti. Jadi bingung mau menjelaskan apa. Atau jangan-jangan yang bikin tema ini orangnya abis patah hati, ya? Jadi butuh validasi dari banyak orang. Hahaha!

Kalau single dikaitkan dengan lebih bebas daripada double, mungkin ada benarnya—kalau memang itu definisi dari kebahagiaan. Freedom. Kebebasan memilih keputusan-keputusan besar dalam hidup, tanpa perlu izin berlapis-lapis, dan berkompromi pada banyak aspek.

Hal ini yang pernah kubahas dengan temanku. Ceritanya, setelah belasan tahun kami nggak ketemu, kami dipertemukan dua kali dengan adegan sinetronis. Di kereta. Yang pertama depan-depanan, yang kedua duduk sebelahan. Dari situ, kami jadi sering ketemu buat membahas banyak hal. Dia sudah menikah setahun lebih, dan membagi pengalamannya sebagai newlywed.

“Gih, mumpung belum nikah…”

Waktu aku cerita keinginanku untuk kuliah lagi. Di saat banyak orang di luaran sana nanya kapan nikah? Calonnya orang mana? Kok bisa kepikiran kuliah lagi sih? Dan pertanyaan basi lainnya, diskusi deep semacam ini sejujurnya yang aku butuhkan. Karena menurutnya, setelah menikah maka memutuskan sesuatu itu harus memikirkan pendapat banyak orang. Pertama, suami. Lalu kedua belah orang tua. Kalau sudah punya anak, maka pertimbangkan juga. Apakah pilihan tersebut cukup proporsional bagi semua pihak, apakah disetujui, dan lain sebagainya.

Sedangkan waktu nonton Reply 1988, aku melihat diriku sendiri sebagiannya ada pada karakter Sung Bora. Tipe yang suka break the rules, yang tahu apa maunya, kalau ingin pada sesuatu bisa mengorbankan sesuatu yang lain, yang kalau fokus pada satu titik harus dikejar sampai dapat. Kalau dilarang dengan alasan yang nggak masuk akal, kemungkinannya akan menerobos atau mencari jalan lain untuk mendapatkan hal itu.

Begitu juga dengan membuat keputusan besar dalam hidup. Sering kali aku menantang diri sendiri pada banyak hal sebagai bukti bahwa aku bertumbuh. Soalnya rasanya kayak engep sendiri ketika ada di posisi yang stuck, harus menurut di bawah kendali orang, bertentangan dengan hati nurani, dan menunggu instruksi. Imbasnya, aku akan melakukan sesuatu yang membuat jiwaku terpenuhi. Dan biasanya setiap kali membuat keputusan besar dalam hidup, aku mencari tahu plus minus-nya, baru dihadapkan kepada orang tua. Mereka jarang melarang karena aku tahu konsekuensinya, dan aku memang menghadap mereka untuk mohon direstui atas pilihan yang kubuat. Wkwkwk.

Jadi, sekalipun sampai detik ini suka bertanya-tanya iseng sendiri pada diri sendiri, “Nanti nikah sama siapa ya? Ketemu di mana ya?” Di saat yang sama aku juga paham akan konsekuensi pernikahan yang perlu dipersiapkan. Karena nikah itu adalah keputusan seumur hidup, bukan kayak orang kuliah yang ada wisudanya, atau orang kerja yang bisa resign setiap saat. Menemukan pasangan yang klik terhadap nilai-nilai yang kita pilih juga patut dijadikan prioritas, daripada cepat-cepat nikah karena kebius kampanye nikah muda yang ternyata membuat kita nggak bahagia.

Ngomong-ngomong soal nikah, kemarin sampai berceloteh pada beberapa teman. Jakarta PSBB lagi, gelar nikahan enak nih. Kapan lagi, kan, nikahan hanya dihadiri segelintir orang, dan dimaklumi banyak orang? Wkwkwk! Tapi, iya, sih… konsekuensinya hanimun nggak bisa ke mana-mana. Huhu!

Anyway, ini ngerencanain nikah atau tur sekolahan, sih?

Friday, September 25, 2020

DAY 5: YOUR PARENTS


Ke-skip satu hari karena temanya cukup berat. Hahaha! Membahas orang tua—yang sebenarnya nggak gitu sering kubahas di mana-mana.

Jadi, gini, teman-teman… orang tuaku merupakan bagian dari pernikahan lintas budaya. Manado dan Jawa, jadi bisa dibilang aku anak Man-Ja. Mereka bertemu di Jakarta waktu nyokap kerja sebagai perawat di RSCM sementara bokap jadi pasiennya. Iya, se-cheesy itu. Kenalan beberapa bulan, lalu menikah.

Dua orang yang beda budaya tentu melalui adaptasi yang naik-turun—yang lucunya aku samar-samar merasa de javu di pernikahan Mia, temanku. Secara kultur, pola pikir, sudut pandang mirip-mirip. Nggak sama plek-plek, sih. Setiap pasangan punya ceritanya masing-masing.

Dan yang mau aku bahas bukan itu.

Ada dua momen yang bikin down banget di keluarga kami. Pertama waktu nyokap sakit, kedua waktu bokap sakit.

Kejadian nyokap sakit itu kalau nggak salah terjadi di 2016. Berawal dari munculnya benjolan kecil di leher—yang katanya sih nggak sakit atau gatal, kayak tahi lalat aja gitu nggak ada rasa apa-apa, tapi takutnya kenapa-kenapa. Diobservasilah ke dokter. Katanya itu tumor, jadi harus dioperasi. Wah, yang namanya tumor, bawaannya kayak mikir ke mana-mana apalagi harus dioperasi segala. Selama nyokap masuk RS, rasanya drop banget. Ditambah harus mengurus seeeeemua tugas domestik sebagai cewek satu-satunya di rumah. Waktu itu juga lagi skripsian, jadi capek fisik, down batin. Pikiran yang ke mana-mana itu tuh bikin kesel, apalagi pasca operasi dibilang jenis tumor itu tumor ganas. Kan ya…, gimana bisa benjolan kecil begitu dibilang tumor ganas? Pikiran nggak mau terima. Puncaknya waktu ada saudara yang dokter memberi tahu kemungkinan terburuk dari tumor ganas itu. Ya apalagi kalau bukan nyawa?

Kedua adalah ketika bokap sakit—yang mana baru-baru aja. Sebenarnya, beliau punya diabetes sejak aku masih SMP. Jadi selayaknya orang diabetes—dan hipertensi, makanan jadi hal yang perlu amat diperhatikan. Lebaran kemarin, setelah makan makanan lebaran yang banyak lemak itu, besokannya bokap makan mie instan dan bakso dengan takaran sambel dan jeruk nipis yang nggak manusiawi. Jam dua pagi diare, minta dibawa ke UGD. Sampai ke UGD, diarenya hilang tapi ‘biang-biang’ penyakitnya kumat. Kakinya bengkak karena diabetesnya itu, lalu merambat ke saraf—sampai-sampai divonis stroke ringan karena ada penyumbatan di kepala. Waktu itu, aku lagi ada di Solo, rumah Mbah. Dua hari dirawat, disuruh pulang lewat video call berulang-ulang. Nanyain anaknya satu-satu. Langsung ambyaaar. Akhirnya beli tiket di hari pertama new normal. Selama itu perasaan nggak tenang, sekaligus berusaha nggak mau panik.

Seharusnya semua berjalan biasa saja sampai di hari H aku pulang ke Bekasi, saudaraku di Solo yang rumahnya dekat dengan rumah Mbah, meninggal dadakan. Usianya masih muda dan keluhan pertamanya cuma kecetit atau bisa dibilang saraf kejepit mungkin yaaa. Selama lebaran kami masih bertemu, masih mengobrol. Meski dalam kehidupan manapun ini sangat mungkin terjadi, tapi rasanya tetap nggak percaya.

Hari itu rasanya linglung. Datang ke rumah duka, sementara bokap sendiri lagi komplikasi. Mau mengundur pulang tapi nggak mungkin. Rasanya juga takut. Segala ancaman yang ada di pikiran sendiri semakin sulit dikendalikan. Sepanjang perjalanan ke Bekasi bawaannya kayak nggak bertenaga, pandangan penuh menerawang, lemes selemes-lemesnya.

Sekarang, baik nyokap ataupun bokap Alhamdulillah sehat dan membaik. Bokap lebih ‘sembuh’ diobati dengan pengobatan alternatif daripada dua kali bolak-balik RS yang ujung-ujungnya diisolasi berminggu-minggu di ruang covid. Sampai sekarang Alhamdulillah udah bisa jalan, bergerak—meski refleksnya belum seperti orang normal, dan solat meskipun duduk. Ini perkembangan bagus dari yang tadinya apa-apa dipapah, didorong kursi roda, dan bicara sepatah-patah.

Semoga nggak ada lagi kejadian yang bikin patah hati kayak begini. Karena meskipun kita sering kali punya love and hate relationship sama mereka selayaknya keluarga pada umumnya,  rasanya tetap ambruk ketika melihat mereka nggak berdaya.