Wednesday, October 14, 2015

[CERPEN] FIRST DANCE WITH THE KING





Lonceng berbunyi. Pesta dansa dimulai. Lelaki bermata cokelat itu menatapku dengan lembut. Sebelah tangannya terulur minta disambut. Aku membalasnya dengan senyum, lalu menggandeng tangannya dan kita berdua berjalan ke lantai dansa—tempat Dad yang sudah berdiri di sana.
Ketika Dad sudah di depanku, lelaki bermata cokelat itu tersenyum seolah-olah di balik matanya, ia mengatakan, “Enjoy your first dance.” Sebelum akhirnya ia menyerahkanku pada Dad, dan ia sendiri menghampiri ibunya untuk menikmati dansa pertamanya.
“Jadi, bagaimana rasanya hari ini, Sayang?” Dad bertanya ketika tangan kami sudah saling menggenggam. Kami berdua siap mengambil peran di lantai dansa. “Putri Dad cantik sekali.” Dan itu pujian entah keberapa kalinya dalam hari ini.
“Menyenangkan, Dad. Rasanya aku ingin merasakan hal yang sebahagia ini seumur hidupku.” Aku sendiri tidak bisa menyembunyikan senyum lebar ketika ditanya begitu. Hari ini aku resmi menjadi ratu sehari dari seorang lelaki hebat yang mempersuntingku sebagai istri. Lelaki yang setiap kali kutatap matanya, kudapatkan keberanian yang sama ketika aku bersama Dad. Lelaki yang tidak segan-segan mengorbankan banyak hal untuk melindungiku, sekaligus lelaki yang selalu kupercaya bahwa ia akan terus menyayangiku.
“Aku juga bahagia. Hari ini membuatku teringat saat menikahi ibumu.”
Kali ini aku tersenyum simpul. Aku selalu ingat bagaimana kisah cinta mereka ketika Dad bertemu Mom sejak pertama kali. Baik Dad ataupun Mom sering bercerita tentang itu berulang-ulang, lengkap dengan binar penuh cinta di mata keduanya. Aku pun tidak pernah bosan mendengarnya. Sampai suatu hari, tak ada lagi Mom yang bercerita, dan hanya Dad yang kadang-kadang bercerita sendiri, padaku, sementara binar cinta di matanya berganti dengan tatapan hampa.
Aku tahu bahwa aku akan mendengar kalimat itu dari Dad cepat atau lambat di hari ini. Seperti halnya aku tahu kalimat itu akan membawa kami pada suasana seperti apa.
“Ibumu, dengan kecantikan yang selalu kukagumi, sangat memikat di hari itu. Sama sepertimu di hari ini.”
Ya, Mom memang selalu cantik dan mengagumkan. Aku mengakui hal itu sepenuh hati. Dan entah berapa kali sejak beberapa hari belakangan, aku bermimpi Mom ada di sini, menemaniku dan Dad di hari bahagiaku.
Mungkin itu cara Mom di surga sana memberitahukan bahwa ia turut berbahagia atas hari pernikahanku. Mom memelukku lewat mimpi.
“Ibumu tidak pernah luput dari ingatanku sampai detik ini. Dan itu yang berkali-kali kuingatkan pada lelakimu untuk tidak pernah meluputkan putriku dari ingatannya. Aku tidak segan-segan membunuhnya kalau dia menyakitimu.”
Kali ini aku tertawa. Kutatap manik mata Dad yang sedang bergurau itu seraya meneropong momen-momen kebersamaanku dengan Dad.
Hal yang paling pertama tebersit di benakku adalah saat sulit kami ketika awal-awal ditinggal Mom. Baik aku dan Dad sama-sama lebih banyak diam, merasa sangat kehilangan sosok penghangat di rumah kami, juga tidak tahu caranya menjembatani komunikasi di antara kami. Saat itu aku baru berumur sepuluh tahun, dan perlu waktu yang panjang untukku menyadari bahwa selamanya aku tidak bisa mendengar suara Mom—baik berupa celotehannya, dongeng tiap malamnya, gurauannya, atau senandung nyanyiannya setiap kali kuminta.
Yang kulakukan adalah banyak menangis dan mengurung diri. Aku enggan melakukan apa pun, termasuk pergi ke sekolah. Rasanya tidak lagi sama dan kini lebih berat. Saat itu, aku tidak peduli pada apa pun karena yang kuinginkan adalah aku ingin menyusul Mom saja.
Tapi Dad—dengan segala kekuatannya—akhirnya membuatku luluh dan membuka mata. Saat itu aku menyadari, aku terlalu egois untuk berpikir bahwa hanya aku saja yang kehilangan Mom. Padahal kalau aku mau berpikir lebih luas, sejak saat itu, setiap kali menilik air muka Dad saat Mom menjadi topik pembicaraan kami, Dad-lah yang terlihat lebih kehilangan. Bagi Dad, Mom tidak bisa digantikan oleh siapa pun.
 Lalu Dad menyarankanku untuk mencoba banyak kegiatan. Salah satunya mengambil kursus vokal dan bernyanyi. Aku tentu menentang; suaraku tak sebagus Mom! Tapi saat itu Dad justru menggenggam tanganku erat seolah menyalurkan keberanian dan rasa optimis miliknya dari sana untukku. Genggaman itu yang kemudian selalu diberikannya kepadaku setiap kali aku khawatir menghadapi apa-apa dalam perjalanan karierku; dari pertama kali menjadi peserta lomba bernyanyi, pertama kali terlibat dalam konser, pertama kali punya solo album, dan momen pertama kali lainnya. Keberanian Dad sedikit-banyak sudah menular padaku, sehingga aku tumbuh sebagai gadis yang bersikap optimis ketika menghadapi hal-hal baru.
Dad juga menjadi saksi perjalanan hidupku; menjadi orang pertama yang bangga padaku atas apa saja yang menjadi pencapaianku, juga orang pertama yang membesarkan hatiku ketika keberuntungan sedang tidak berpihak padaku. Dad, dengan segala kehebatannya, selalu menjadi kekuatan terbesarku.
Sampai ketika umurku beranjak sembilan belas tahun. Sama seperti gadis lainnya, aku mulai jatuh cinta. Dan bagiku, ini pertama kalinya. Aku pernah menyinggung lelaki itu satu kali di hadapan Dad, tapi Dad kali itu tidak menggubrisku, tidak seperti ketika aku sedang berceloteh hal-hal lainnya. Saat itu Dad hanya mendengarkan, dengan air muka yang sulit kutebak.
Jadi aku memilih untuk melupakan perasaanku dan meninggalkan lelaki itu. Umurku masih sembilan belas, perjalanan karierku masih panjang. Dan aku hanya ingin melakukan hal-hal yang membuat Dad tersenyum penuh antusias setiap kali aku menceritakannya.
Sampai suatu hari, ketika aku sudah berumur dua puluh lima, lelaki bermata cokelat itu datang dengan sorot mata penuh percaya dirinya. Saat itu karierku sedang jatuh-jatuhnya dan aku kesulitan untuk mengontrol diri, apalagi untuk berkenalan dengan orang baru yang sama sekali tak ada gunanya untukku. Tapi yang terjadi adalah aku mendapatkan bentuk solusi yang tak pernah kupikirkan sebelumnya dari lelaki itu, bonus dengan sengatan optimis yang ia jalarkan lewat tatapannya padaku.
Semua mengalir begitu saja sampai suatu hari saat makan malam Dad menanyakanku tentang dia. Aku mengelak dan meyakinkan Dad bahwa di antara kami tidak ada apa-apa. Tapi saat itu aku melupakan sesuatu; meyakinkan diriku sendiri juga mengingat bahwa tidak ada yang bisa kusembunyikan dari Dad tentang hal apa pun. Dad menemukanku ketika aku diam-diam memutar video konser lelaki itu, dan aku tidak bisa menahan diri untuk tersenyum. Saat itu, dengan segala bentuk keterkejutan yang membuatku bingung harus melakukan apa, Dad hanya berkata, “Wajahmu memerah, Sayang.” Seraya tersenyum—yang lagi-lagi sulit kutebak apa artinya.
Ya, Dad. Mungkin benar, aku memang jatuh cinta. Aku jatuh cinta pada lelaki bermata cokelat yang setiap kali berada di sisinya, aku seperti menemukan sosok yang mirip dengan ayahku sendiri.
“Aku pun berharap begitu, Dad. Dia akan terus menyayangiku sampai kapan pun, sama seperti Dad menyayangi Mom.” Aku tertawa. “Aku akan selalu menyayangi Dad, dan mulai hari ini, aku juga akan selalu menyayanginya—seperti menyayangi diriku sendiri.” Kuyakinkan Dad dari pupil mataku, bahwa Dad tidak akan kehilangan siapa pun, justru bertambah seorang lelaki menjadi anggota baru di keluarga kami. Lelaki yang mungkin suatu saat akan belajar banyak dari Dad untuk menjadi sosok ayah yang selalu kukagumi.
Kali ini Dad yang tersenyum. Dansa pertamaku akan segera berakhir, dan aku akan melanjutkannya bersama lelaki bermata cokelat yang kini menjadi suamiku.
Dad, don’t worry. From now on, I may have a prince. But you still be my king.
-AF
*tulisan ini disertakan dalam tantangan #NulisBarengAlumni #KampusFiksi bertema Ayah*

2 comments:

Wawan Esideika said...

Ah, manis sekali ceritanya...

Pratiwi said...

sudah sangat jarang akhir cerita yang bahagia. dan al-ku bikin ini. keren! hm, sepertinya tema #ayah memang cocok disandingkan dengan pernikahan ya, al. aku tunggu angkamu 25 ya. di lantai dansa dengan lelaki bermata cokelat. jelas bukan ajuma~