Tuesday, January 17, 2017

DAY 11: SOMETHING I ALWAYS THINK "WHAT IF..." ABOUT




Introduction sedikit.
Aku punya hobi menulis sejak masih jadi anak SD. Sekitar dari kelas empat atau lima. Hobi itu membawaku ke rubrik ‘Apa Kabar, Bo?’ pada majalah Bobo langganan, karena salah satu surat untuk majalah tersebut dari sekian surat yang kukirim ke sana. Surat itu sendiri kutulis saat masih kelas 6 SD—daaan, baru di-publish-nya justru saat aku udah SMP. Which is, udah jadi anak pesantren. Jadi, aku sendiri nggak punya fisik majalahnya gimana saat tulisan perdanaku dimuat. :’(
Salah dua dari sekian poin (yang kulupa) pada surat itu adalah, aku request ke Bobo untuk suatu hari nanti bonusnya kertas binder, dan aku meminta kenalan sahabat pena. Yang pertama, karena aku udah masuk pesantren, aku nggak tahu apakah majalah Bobo setelah itu menghadiahkan kertas binder sebagai bonus atau nggak. Yang kedua, itu benar-benar terwujud; aku punya sahabat pena. Dan banyaaak. Saking banyaknya sampai kewalahan begitu orang tua menyambangiku ke pondok—di pekan pertama masuk pesantren—dan membawa amplop layaknya aku redaksi majalah. Benar-benar kebanjiran.
Nah, salah satu dari banyaknya amplop sahabat pena, ada satu yang bikin aku kaget, melting, tapi sekaligus nggak bisa berbuat apa-apa; salah seorang anak dari Jakarta, cewek, melampirkan tiket pertunjukan teater dari salah satu tempat pertunjukan kesenian di Jakarta, sekaligus menawarkan untuk aku jadi pemainnya kalau aku mau. Jadi bisa dibilang free open recruitment dari ‘orang dalam’ karena si anak ini aktor di tempat itu.
Aku kaget, saat itu karena ngerasa aku masih kecil dan secara cuma-cuma ditawarin (hal yang menggiurkan) kayak begini—hanya karena nulis di majalah. Satu sisi juga senang karena pengeeeeen banget ikut. Tawarannya bikin penasaran. Aku udah membayangi suatu hari nanti ada di panggung kesenian Jakarta bersama aktor-aktor lainnya yang lebih keren. Satu sisinya lagi, benar-benar nggak bisa berkutik apa-apa pas Bokap bilang, “udah Abi batalin, Kak, lewat telepon. Abi bilang, ‘Wah, sayangnya… anaknya udah masuk pesantren…’”
Itu sempat bikin lemes-selemes-lemesnya. Responsku saat itu kalau nggak salah meracau pengin banget ulang waktu—karena pas diperiksa lagi, tiket itu udah expired beberapa hari saat aku pegang. Atau gimana caranya nggak jadi anak pondok lagi supaya siapa tahu pas aku dapat tawaran-tawaran serupa bisa ngikutinnya. Ini ibaratnya, you already hold a gold in your hands and you throw it to garbage. Sedih gaes.
Sejak itu, kata-kata pengandaian sering datang. Lebih ke bentuk ‘what-if’ penyesalan; andai kalau bukan jadi anak pondok. Dan semakin sering dan kuat datang kalau lagi di masa-masa jenuh di pondok, lagi banyak-banyaknya PR hafalan, lagi bĂȘte sama ustadzah biro pengasuhan, lagi slek sama temen, lagi jengah sama banyaknya peraturan yang bikin nggak sebebas anak-anak sekolah lainnya, dan terutama ketika punya teman satu perasaan serupa yang pengennya cepat-cepat keluar.
Penyesalan itu juga bertahan sampai sekitar tahun ketiga jadi anak pondok. Sampai akhirnya tahu bahwa sebenarnya menyesal tentang masa lalu itu nggak baik. Karena selain kita seakan ingin banget mengubah takdir yang sudah digaris Yang Maha Kuasa, itu juga mengikis kita dari rasa bersyukur; atas apa yang terjadi di masa lalu, tentang kenangan-kenangan baik yang layak disimpan, juga tentang masa depan yang (siapa tahu) baik ke depannya.
Jadi, sebenarnya berandai-andai yang lebih baik itu kalau yang kita andaikan adalah masa depan. Membuat kita keep dreaming, do something, dan make a plan to achieve it.
Sejak saat itu, yang dilakukan adalah berusaha menerima. Lagi pula, masa-masa tiga tahun awal jadi anak pondok juga nggak bisa dibilang buruk. Seru banget malah. Aku jadi punya pengalaman ikut banyak eks-kul besar (eh, cuma coba dua doang ding), dari situ jadi sering kemah, pensi, out bond, wide game, lalu ngerasain juga yang namanya nyeburin teman ulang tahun di kolam biro pengasuhan, manjat pagar besi yang tingginya dua setengah kali lipat pakai gamis, ngumpetin dan ngobrak-abrik lemari teman yang ulang tahun, nyeker dari lab biologi sampai kelas yang jauhnya alaihim gambreng karena sepatuku diumpetin teman—sebagai bagian dari tradisi ultah—sampai diliatin anak-anak putra yang lewat, punya pacar pertama kali (ehm) dan taktik kirim surat-suratannya macam Angelina Jolie di film-film action supaya nggak ketahuan… eh, ini kok pengalamannya nganu semua sik? :’(
Satu sisi juga, aku bersyukur atas banyak hal, tentang apa yang didapat saat ini mungkin adalah implikasi dari masa lalu. Dulu, aku hanya berpikir kalau seandainya dengan aku menerima tawaran itu, maka saat ini mungkin aku sudah ada di panggung besar. Coba kalau pengandaiannya dibalik; bagaimana kalau ternyata nggak begitu? atau tentang hal-hal printilan lainnya kayak; kalau beneran jadi anak teater, maka masa-masa SMP akan ngerasain bolak-balik Jakarta-Bekasi demi latihan rutin. Ngerasain traffic sampai larut malam lalu besoknya harus kejar tayang PR sekolah. Belum lagi kasus-kasus anak cewek abege dan pergaulannya yang hmm banget. Aku nggak yakin, di saat itu aku bisa strong apa nggak. Lagi pula juga, kalau bukan karena dulu, sekarang belum tentu aku bisa mandiri, yang dipercaya ke mana-mana—bahkan sampai luar kota—sendiri, mengingat sebagai anak cewek satu-satunya; belum tentu beneran jadi penulis, belum tentu punya teman-teman yang baik untuk mengingatkan pada hal-hal yang baik.
Jadi… begitulah. Maybe I already throw the (I think it’s) gold—and universe want me to did it too—to discover a beautiful diamond on my own hand for prettifying my future. Aamiin ;)
-AF


5 comments:

Anonymous said...

Akuuu selalu ingin punya sahabat pena, dulu suka baca rubrik 'apa kabar, bo?' juga. tapi nggak pernah benar-benar berani ngirim surat. #cupuw

Btw, aku penasaran, surat-surat yang sejibun itu lantas kamu balasin nggak fi? terus kabar si orang yang ngajakin kamu teater gimana, kamu balasin juga?

Aku sukaaa cerita di postingan ini... membuatku ngebayangin anak2 kecil di film yang imut2 nungguin pak pos datang di depan rumahnya :")

FHEA said...

yang amplopnya masih selamat, atau yang nyantumin alamat di suratnya doang, tan... aku dudul banget, pas surat-surat mereka kuterima, aku robek amplopnya, terus buang. Nyelamtein suratnya doang... padahal belum kubalas. Jadi cuma beberapa deh yang bertahan. Dan beberapa surat di antaranya masih kusimpan sampai sekarang. :p

Yang ngajakin teater cuma dibalas bapakku thok. Cuma buat konfirmasi penolakan ajakan karena dia butuh konfirmasi cepat. Aku nggak balas, terlalu patah hatii... bhahaha

Herukasious said...

Subhanallah ya ukhti, manjat pagar pake gamis :)

yenita anggraini said...

Tulis tentang kehidupan anak pesantren dong, Piaaaah...kupenasaran

FHEA said...

Bhahaha nanti ya taan kalo momennya udah paas... :p