Wednesday, October 7, 2015

[CERPEN] DINDING PENGHANCUR



Gadis itu mengerjapkan mata.
Di depannya, sebuah layar berukuran empat belas inci ikut menatapnya. Kali ini, layar itu tidak bertugas untuk memanjakan visualnya dengan adegan-adegan romantis yang dilakukan oleh pangeran tampan. Layar itu juga tidak menyuguhkannya kalimat-kalimat memabukkan yang menguras pikiran dan emosinya ke dalam sebuah cerita.
Tetapi layar itu ia arahkan pada sebuah dinding. Tempat yang, konon, kebanyakan orang berpikir bahwa itu adalah wahana memamerkan diri mereka. Atas apa yang mereka punya, atas apa yang mereka lakukan, atas apa yang mereka rasakan, dan yang lainnya.
 Yang pertama kali ia dapatkan dari dinding itu adalah kalimat yang dilontarkan dari seorang perempuan bertopi merah. Sepertinya curahan hatinya, pikir gadis itu. Karena yang ia baca dari situ adalah kumpulan kata-kata puitis layaknya seorang penyair papan atas. Entah kalimat itu si perempuan bertopi merah yang buat atau dia curi dari sebuah tempat.
 Yang kedua ia dapatkan adalah foto close up seorang wanita paruh baya, lengkap dengan penampilan ramainya; bedak tebal, eyeliner yang tergaris sempurna di kelopak mata atas, blush on merona di pipi, juga lipstik berwarna merah cerah yang mewarnai bibir. Sempurna, pekik gadis itu. Pasti wanita ini tidak melupakan tumpukan efek dari berbagai aplikasi pengedit foto. Gadis itu tertawa sembari geleng-geleng kepala.
Yang ketiga ia dapatkan adalah seorang lelaki tambun dengan helai putih yang nyaris menutupi kepalanya sedang membagikan sesuatu dari dinding yang lain; sebuah umpatan yang lelaki itu tujukan pada suatu kelompok, pada kebijakan negara, pada para pemerintah. Kalimat yang dilontarkannya murni mengandalkan subjektivitas. Terbukti pada caci maki yang tak terkontrol dihadirkan pada huruf-huruf besar dalam sebuah kalimat. Tidak peduli pada berita pembanding, sehingga yang tercurahkan penuh tendensi dan provokasi.
Gadis itu menjengitkan alis. Ia memang tidak paham bagaimana rasanya menjadi rasis dalam suatu kelompok, sehingga harus menjatuhkan kelompok yang lain. Apakah ini, bagi mereka, termasuk dalam bagian kompetisi?
Baiklah, ia melanjutkan pada apa yang keempat didapatkannya; beberapa foto seorang lelaki, dengan pakaian yang sama, difoto dari berbagai pose—berdiri menghadap kamera, duduk, berdiri tanpa senyum, dan pose yang lainnya. Ia melihat banyak yang menyukai foto ini—terbukti oleh ramainya dinding ini oleh pujian kaum hawa. Lelaki pendamba popularitas, pikir gadis itu. Anehnya, ia tidak tertarik untuk bergabung bersama kaum hawa yang lain untuk memenuhi dinding itu.
Maka, lebih baik ia melihat dinding selanjutnya.
Sebuah video yang merekam sebuah peristiwa yang… ergh, ini menjijikkan! Di mana hati nurani mereka ketika membagikan sebuah video yang tak seharusnya ditonton oleh semua orang? Ia—yang baru melihat di satu menit pertama saja—merasa jengah. Bagaimana bisa sebuah bencana yang memakan banyak korban ini direkam dalam sebuah video—lengkap dengan tampilan korban-korban yang bergeletakan? Bulu kuduknya meremang. Sungguh, ia menyesal. Dan sesal itu lengkap dengan makian pada diri sendiri yang merasa tolol sudah menonton sebagian video itu.
Gadis itu memejamkan mata dan melenguh pelan.
 Pada dasarnya, ia tidak mengerti apa yang harus ia jawab ketika dinding itu bertanya tentang apa yang ia pikirkan. Sama seperti ketidakmengertiannya pada pola pikir orang-orang yang ia temui di dinding tadi. Semua serba menunjukkan apa yang mereka pikirkan dan mereka membangun citra dengan berbagai cara.
Tapi yang gadis itu tangkap kenapa justru sebaliknya? Citra tentang mereka berganti dengan kelemahan dalam bentuk lain—yang ditangkap oleh gadis itu.
Jadi, sebenarnya kegunaan dinding ini apa? Sarana menjunjung citra sekaligus sarana menghancurkan dinding yang lainnya kah?
Lalu sekelebat bayangan melintas di kepala gadis itu seperti video yang berputar; tentang orang-orang di mana ia menghancurkan dindingnya, orang-orang yang tak membutuhkan citra apa pun tentang dirinya, seperti ia yang tidak membutuhkan citra dari orang-orang itu. 
Just the way she is. And also, they are.
Orang-orang itu…, kini berada jauh dari genggamannya.
Ia menatap dinding itu tadi—yang masih melontarkan tanya yang sama. Pertanyaan yang menyerang perasaan, juga mengalahkan logika. Membuatnya menjadi sama seperti orang-orang yang ia temukan di dinding tadi. Dinding ini…, juga menghancurkan dindingnya.
What’s on your mind?
Gadis itu mengetik, aku merindukan kalian.
-AF
*tulisan ini disertakan dalam tantangan #NulisBarengAlumni #KampusFiksi bertema Dinding*


3 comments:

W I G N Y A said...

Nice bahasanya.

Suka cerpen juga?

Anonymous said...

Ceritanya maknanya simpel.. tapi ngena beneeer.
Fia keren.. Eh, sebenarnya awalnya aku agak bingung loh nangkep maksud dinding di sini. Hahaha maafkan akuuuu ^^"

Dhamala said...

Ceritanya maknanya simpel.. tapi ngena beneeer.
Fia keren.. Eh, sebenarnya awalnya aku agak bingung loh nangkep maksud dinding di sini. Hahaha maafkan akuuuu ^^"