Saturday, September 19, 2020

DAY 1: DESCRIBE YOUR PERSONALITY

 


Diajak TanGi untuk main challenge beginian lagi. Setelah yang pertama kali di 2017, begitu challenge selesai, berdebulah blog ini sampai disapu lagi hari ini; Tiga tahun setengah setelahnya, di bulan September 2020—ketika aku bahkan udah lupa, dandanan blogku kayak gimana. :’)

Topiknya ada yang sama ada yang beda dari tiga tahun yang lalu. Tapiii, sebagaimana manusia yang tentu saja melewati banyak peristiwa, naik dan turun kehidupan, perubahan sudut pandang, perbedaan struktur emosi, pola pikir dan tujuan hidup, sekalipun topiknya sama akan menghasilkan cerita yang berbeda jika ditulis di tahun yang berbeda. Hahaha! Sebenarnya, apa aja sih yang beda?


 

Oke, topik pertama adalah tentang diri sendiri.

Sebenarnya, menurutku aku begini-gini aja.  Tapi ada hal menarik yang ingin aku ceritakan sebagai rekam jejak di masa depan untuk diliat tentang masa ini.

Di beberapa postingan sebelumnya, aku sempat cerita bahwa dulunya aku adalah yang mengklaim diri sendiri sebagai orang introvert, sampai dibanting sendiri sama kenyataan ketika aku berulang-ulang tes MBTI ternyata hasilnya ternyata extrovert. Ya jelas pada saat itu kenyataan tersebut dapat dukungan dari orang-orang terdekat, di mana mereka yang melihat aku secara sekilas juga udah ketahuan. Aku extrovert pakai banget.

Sejak itu, mulailah menerima kenyataan. Kayaknya emang aku extro; suka hehebohan sama banyak orang, ketemu orang baru, punya energi ketika having fun di luar, ngerasa ga ada energi kalau sendirian, masuk keluar komunitas, daaan seterusnya.

Sampai pada titik aku menghadapi sesuatu yang membuatku memutuskan untuk membatasi diri. Dari banyak orang, dari teman sendiri, dari banyak interaksi, dan mulai lebih aware untuk membangun kepercayaan pada orang lain. Hanya orang-orang tertentu dan terdekat yang aku perbolehkan untuk tetap berkomunikasi, itu pun perlu waktu panjang bagi mereka untuk tahu apa yang terjadi. Selama itu, yang aku butuhkan hanya haha hihi, membicarakan hal lain, meski aku tahu mereka sebenarnya bertanya-tanya. Aku juga tahu sebenarnya aku berhutang penjelasan. Tapi aku perlu waktu, sekiranya ketika aku menjelaskan sudah dalam emosi yang lebih stabil. Nggak kayak keran yang diputar. Belajar jadi lebih dewasa, tetap kelihatan santai dan stabil meski di dalamnya malah fragile.

Mungkin di situ awalnya berubah menjadi lebih menutup diri, lebih merasa save ketika sendirian, di rumah, di kamar, di dalam pikiran sendiri. Frekuensi bertemu orang-orang jadi nggak sebanyak sebelumnya, dan lebih mikir dari yang dulu. Hari ini mau ketemu A. Duh, nanti dia nanya nggak, ya? Kalau dibahas mesti gimana? Siapin jawaban dulu, deh. Gituuu mulu setiap mau meet up. Yah, daripada nggak diantisipasi tau-tau ada sesuatu yang menganak-sungai. Hmm!

Setelah itu, kupikir aku sudah lebih baik. Lebih ‘sembuh’. Siap menjalani hal selanjutnya. Sampai memutuskan untuk masuk di dunia kerja yang memang harus catch up ke banyak orang. Nggak bisa yang cuma duduk terus nunggu orang ngajak kenalan, tapi harus yang memulai duluan. Harus pintar membawa suasana, mencairkan percakapan, supaya terkumpul data yang diinginkan. Hal pertama yang bikin jetlag adalah, yang tadinya insecure kalau ada yang save nomer ponselku, sekarang justru membiarkan nomer itu tersebar. Jangkau link sebanyak-banyaknya. Pada mulanya, rasanya ketakutan. Tapi harus memaksa diri untuk menjalani risiko yang sudah dipilih.

Setelah itu ada momen-momen di mana aku nggak punya pertahanan yang cukup untuk menyaring apa yang aku dengar. Kalau kata filosofi salah seorang teman yang berinisial TanSug, “Kenapa kapal Titanic bisa tenggelam? Karena dia nggak ada ketahanan yang kuat untuk menyumpal, menghambat, menutup air yang masuk. Jadi lama-lama hanyut di laut.” Itu juga yang terjadi pada saat itu. Aku menelan bulat-bulat apa yang aku dengar dari orang lain, yang mana vibes negatif jauh lebih besar dari positifnya.  Nggak punya standar ideal yang bisa jadi patokan diri sendiri supaya bisa lebih denial dan defensive. Sering kali ngerasa ambruk dan perlu nangis yang banyaaaak supaya lebih ‘sehat’, karena pernah meminta bantuan dari orang yang aku pikir lebih ber’power’, nggak taunya mental begitu aja. Apa yang aku sampaikan nggak dapat reaksi yang aku butuhkan. Mereka nggak menangkap poinnya. Lambat laun, aku semakin kehilangan diri sendiri.

Di sini, aku mulai mengumpulkan kekuatan untuk menyelamatkan diri sendiri. Mengumpulkan energi dalam kesendirian, mengulang apa yang pernah aku lakukan di masa lalu tentang definisi menutup diri. Semakin nggak mau ketemu orang supaya meminimalisir konflik. Karena pikiran dan hati yang ribut output­-nya suka nggak terkendali.

Iseng-iseng coba tes MBTI lagi, hasilnya berubah jadi introvert. Langsung ketawa ajaaa melihat hasil yang seekstrem itu berubahnya. Sebenarnya, jadi introvert sama extrovert nggak ada masalah sih. Dua sifat itu bisa ada di dalam diri manusia, dan itu sah-sah aja. Tapi, buatku, sekalipun aku extrovert ataupun introvert, rasanya tetap ‘salah’ kalau nggak berdamai sama pikiran, hati dan menemukan diri sendiri.

Maka aku memutuskan untuk pergi dari tempat itu. Menjauh dari hiruk-pikuk ibukota. Kembali mengenali diri sendiri di tempat yang tidak aku kenali siapa aja orang-orang yang ada di sana. Di tempat itu, salah seorang teman baru menyeletuk saat kami membahas soal kepribadian.

“Masa sih kamu extrovert? Kupikir introvert. Karena lebih suka sendirian ketika lagi ada keramaian.”

Lagi-lagi, aku hanya tersenyum.

10 comments:

yenita anggraini said...

Piaaah, aku kangen tulisan kamu. Akhirnya ya. Tapi, introvert dan extrovert pada akhirnya hanyalah sebuah penilaian. Tetap kita sendiri yang akhirnya harus menemukan diri sendiri dan yang paling penting, tetap bahagia dan terkoneksi dengan orang-orang yang menimbulkan perasaan itu.

Btw, baru inget kalau TanSug pernah sefilosofis itu. *ngakak*

Fia said...

Tangi selalu wise :') maaci taaan

iya dong. momen legendarissss

Herukasious said...

Hooooo Jadi kabur ke Pare itu karena sesuatu...

Kadang, memutus hubungan dengan orang tertentu itu memang jalan satu-satunya untuk tetap sehat ya,karena memang sudah tidak ada lagi alasan tetap saling berhubungan 😂 (apasik)

Herukasious said...

Hooooo jadi ke Pare itu karena sesuatu di kantor anu ya??? kamu berhutang penjelasan!!!

Fia said...

wkwkwk nanti pankapan cerita yaaakkk

Lugina said...

Terharu banget di bagian "tetap salah kalau nggak berdamai dengan hati, pikiran, dan menemukan diri sendiri."

Menemukan diri sendiri itu mewah banget si, bisa merenung, berefleksi atas perjalanan yg udh ditempuh, rasanya lega-lega dan sedikit bangga gimana gituu... Paling enggak, aku suka ngerasa begitu. :')

Selamat fiaaaa... Udah ngelewatin jungkir balik perjalanan yang bisa membawamu sampai ke sini. Semoga kita semakin oke dan hepi menjalani hari2 ke depannya... *kepalkan tangan ala Bora

Mufi said...

Kamu berhutang penjelasan fiii!!!

Fia said...

Tansis: aaamiin... aaamiiin... you too, tansis!

Mufi: wkwkkw nanti yaaa

Dhamala said...

Setuju soal introvert dan ekstrovert bisa ada dua-duanya di diri manusia. Selamat, Fia. Ups and Downs yang sudah dialami, semoga menjadi bekal untuk jadi lebih baik lagi ya. :)

FHEA said...

Iya, Malaaa. Belajar bgt dr kamu tentang melewati trouble kehidupan.. Wkwkwk