Friday, February 10, 2017

DAY 27: LESSON I'VE LEARNED THE HARD WAY




Masih empat hari lagi, kalau tulisan ini kelar, sisanya tinggal tiga hari lagi… sementara duo Capricorn—si TanGi dan Heru—udah selesai menyusul Tansis. Ini kapan aku closure-nyaaa? #heh!
Sebenarnya ini ditulis dalam keadaan kepala masih rada berat, padahal udah dibawa tidur. Mau main ponsel, tapi kondisinya lagi drop dan lagi di-charge total. Jadilah melarikan diri ke sini buat nulis. Kali aja jadi semakin rileks….
Ngomong-ngomong soal lesson you’ve learn the hard way, pas banget berpapasan sama satu masalah besar yang baru aja aku sadari kemarin ini; KTP-ku udah kedaluwarsa sejak 2016 kemarin, padahal Pilkada sebentar lagi! Kaget? Nggak, sih. Sebenarnya cuma ngebayangin bagaimana rempongnya buat urusin lagi. Belum lagi kalau-kalau harus dikomenin kenapa baru sekarang sadarnya. Ya abis gimana, kebutuhan KTP suka nggak urgent-urgent amat. Kalaupun KTP-ku masih aktif, tetap aja nggak terdaftar karena masih dalam bentuk laminating, bukan e-KTP. Jadi boro-boro juga terdaftar seumur hidup.
Buat yang masih bingung kenapa KTP-ku masih berlaminating, jadi begini cerita (drama)-nya…
Jadi awalnya, kayak yang lain-lain pas lagi berbondong-bondong urusin e-KTP, aku juga ikut. Dan saat itu juga, aku punya. Itu hanya bertahan beberapa lama… sampai negara api menyerang. Ini yang namanya ‘negara api’, beneran api. Bahasa eksplisitnya, dompetku terbakar.
Cadas, kan? =))
Peristiwa dompet terbakar ini pasti menimbulkan pertanyaan. Jangankan buat yang baca tulisan ini, buat aku yang—sebenarnya udah terjadi beberapa tahun lalu—masih aja kepo kenapa bisa. Misterius juga kejadiannya, men!
Ini terjadinya pas aku lagi KKN. Jadi ceritanya, sehari sebelum ada program seminar buat ibu-ibu, aku dan seorang temanku bertugas melengkapi alat dan bahan ke beberapa toko. Saat itu dompet masih kupegang, aku masih jajan sambil beli-beli bahan. Begitu selesai dan aku kembali sama temanku ke penginapan cewek-cewek dulu, aku juga masih pegang. Setelah itu nggak begitu ingat karena malamnya kami harus pengajian di salah satu rumah tetua desa, yang dilanjutkan menyiapkan beberapa bahan dan alat seminar buat besok.
Antara malam itu juga atau besoknya, aku mulai sadar karena mau beli sesuatu tapi dompet nggak ketemu di mana-mana. Obrak-abrik barang sana-sini, cari sampai pelosok rumah penginapan barangkali keselip, nggak ketemu. Nggak mungkin juga nyasar ke tempat cowok karena aku sama sekali nggak ke penginapan cowok dalam waktu-waktu dekat. Berbagai persepsi muncul sampai akhirnya harus menekan persepsi slash asumsi itu selama hari seminar karena pikiran jadi bercabang. Jadi aku memilih memfokuskan acara itu dulu, di samping teman-teman juga fokusnya ke sana dan bersedia mem-back up kalau aku butuh sesuatu terkait uang.
Setelah selesai seminar, barang-barang otomatis berantakan dan semua bersarang di penginapan cewek, semakin susah dicari. Sampai sekitar dua hari sejak aku sadar bahwa dompet itu nggak ada di mana-mana, belum juga kelihatan tandanya. Salah seorang temanku—yang kita sebut saja si Ijun—di KKN menawarkan diri untuk bertanya temannya yang konon bisa ‘melihat’ buat dikasih petunjuk, mungkin karena udah lama juga ngebingungin teman sekelompok soal ini. Dari temannya si Ijun itu, dapat clue-nya, “Dompet itu ada di tempat hijau. Rada gelap. Kalau bisa, dicarinya besok pagi sebelum siang. Kalau nggak, bisa nggak selamat.” Dan dia mengucapkan begitu saat malam-malam. Kebayang, saat itu juga aku nggak bisa tidur.
Besok pagi, ditemani oleh salah seorang teman yang lain, si Nenek, langsung melakukan penjelajahan ke berbagai tempat yang kami kerucutkan ke rumput-rumput dekat rumah. Asumsi kami dari clue temannya Ijun itu; ada di rumput-rumput tempat berkumpulnya sampah dan yang dimaksud lenyap itu kalau sampah-sampah itu harus dibuang ke tempat yang lebih jauh lagi, atau harus dibakar. Jadi semakin pagi semakin baik. Dan di pagi itu juga, rasanya udah kayak pemulung bermuka bantal yang korek-korek sampah… tapi nggak ada hasil.
Sempat putus asa, mungkin karena terlalu percaya sama orang yang konon punya ‘kelebihan’ dan sempat ragu kalau mempercayainya itu hal yang benar apa nggak. Tapi ya namanya juga ikhtiar….
Sekitar jam sembilan menjelang siang, dua teman cowok datang ke penginapan cewek (karena penginapan cewek kerap lebih dijadikan basecamp rapat atau sekadar makan menjelang brunch sampai malam), dan dua-duanya memasang wajah yang sulit didefinisikan; antara getir tapi memaksa senyum, tapi kayak ada yang mau disampaikan, dan semua ke arahku. Kata salah satu di antaranya, “Jangan kaget, ya….” Lalu memberi satu bungkus plastik hitam yang isinya sisa-sisa fisik dompetku yang gosong, koin-koin yang terpaksa berubah warna, nggak ada kartu-kartu, nggak ada uang kertas yang tersisa. Saat menerima itu rasanya sekujur tubuh gemetaran—terutama lutut—dan langsung menghampiri salah satu teman cewek terdekat, buat nangis, tapi sambil ngomel-ngomel karena masih unbelievable. Cowok-cowok yang tadi memberi tahu terlihat mukanya serba salah, nggak enakan, mewajarkan kalau aku menangis, sambil menceritakan kronologinya versi mereka. Ternyata ada di tumpukan sampah dekat penginapan mereka. Tentang bagaimana caranya atau kenapa bisa sampai ke sana padahal aku lagi nggak berkunjung ke tempat cowok, itu juga wallahu a’lam. Tapi satu sisi aku juga lega karena fisiknya ketahuan jadi aku nggak penasaran ada di mananya. Yang—terpaksa harus—lenyap saat itu; uang tunai yang jumlahnya cukup lumayan buat makan dan jajan sehari—tapi untungnya nggak banyak, foto, para kartu ATM-KTP-KTM-kartu rumah sakit sama kartu apa lagiii gitu. ATM udah aku blokir dan pengurusannya harus ke Ciputat (karena selain banknya di Ciputat, kantor polisi buat mengurus surat kehilangannya juga bersebelahan beberapa ratus meter)  sementara KTP harus diurus di Bekasi.
Buat jadi pembelajaran, mengurus hal-hal yang berkaitan dengan surat-surat negara itu memakan waktunya ampun-ampunan ya! =)) nggak KTP, nggak surat kehilangan, nggak ATM. Waktu aku bikin KTP itu, kebetulan aku juga lagi butuh buat beli tiket kereta. Saat itu e-KTP masih simpang siur keberlanjutannya, jadi warga yang mau bikin KTP lagi dikembalikan ke bentuk laminating. Waktu itu kalau nggak salah butuh tiga hari sampai aku pegang KTP-nya. Selang beberapa waktu, barulah dicetuskan e-KTP seumur hidup.
Rasanya bête. Tapi ya gimana ya… e-KTP sama KTP biasa cuma beda di fisik sih, jadi nggak bête-bete amat. Coba e-KTP bisa juga digunain buat memanfaatkan fasilitas negara lebih mudah. Kayak misalnya; baca buku sepuasnya di PNRI, gratis main di MONAS bagian atas sebelum emasnya, punya rumah di TMII, belanja sepuasnya tanpa bikin melarat di GI, PI, MOI… #heh
Selesai! Sampai jumpa di tiga postingan terakhirnya….
-AF

6 comments:

Anonymous said...

(((Terbakar))) Ini ceritanya semi mistis semi thriller deh, Fi XD Tapi temenmu hebat juga ya, beneran ada di tempat sampah dan sampahnya dibakar pula di pagi itu...

Herukasious said...

Tuh peramal gak bisa ngasih tahu lbh eksplisit apa ya?

tapi emng yaa ngurus2 kartu yg berhubungan dengan pemerintah itu nightmare bangett.

FHEA said...

Iya Tan. aku kalau lagi ketemu temen KKN, flashback bagian ini berasa sakti sendiri.. =))

iya bener, mana dibutuhkannya sebentar lagi. Hvft!

yenita anggraini said...

Ngebayangin adegan ngacak-ngacak tempat sampah karena petunjuk seorang nenek. Maaaaaygaaad....*ngakak*

FHEA said...

bukan nenek tan yang kasih petunjuk. temannya temanku. =))

yenita anggraini said...

Lah, aku baca nenek di bagian mana???? *mendadak mistis beneran*