Wednesday, February 25, 2015

FINAL PROPOSAL


Seharusnya, aku udah bisa cerita soal ini dari awal Februari kemarin. Atau paling lambat, hari Jum’at kemarin. Kalau aja mentalku stabil—dalam artian nggak dikuasai rasa takut yang berlebihan—atau nggak menghabiskan berlembar-lembar kertas untuk merevisi teknis penulisan. Tapi kenyataannya, aku baru bisa cerita sekarang. Hari ini. Setelah semua kejanggalan itu musnah. Atau lebih tepatnya, dimusnahkan secara susah payah.
Hari ini aku baru menghadap dosen buat seminar ‘kecil’ proposal. Kenapa begitu? Karena kita nggak betul-betul presentasi proposal di depan banyak audience, menjelaskan dari awal sampai akhir. Tapi hanya disuruh baca (sebagai tes awal seseorang bisa menguasai bahasa Arab atau nggak), beserta disuruh menguraikan gramatikalnya. Terus sekilas menyampaikan inti paragraf yang ditunjuk dosen untuk dijelaskan. That’s all. Kelihatannya sederhana, tapi ternyata beberapa dari kita masih ada yang takut untuk itu.
Kenapa takut? Karena awalnya dapat kabar kalau nggak lulus tes baca, bakalan bayar ekstra di luar biaya kuliah buat tutorial. Harganya nyaris setengah harga kuliah—sedangkan di semester akhir ini kita kuliah dengan biaya full padahal nggak masuk kelas. Kalau aku pribadi, sih—meskipun ngerti banget kualitas gramatikal Arabku pas-pasan—rasanya nggak rela (pakai banget) ngeluarin biaya di luar tanggungan SPP kuliah buat tutorial. Tapi beruntung lah, katanya kabar soal tutorial ini akan ditinjau ulang. Means, semoga yang ditakutkan tadi nggak jadi kejadian. Aamiin.
Sebenarnya kalau dipikir-pikir dan dibandingin sama yang lain, bikin skripsi pakai Bahasa Arab itu nyenengin. Apalagi kalau kuliah di Sastra Arab begini. Yang artinya, hidup kita akan berkutat di naskah-naskah semacam puisi, prosa, manuskrip, drama, atau yang lain. Kebanyakan studi kasusnya secara kepustakaan. Jarang ada yang penelitian lapangan—meskipun ada beberapa. Nggak perlu mengolah data pakai statistik karena kebanyakan bentuknya analisa. Terus, teknis penulisannya pun nggak serumit menulis kayak berbahasa Indonesia atau Inggris—yang mana nggak boleh ngelupain bentuk EYD kayak misalnya; nama orang, inisialnya harus huruf besar. Atau setelah titik, huruf pertamanya besar.
Di bahasa Arab—atau aksara lain yang nonalfabetis—semuanya sama.
Hanya saja, kesulitan lainnya di gramatikal; nahwu dan shorof.
FYI, aku mau buat pengakuan kalau sebenarnya nilai nahwu dan shorofku nggak begitu lemah (diliat dari raport zaman sekolah dulu) dibanding nilai eksak. Daripada matematika atau IPA, aku lebih pilih ngerjain nahwu yang mungkin notabenenya juga rumit. Jadi, bersyukur aja kalau nilai nahwu bisa di atas angka tujuh di raport.
Tapi yang bingung, aku cuma bisa ngerjain sesuai bukunya. Giliran bentuk teksnya lain…, aku pening. *jegger* *ini kenapa, Tuhaaan?* *nangis di bawah shower*
Dan berlandaskan alasan itu, jangan heran pas tes baca di depan dosen tadi aku menjawab *ehm* semampuku. Kayak contohnya;
“Ini kenapa dibaca ‘tu’? apa kedudukannya?”
Dan aku cuma bisa jawab, “Feeling, Pak.” Seraya nyengir kuda.
Bersyukur lah punya dosen yang friendly, jadi pas jawab kayak begitu aku nggak dimarahin serta merta dibilang, “Kamu gimana, sih?” Bla-bla-bla. Tapi beliau justru ketawa dan melempar pertanyaan selanjutnya dengan gurauan, “Ini kenapa dibaca begini? Feeling lagi?”
Yah…, mau nggak mau aku ngangguk kan? Abis, mau jawab apa lagi….
Jadi, punten yah, Bapaknyaaa, kalau mahasiswimu ini hanya mengandalkan feeling. Hiks. *garuk-garuk tembok*
Setelah tes tadi, Bapak dosennya kasih tau kalau kabar ketentuan dosen pembimbing skripsi akan diumumkan awal Maret nanti. Means, minggu depan. Banyak yang harus disiapin, termasuk do’a. Mudah-mudahan dapat dosen pembimbing yang ramah dan bersahabat supaya nggak bikin nge-down. Aamiin.
If someone ask me what I wish at this time, I’ll answer hanya ingin ngerjain ini tanpa melibatkan diri pada kesibukan yang lain. Nggak mau terjun ke sini, ke situ, karena udah ngerasa cukup melibatkan diri kemarin-kemarin sebelum ketemu skripsi. Sekarang, rasanya pengin sendiri dulu. Nggak pengin terbebani yang lain, apalagi didesak, kecuali kalau aku mau melakukannya suka rela. Nggak pengin ketimpaan tugas lain—yah, kecuali nulis draft karena…, anggap aja itu sebagai pelarian isi kepala.
If that could really really happen…
Sayangnya, buat hal sesederhana itu aja rasanya sulit. Penghambatnya adalah rasa ‘nggak enakan’ yang lama kelamaan bikin jengah juga. Udah secara tersirat menyatakan keberatan, tapi ternyata ujung-ujungnya dikasih argumen. Pengin bilang ‘nggak mau’ tapi rasanya……
If I could say that. If I that brave.
-AF

No comments: