Saturday, May 30, 2015

[CERPEN] DIARY, SEOUL, DAN RAY



Seoul, 28 November 2014.
Hai! Ehm. Test. Test.
Rasanya agak canggung buat kembali nulis diary. Em…, apa yah? Kaku aja gitu. Secara, terakhir nulis diary itu waktu…, SD! Artinya, udah lima sampai enam tahun yang lalu. Daebak!
Dan sekarang nulis lagi. Alasannya? Karena diary ini dikasih Lei, sahabatku. Katanya diary ini hadiah atas keberhasilanku memenangkan lomba piano di festival musik antar-SMA se-Jakarta dan aku WAJIB mengisinya selama liburan lima hari di Seoul.
Yeps! Sekarang aku berada di Seoul, berdua sama Papa—yang dengan sangat baik hati memberiku hadiah ini jika aku berhasil menjadi juara di festival musik kemarin. Rasanya masih kayak mimpi berada di negara yang sama dengan idola. Super excited! Sempat masih nggak percaya juga pas pertama kali tiba di Incheon dan menyaksikan interior dengan dominasi putihnya dengan mata sendiri. La-la-la-la, rasanya nggak mau berhenti jumpalitan!
Tapi sayangnya, coba di sini juga ada Ray. Pasti bakalan lebih… ups! Kalau tau aku berpikiran begini, Lei pasti ngoceh. Secara, tujuan lain dia kasih diary ke aku itu supaya di buku ini aku juga bisa review perasaanku; tentang gimana rasanya berada di posisi yang ratusan kilometer nggak ketemu Ray—masih sama nggak?
Ternyata, bahkan hari kedua di sini, aku masih senyum-senyum keingetan Ray. Baiklah, Lei, kamu harus siap-siap mengerutkan dahi cantikmu deh, kayaknya. Aku benar-benar gila kalau Ray terlintas di pikiran.
Okelah, berhubung ini masih jam… sepuluh pagi, aku sudahi dulu ceritanya. Papa udah manggil buat jalan-jalan. Nanti aku lanjut ceritanya ya.
Bubye!
-Kya-
*
Seoul, 29 November 2014
Angin Seoul sedang berembus kencang dan daun-daun masih berguguran menyambut salju. Oh, ralat. Sebenarnya, salju belum turun, cumaaaa dinginnya membuatku dari kemarin harus merapatkan jaket tebal, dan setiap kali aku ngomong pasti dari mulut keluar uap.
Kalau di Indonesia, aku baru ngerasain hal kayak begini di Puncak—atau tempat lain yang dekat gunung.
 Kemarin, aku ke banyak tempat. Pergi ke Istana Gyeongbok dan coba pakai Hangbok—baju tradisional khas kerajaan Korea—pertama kali. Ke Seoul Tower, pasang gembok dan buang kuncinya ke sungai gaya-gaya kayak wisata lain, lalu terakhir dinner sama Papa di restoran dekat Seoul Tower, sebelum main ke Han River.
Tebak, nama siapa yang aku tulis di ‘gembok cinta’ itu?
Yaps. Nama Ray.
Aku juga bingung. Udah pergi sejauh ini tapi masih keingetan Ray. Seakan lupa pernah antusias kalau someday mungkin bakalan ketemu Nickhun 2PM atau bahkan Chang Min DBSK karena berada di negeri yang mereka tempati. Cuma keingetan Ray; senyumnya, banyolan jailnya, percakapan kecil kita—yang entah bagaimana ceritanya bisa ku-review seharinya secara lengkap, modus-modus bercanda (yang kadang pernah kuharapkan itu bukan sekadar modus, tapi juga beneran)—HAHA! Duh, sepertinya aku makin ngawur!
Seandainya Ray juga di sini….
Mungkin jadinya bakalan lebih asyik dibanding cuma cerita sama dia di Facebook gimana kegiatanku di sini. Sama-sama jadi saksi dihujani dedaunan yang berjatuhan dari pohonnya, saling menggenggam tangan—menyalurkan kehangatan dari embusan angin yang membuat kami kedinginan. Ini musim yang dia suka, btw. Dia sendiri pernah bilang gitu, karena waktu itu dia cerita kalau dia iseng-iseng ikutan nonton drama Korea sama kakak ceweknya yang judulnya—apaaaa, itu aku lupa.
Hm…, mudah-mudahan itu terjadi di perjalanan ke sini selanjutnya. Di saat salah satu dari kami ada yang mulai buka suara. Apa aku…, Oh Geez, menurut kalian, harus aku duluan? Hubungan kami terlampau dekat, sih. *Gimana nggak dekat, orang teman semeja* =))  dan kadang kedekatan itu bikin aku sebagai cewek, em…, berharap lebih.
Oh ya. Hari ini aku mau ke Pulau Nami. Dan suara Papa udah kedengaran panggil aku buat siap-siap. Jadi, lanjut nanti ya!
Bubye!
-Kya-
*
Seoul, 30 November 2014
Aku video call-an sama Ray! Huaaaaaa!!
Awalnya, dia duluan yang chatting aku di FB semalam. Nanya-nanya tentang gimana perjalananku di Pulau Nami; benar-benar kayak drama Winter Sonata yang sering aku ceritain nggak?
And I said yes.
Selanjutnya, cerita lebih mengalir ketika kami memutuskan untuk video call. Aku bilang ke dia, “Coba lo di sini, Ray. Pasti perjalanan gue makin heboh.”
Dan apa dia bilang? “Lo berangan-angan gue ada di situ karena lo kangen gue, kan?”
Skakmat! Aku sempat tahan napas sebentar, lalu bisa jawab sok cool padahal dalam hati lagi meletup-letup. “Lo kepedean.” Lalu kami berdua ketawa.
Pada dasarnya, iya. Aku kangen dia.
Dan tau apa ucapan terakhir dari rentetan percakapan kami? Ray bilang, dia akan jemput aku di bandara. Aku jingkrak-jingkrak riang! Kalau begini caranya… jadi nggak sabar pulang.
Eh iya, sebelum pulang, beli oleh-oleh dulu kali ya. Khusus Ray, aku mau beli yang spesial ah. Apa ya? Hmm…, mungkin baru bisa dijawab kalau hari ini udah di Insadong kali ya. Haha.
Bubye!
-Kya-
*
Seoul, 1 Desember 2014
Dari desas-desus orang, katanya salju mau turun. Sayang, aku nggak bisa liat langsung. Udah di bandara soalnya. Dan sekarang aku udah di ruang tunggu penumpang. Setengah jam lagi kemungkinan udah masuk pesawat.
Papa ke toilet sebentar, aku duduk sendirian. Makanya, daripada bosan, aku nulis ini.
Detik-detik terakhir di Korea.
Sebenarnya, kemarin-kemarin itu aku datang ke banyak festival. Secara, musim ini memang musim yang asyik buat menggelar festival dan acara olahraga—sebelum salju turun dan kawasan menjadi tempat permainan ski. Tapi karena kemarin aku datangnya pas udah di penghujung musim, jadi festival-festival yang kudatangi itu tinggal penutupannya. Sedih. Kayaknya, lain kali kalau mau ke sini harus benar-benar atur timing deh.
Dan…, oh ya! Aku beli kaus, topeng, dan dreamcatcher untuk Ray. Banyak banget ya? Nggak apa-apa deh. Karena, pas tadi aku kasih tahu, Ray bilang dia juga punya surprise ke aku. Wah, jadi penasaran!
Udah dulu, ya. Nanti aku ceritain lagi kalau udah sampai Jakarta.
Bubye!
-Kya-
*
Jakarta, 1 Desember 2014
Aku baru sampai rumah. Langsung masuk kamar. Dan langsung nulis diary.
Ray memang jemput aku. Dia juga tepat janji soal surprise-nya. Tebak apa? Dia jemput aku bareng Lei.
Ini memang bukan hal yang aneh, sih. Sangat wajar jika dua sahabatku menjemput dan berheboh ria ketika kami bertemu lagi di Jakarta.
Tapi ini bukan perkara menjemput aja. Karena yang kunilai tadi, ada yang beda dari Ray ke Lei. Tatapannya, tingkah lakunya, semua ternilai jelas—bahkan sama orang yang nggak jeli sekali pun—tanpa perlu dikonfirmasi.
Jadi, apa yang kulakukan? Menelan ludah, sok nggak apa-apa, dan kemudian bilang; “Ray, Lei, besok kalian ke rumah gue aja, ya, buat ambil oleh-olehnya.”
Karena, aku nggak sanggup untuk ketemu mereka lebih lama hari ini.
Perlu waktu untuk mencerna,  sampai aku benar-benar berhenti menangis karena sesak.
Seperti hujan di luar sana, yang menunggu waktu yang tepat untuk reda.
*

No comments: