Wednesday, March 19, 2014

[PARE 8]: JA’A JUNUUNUNA!


 
“Emang yang paling nyesek itu, kita justru baru akrab ketika kita akan berpisah,” kata Sarah waktu itu ketika kami berjalan-jalan sore ke daerah masjid An-Nuur.
“Iya, ane jadi benar-benar nggak mau pulang…” Adiba melirih. Suasana haru menghampiri kami.
Hari itu adalah hari terakhirnya Adiba sebelum dia pulang ke Jakarta dan masuk kuliah. Sebenarnya, bagi orang melankolis, mengangkat topik tentang perpisahan lebih baik dihindari. Hati mereka seperti tisu. Lembut dan kelihatannya kuat, tapi kalau salah sentuh akan tersobek dan lecek. Di saat orang-orang lain belum begitu sedih, bisa jadi dia yang paling kejer di tempat sampai susah berhenti.
Jadi, saat itu aku hanya membalas singkat dan sedikit menggurau. Biar suasana perpisahan tidak beranjak mengharukan. Karena aku sendiri sadar, kalau mau bersikap emosional, bisa saja aku menahan Adiba atau Adiba akan menetap di sini sampai haflah seperti yang lain. Tapi, kalau kita bersikap rasional, Adiba yang kuliah di UNJ dan jadwal masuk lebih cepat dari universitas lain, tentu harus pulang. Aku sendiri mengerti betul bagaimana repotnya minggu awal kuliah saat harus mengubah-ubah KRS. Belum lagi kalau ada rapat organisasi segala.
Hari itu, tepat satu hari sebelum Adiba pulang, kami menyisihkan waktu demi bersama. Aku, Adiba, Hakim, Sarah, dan Faris. Aku pun nekat untuk bolos kelas Qowa’id demi tidak ingin kehilangan moment ini. Setidaknya, meskipun nanti di Jakarta aku bisa ketemu lagi dengan Adiba, kesan seperti ini pasti berbeda.
Kalau ada yang penasaran bagaimana cerita awal sampai kami bisa sedekat ini, sebenarnya singkat banget dan tidak begitu istimewa. Ini berawal dari beberapa hari sebelumnya, kami tanpa sengaja duduk berdekatan saat kelas mujadalah. Aku yang biasa bersama Adiba duduk di belakang Sarah, sementara Faris dan Hakim di sebelah kami bertiga. Kalau kemarin aku bilang anak putra di kelasku talkative, mereka berdua adalah salah dua dari biang keroknya! Aku aja nyerah bisa duduk di sampingnya. Bahkan, ketika ustad mendekati dan akan menghukum mereka, mereka sempat-sempatnya bilang, “Kita juga lagi mujadalah, Tad!” *yassalaaam*
Di luar pengetahuanku, ternyata dari situ mereka saling berkomunikasi via ponsel. Konon kata Adiba, Sarah jadi juru hubung dalam komunikasi ini. Memang nasib yang ponselnya rusak, jadi aku nggak bisa ikut nimbrung. Hikss… Aku malah kebagian peran jadi penangkap basah tab Adiba yang saat itu lagi menampilkan fitur habis BBMan dengan Hakim. Adiba jadi sempat malu-malu kesal karena aku terus goda dia yang sikapnya manis banget jadi kakak-kakakannya Hakim. ;p Di situ juga aku tahu, di waktu yang sama, Faris juga berkomunikasi sama Adiba. Kenyataan yang menggelitikku untuk istiqamah menggoda Adiba.
Singkat cerita, aku menggagas ide untuk mengundang mereka hari itu di Ketan Susu. Adiba setuju meskipun awalnya sempat ragu. Aku berpikiran kalau mengajak anak putra begini mungkin nggak masalah berhubung Adiba besok pulang. Sementara kita sendiri belum tahu kapan bisa ketemu lagi selanjutnya. Jadi, Sarah membantu untuk menghubungi dua bocah itu, setelah sebelumnya Sarah juga bantu aku untuk minta izin ustad bolos kelas Qowa’id. :p
Kami sendiri –apalagi aku- nggak pernah menyangka bahwa perkenalan instan di kelas bisa membawa kami sedekat ini. Sampai sekarang. Hari itu aku sendiri benar-benar bahagia menghabiskan waktu bersama mereka. Mereka yang cerewetnya di kelas bikin nyerah, sementara kalau dikenal lebih dekat justru gilanya parah. Aku sendiri bisa nggak berhenti ketawa kalau terus-terusan dengar ngocolnya mereka. Ada aja lah yang dibahas dan yang diceritain. Dan ada juga yang diketawain.
Hal tergila yang kami lakukan saat itu adalah foto selfie di iPad sampai lebih dari 170 kalau nggak salah. Dari pagi sampai mau maghrib. Mulai yang sendiri, berdua, sampai berlima. Dari yang effect natural, hitam putih, bahkan sampai sexy lips. Dari kita duduk-duduk santai di warung Ketan, sampai sepedaan di Mesjid Annur. Mungkin ini yang terjadi dalam jiwanya orang alay, dia nggak mengerti apa-apa kecuali rasa bahagia yang tak terkira. :p Sedangkan kita sendiri nggak tahu kapan ini bisa terulang, bukan?
Hari itu seharusnya hari perpisahannya Adiba, dan kita nggak setuju kalau membuat suasana haru kayak perpisahan lainnya.  Hari itu kami harus bahagia karena menjadi gila, terserah besoknya kita akan menangis setelah melihat angkutan umum mengantarkan Adiba ke stasiun untuk kembali ke Jakarta.  Hari itu kita yang berawal dari perkenalan singkat dan tak istimewa, tanpa disadari seakan mengikat kita pada hubungan persaudaraan yang in syaa Allah semoga semakin erat menuju surga-Nya…
Hakim dan Faris - menggila di Ketan Susu.
Adiba, Fhea, Sarah. Selfie nggak berhenti-henti. :))
Sepedaan di Annur.
Capturing while cycling :))
Efek yang bukan kita banget: sexy lips! :p

-AF

No comments: