Saturday, October 22, 2011

my short story 2

-->
NEGATIVE THINKING
 Matanya menyipit, menangkap seseorang dalam penglihatannya. Namun, orang itu tidak memandangnya, bahkan tidak meliriknya sama sekali. Lelaki itu justru semakin mengembangkan senyumnya pada seorang perempuan yang menjadi lawan bicaranya. Ia menghembuskan nafas pelan. Padahal, ia sangat berharap lelaki itu melihatnya, rupanya tidak! Ia sangat kecewa, karena lelaki itu sepertinya sudah berubah..
***
Dua tahun yang lalu..
From: Harry Rain
To: Melissa Heart
Sent: June 20, 2009 08:58 PM
Subject: Hello J
            Hallo seseorang yang disana?? Sedang apa yah? Ah, tunggu. Biar kujawab sendiri sedang apa kau disana. Pasti kau sedang membaca e-mail dariku sambil duduk disalah satu  bangku kamarmu, atau kau membuka laptopmu diatas kasurmu?? Dua kemungkinanku itu benar tidaak??
            Kau tahu? Sidney sangat dingin, beda sekali dengan Jakarta bukan? Aku sampai memakai baju yang berlapis-lapis, berbeda sekali seperti di Jakarta baju satu lapis-pun bisa saja terasa panas.
            Sering kali aku membuka laci dan melihat foto kita sekitar dua tahun yang lalu masih menggunakan seragam putih abu-abu. Aku, kau, Muthia dan Benny. Kita semua terlihat bahagia sekali disana. Dan kau tahu, kau sendiri yang terlihat lucu. Setiap kali aku melihat foto-fotomu, aku tertawa. Rasanya pada saat itu aku ingin mencubit pipi chubby-mu sekencang-kencangnya.
            Ohya, aku juga ingin memberitahukan kabar gembira padamu. Kira-kira aku akan kembali ke Tanah Air sekitar dua puluh lima bulan lagi. Menyenangkan sekali bukan? Aku tidak sabar tentunya untuk menunggu waktu itu. Waktu dimana aku sudah diwisuda menjadi dokter sekaligus waktu dimana aku bisa bertemu denganmu, Muthia dan Benny, dan tentu saja aku tidak sabar untuk mencubit keras-keras pipi chubby­-mu.
Sudah dulu yah? Aku mengantuk sekali… jangan lupa untuk membalas e-mail-ku ini, okay!! I wait for u, dear..

Melissa mengembangkan senyumnya setelah membaca isi e-mail­ dari lelaki itu. Lelaki yang selalu ia tunggu kedatangannya kembali ke sisinya seperti dulu. Lelaki yang memilih melanjutkan studinya ke Sidney sebagai dokter. Tak apa, ia rela menunggu lelaki itu selesai mengejar cita-citanya asalkan ia bisa melihat kembali sosok lelaki itu dihadapannya. Dan menetapkan hatinya dihati lelaki itu.

From: Melissa Heart
To: Harry Rain
Sent: June 20, 2009 08:58 PM
Subject: Re: Hello J
Hello kembali, Teman. Kau salah! Aku membuka laptop-ku dan membaca e-mail darimu di sebuah kafe yang dekat dengan kampusku. Hari ini lumayan banyak tugasku. Jadi aku berinisiatif untuk menyelesaikan tugasku begitu aku mendapatkan waktu luang.
Harry, kau tahu? Kami disini (aku, Muthia, Benny) sangat merindukanmu dan menunggu kepulanganmu darisana. Terkadang kami mengunjungi rumahmu dan bertemu dengan tante Lusi. Kami sangat rinduuuuu padamu! Selalu bertanya-tanya, kapan kau pulang? Tapi, kami selalu menahan emosi agar membiarkanmu menggapai cita-citamu dan bertemu dengan kami nanti dalam keadaan sudah sah menjadi dokter.
Sesekali Muthia bertanya-tanya padaku,”kira-kira Harry disana punya pacar tidak yah?” dan lontaran pertanyaan-pertanyaan lain tentangmu padaku. Aku hanya bisa tertawa mendengarnya.
Dua puluh lima bulan, waktu yang cukup lama untukku menunggumu. Tak apa, asalkan kau kembali kesini, bersama kami dengan kesuksesanmu. Salam untukmu dari Benny dan Muthia.
Ps: Kalau kau sampai mencubit keras-keras pipiku. Lihat saja ! aku akan membalasmu lebih dari itu. Hahhaha J

Sambil tersenyum, Melissa menutup laptopnya. Ia memejamkan matanya, menghayal sosok yang disukainya ada tepat didepannya. Jujur, ia suka membayangkan bagaimana tampang lelaki itu sekarang. Apakah ia sudah berubah atau masih tetap seperti dahulu? Ah entahlah, bagaimanapun nanti, perasaannya takkan berubah dan mungkin akan semakin bertambah..
***
            Waktu yang ditunggu-tunggu itupun tiba. Laki-laki itu benar-benar muncul dihadapannya. Lelaki itu sendiri yang memintanya untuk menjemputnya di bandara. Tentu saja ia tidak pergi sendiri, tapi ditemani juga oleh Muthia dan Benny.
            Lelaki itu berubah? Secara fisik, lelaki itu memang agak sedikit berubah. Terlihat lebih… ya terlihat lebih dewasa. Wibawanya sebagai dokter semakin terlihat. Dan astaga, Melissa sendiri tidak sadar kalau ia terpaku melihat senyum lelaki itu. Senyum yang berbeda dari dulu, senyum yang hangat menurutnya. Ia hanya berharap dalam hatinya, supaya perasaannya kali ini tidak sia-sia. Alias lelaki itu memiliki perasaan yang sama dengannya.
            “Apa kabar?” sapa Harry memecahkan semua pikiran yang ada di dalam benak Melissa.
Ia mengulurkan tangannya sambil tersenyum.
            Melissa menyambut uluran tangan itu sambil tersenyum, “Baik, bagaimana denganmu?”
            “Aku semakin membaik apabila bisa mencubit keras-keras pipimu..” Jawab Harry sambil mencubit pipi Melissa keras-keras. Benny dan Muthia sontak tertawa melihat adegan itu.
            “Kau ini sama sekali tidak berubah, Har. Dari dulu sampai sekarang kau tetap suka mencubit keras-keras pipi Melissa” tukas Benny disela-sela tawanya.
            Harry merespon dengan tawa kecilnya. Lesung pipinya terlihat sekali menghias wajahnya. “Biarkan saja, aku memang berjanji pada diriku sendiri bahwa sepulangku kesini akan mencubit pipinya keras-keras.” Ucapnya sambil mencubit pipi Melissa lagi. Melissa bergumam sebal dan pura-pura memasang wajah cemberut.
***
            Namun, hari selanjutnya terasa berbeda. Melissa berharap itu semua hanya sebagian dari pemikiran kanak-kanaknya. Tapi itu semua semakin terlihat jelas, bahkan nyata. Harry seakan melihat orang lain, bukan dirinya. Dan orang itu adalah, Muthia. Ah tidak mungkin! Melissa berkali-kali mengenyahkan pikirannya tentang itu. Mereka semua bersahabat. Ya, bersahabat! Jadi kalau mereka sedekat itu wajar saja bukan? Bahkan, kalaupun Harry dekat dengan siapapun itu adalah haknya dan Melissa tidak punya alasan untuk membatasinya.
 Lalu, mengapa pikiran aneh itu datang? Melissa menepuk kepalanya berkali-kali. Ada apa dengannya belakangan ini? Ia benar-benar merasa sedang labil.
***
            “Oke, semuanya sudah dapat. Ahh, aku baru sadar. Aku haus sekalii…” gumam Melissa pada dirinya sendiri.
Hari ini ia mendapat tugas dari ibunya untuk berbelanja bahan-bahan kue karena dalam waktu dekat ini rumahnya akan kedatangan banyak tamu undangan ayahnya. Jadi, ia memilih untuk berbelanja di supermarket dekat rumahnya. Dan kali ini ia berdiri di depan toko minuman untuk membeli softdrink. Ia merogoh dompetnya untuk mengeluarkan beberapa uang ribuannya, namun yang terjadi adalah beberapa uang logamnya berjatuhan.
“Lain kali hati-hati non” ujar seorang laki-laki yang membantunya memunguti logam yang berjatuhan.
Melissa menatap lelaki yang membantunya itu, “BENNY!!” serunya spontan.
“Kau ini, seperti tidak pernah melihatku saja. Mengapa berteriak-teriak seperti itu?” Tanya Benny kesal.
Melissa menutup bibirnya dengan sebelah tangannya lalu berkata, “Ah, maaf, maaf. Tentu saja aku terkejut melihatmu kebetulan ada disini. Apa yang kau lakukan disini?”
“Apa? Ah.. oh tidak. Kebetulan temanku ada yang mengajakku bertemu di café sini. Kau sendiri? Apa yang kau lakukan disini?” jawabnya berharap Melissa tidak menemukan kegugupannya.
            Melissa menyipitkan matanya, “Waah, tumben sekali kalau begitu. Setahuku kau jarang kan kesini? Lalu dimana teman-temanmu?” tanyanya sambil mengedarkan matanya ke sudut ruangan.
            “Oh, mereka sudah pulang. Aku ke toilet dulu yah?” pamit Benny bergegas pergi dari hadapan Melissa.
            Melissa mengernyitkan kening, matanya menyipit, dan alisnya menyatu. Ia menyadari keganjalan yang terjadi. Ia menggeleng pelan, mengenyahkan pikiran buruk yang melintas dibenaknya. Lalu bergegas membeli softdrink yang sempat tertunda dan berjalan kearah parkiran supermarket untuk mengambil mobilnya.
            Namun, langkahnya terhenti ketika matanya menangkap seseorang yang ia kenal. Tidak salah lagi, itu Harry! Lelaki itu sedang duduk membelakanginya di sebuah café. Ia tidak sendiri, di depannya ada seorang gadis yang antusias berbicara dengannya. Tanpa ia mengamati lebih jelas lagi, ia tahu bahwa seseorang yang di depan Harry adalah Muthia. Apa yang sedang mereka bicarakan?
            Entah mengapa emosinya pada saat itu mengalahkan segalanya. Ia memilih pergi menuju mobilnya dan meninggalkan tempat itu.
***
            Apa maksud semua ini? Apa maksud dari e-mai dari Harry yang dikirimnya selama ia di Sidney? Kalau sampai saat ini lebih memilih Muthia mengapa Harry harus menyakiti perasaannya? Berbagai pertanyaan muncul dalam benak Melissa. Ia membenamkan kepalanya kedalam bantal besarnya. Merutuki dirinya yang telah menyukai orang yang salah.
***
            Bisa kita bertemu di tempat biasa?
            From: Muthia
Melissa memasukkan ponselnya di saku kemejanya lalu berjalan menuju ke sebuah tempat dimana ia dan ketiga temannya itu berkumpul semasa kecil. Sebuah tempat dimana adanya sebuah bangku besar yang di sampingnya ada sebuah ayunan dan pohon jambu tempat mereka memanjat untuk meraih itu. Tempat itu tidak berubah. Hanya saja terlihat pohon-pohon jambu yang ada disana tidak terurus.
            Ia duduk di bangku besar itu. Menunggu si pengirim sms datang. Lalu beranjak menuju ayunan dan mengayunkan kakinya disana.
            Tiba-tiba seseorang menjerit pipinya keras-keras. Melissa sontak menjerit kencang karena kaget juga karena kesakitan. Ia menangkap tangan itu dan menoleh kearah si pencubit.
            “Sedang apa kau disini?” Tanya Harry dengan sorot mata yang hangat.
            “Aku sedang menunggu Muthia yang menyuruhku datang  kesini. Kau sendiri sedang apa disini?” Tanya Melissa kembali menutupi rasa gugup yang sebenarnya ada didirinya.
            “Aku punya rencana sendiri untuk pergi kesini.” Jawab Harry diplomatis.
            Rencana sendiri? Rencana apa itu? Kalau ia datang kesini atas ajakkan Muthia. Itu artinya, Harry dan Muthia merencanakan pertemuan itu. Tapi untuk apa? Atau jangan-jangan, untuk memberitahukannya karena mereka sudah resmi berpacaran? Jangan sampai!!!!
            “Har, sepertinya aku pulang duluan yah. Mungkin Muthia tidak jadi kesini.” Pamit Melissa pada Harry. Ia takut kemungkinan terburuk itu terjadi.
            “Loh? Kenapa terburu-buru? Bagaimana kalau Muthia datang justru kau yang tak ada?” tahan Harry.
            Melissa menatap Harry dengan wajah sinis, “Aku tahu, sebenarnya kalian yang merencanakan ini kan?”
            Harry menatapnya bingung, “Bagaimana bisa kau tahu?”
            Melissa tidak menjawabnya lalu kembali bertanya dengan sorot mata yang tajam, “Tentu saja aku tahu, lalu apa tujuan kalian membawaku kesini?”
            “Aku tidak mengerti, mengapa kau marah-marah seperti itu. Tapi, tujuanku kesini untuk memberimu ini..” ujar Harry pelan sambil mengulurkan sebatang coklat berbentuk hati. Lalu kembali merogohkan kantong celananya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil. “Ini semua untukmu.”
            Melissa menggeleng. Apa rencana mereka semua sebenarnya? “Aku tahu, kalian sedang merencanakan sesuatu. Tolong jangan mencandaiku seperti ini. Aku tidak suka!” serunya.
            “Apa aku terlihat bercanda? Perasaanku seperti ini kau pikir bercanda? Aku menyukaimu terlihat seperti bercanda??” balas Harry dengan mimik muka serius membuat Melissa terpaku.
            “Bohong! Kau menyukai Muthia. Aku tahu itu.” Tukas Melissa dengan suara rendah.
            “Muthia? Kenapa kau tiba-tiba menyimpulkan bahwa aku menyukai Muthia?” Tanya Harry bingung. Ia memiringkan kepalanya dan menaikkan alisnya.
            Melissa menunduk, memejamkan mata lalu menjawab, “Aku sering melihat kalian berjalan bersama. Saling tertawa. Tentu saja aku bingung kalau kau justru mengutarakan perasaanmu padaku.”
            Harry mendekap gadis itu. Memeluknya erat, “Kalau kau memang sering melihat kami bersama mengapa kau tidak ikut? Asal kau tahu, kami tidak hanya berdua. Tentu ada Benny disana, tidak hanya berdua! Aku sengaja menemuinya karena aku membicarakan hal penting terhadap mereka, yaitu tentangmu..” bisiknya di telinga gadis itu.
            Melissa melepaskan pelukan itu dengan sorot wajah yang penasaran. “Tentangku? Ada apa denganku?”
            Harry memegang tangan lembut Melissa lalu berkata pelan, “Aku menyukaimu Mel, bahkan perasaanku ini muncul sebelum aku pergi ke Sidney. Tapi aku harus menahan perasaanku sampai aku benar-benar bisa menetapkan hatiku padamu.” Harry menghela nafas pelan. Ia mengumpulkan keberanian untuk menyatakan seluruhnya. “Mel, tolong. Bisakah kita saling percaya? Biarkanku percaya padamu untuk membalas perasaanku. Dan, percayalah padaku tentang semua perasaanku.”
            Harry menunduk, ia sudah mengungkapkan semuanya. Sekarang, jawabannya ada ditangan gadis itu. Ia cukup hanya membiarkan gadis itu memilih. “Aku berharap kau mempercayaiku. Itu saja.” Gumamnya lagi.
            Melissa menghela nafas pelan. Ia harus menjawab ini. Ia tahu saat ini Harry sangat membutuhkan jawabannya. Perlahan tangan Melissa menyentuh dan mengambil batangan coklat yang masih digenggam Harry. Ia tersenyum, “Rupanya kau masih ingat bahwa aku penggemar coklat yah? Ngomong-ngomong, terimakasih untuk coklatnya yah..”
            Harry menatap gadis itu heran. Sebenarnya, kemana arah pembicaraan gadis ini?
            Lagi-lagi Melissa mengukir senyumnya. “Kau tahu? Kebanyakan orang menganggap pemberian coklat itu sebagai pengungkapan cinta secara tersirat. Kalau seseorang memberikan coklat secara tulus itu artinya mengharap cinta dari yang diberi. Lalu, kalau yang diberi menerima coklat itu artinya…”
            Harry kembali mendekap gadis itu, memeluknya erat. Ia sudah tahu kemana arah pembicaraan gadis ini. “Terima kasih, terima kasih telah percaya padaku. Terima kasih untuk semuanya..” ucapnya senang. Ia tidak percaya akan berakhir seperti ini.
            Dalam dekapan itu, Melissa tersenyum. Tidak, ia tidak menyukai orang yang salah. Perasaanya juga tidak salah. Ia rasa ia memilih orang yang tepat.
            “Oke kalau begitu, tugas kita sudah selesai, Muthia. Kita tidak akan ada lagi pertemuan dengan si bawel ini. Karena, aku sendiri sudah kapok ketika bertemu dengannya tanpa sengaja waktu itu. Ternyata aku tidak bisa berpura-pura didepannya.” Ucap seorang laki-laki yang tiba-tiba muncul menghampiri mereka. Sontak, Harry dan Melissa melepaskan pelukannya dan tersipu malu.
            “Lebih dari yang diperkirakan yah, Ben! Rupanya mereka sudah berpelukan..” goda Muthia.
            Melissa tersipu sambil berujar, “Apa yang kalian lakukan disini? Mengganggu saja..”
            “Kami mengganggu? Waah, asal kau tahu Mel, aku juga berpartisipasi untuk hal ini terjadi. Sampai-sampai kau harus tahu bahwa aku tidak bisa berpura-pura didepanmu bukan?” Tukas Benny tidak terima.
            Melissa berpikir keras. Berarti…pertemuannya dengan Benny waktu itu dengan temannya adalah pertemuan dengan Harry dan Melissa? Astaga, mengapa ia tidak menyadarinya? Selalu saja ia menganggap pikiran yang ada dibenaknya benar. Padahal, anggapannya itu justru adalah kebalikan. Selalu saja, setiap keputusan ia ambil dengan emosi yang pasti tidak berakhir sewajarnya.
            “Har, sepertinya gadis-mu ini sudah menyadari sesuatu..” gumam Muthia pelan.
            Harry merangkul pundak Melissa, “Biarkan saja, aku senang bahwa kenyataannya ia cemburu sampai menganggapku berpacaran denganmu..” jawabnya sambil terkekeh.
            Tanpa mereka sadari, Melissa tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia menganggap dirinya bodoh sampai terbawa emosi seperti itu. Ia hanya berjanji dalam pikirannya untuk tidak mengulangi sikap ini lagi. Ia sungguh tidak ingin kejadian memalukan ini terjadi kedua kalinya…

..THE END..
           

No comments: