Sunday, January 3, 2021

MEREVIEW LOMBA MENULIS DENGAN HADIAH PERASAAN MENANG


 

Sekitar akhir 2020 lalu, lupa tepatnya di bulan apa, aku mengikuti lomba menulis (lagi) entah keberapa kali. Sebelumnya, ada beberapa deretan lomba menulis novel bergengsi yang kuikuti—dan kalah. Dari yang awalnya punya energi penuh, sampai berkurang, berkurang, hingga drained. Ketika masih dalam masa-masa down-nya, sebuah poster terpampang di grup kepenulisan yang merujuk pada lomba menulis yang cukup bergengsi dari sebuah penerbit besar. Mereka memberi durasi waktu kira-kira sebulan (mungkin lebih) dari pengumuman hingga tenggat pengumpulan. Naskah yang dikumpulkan minimal 60%—dengan menjanjikan voucher dari toko buku daring untuk setiap pengirim. Hadiah masih belum diumumkan. Sambil mengumpulkan sisa-sisa energi, mulailah otak-atik tabungan naskah yang sekiranya pas buat lomba ini. Memutuskan salah satu di antaranya, dan kirim.

H+1 tenggat pengumuman (misalnya tenggatnya tanggal 30 November, maka h+1nya jadi tanggal 1 Desember) setiap peserta mendapat surel yang berisi link Zoom besok malam untuk pengumuman 50 besar. Sampai sini, mulai kegeeran tuh. Pasalnya, aku mendapat surel lumayan awal-awal dibanding beberapa teman lain yang ikutan. Berpikir bagian dari 50 besarnya lah, ampe diselamatin lah, segala macam. Karena, surelnya nggak datang dalam satu waktu dan tidak untuk beberapa alamat surel sekaligus. Jadi kayak surel pribadi yang dikirim satu-satu. Jelas aja, yang dapat bisa kegeeran, yang nggak dapat jadi insecure. Eh ternyata… selang beberapa jam, dapat info kalau semua peserta emang dapat. Jadi di-list di komen IG siapa aja yang belum menerima. Bhaiq

Ketika Zoom dilaksanakan dan peserta sudah ramai berkumpul… kondisi chaos. Selama 45 menit, iya 45 menit, kami hanya mendengar ricuh. Asli, ini webinar, kelas online, atau apa pun namanya, terparah yang pernah aku hadiri. Mau yang sifatnya kelas bareng teman-teman biasa, apalagi yang formal banyak orang, nggak pernah ada yang kayak gini. Selama 45 menit, peserta hanya mendengar bising; orang berbicara, suara televisi, bunyi ini, bunyi itu, dan panitia tidak bisa mute all participants karena katanya ada kendala teknis. Oke, sabar, meski aslinya udah heran sih.

Setelah itu, kami diminta pindah link Zoom dan yang nggak bisa di-accept bisa lihat di YouTube.  Demi tidak membuang waktu, aku tim YT aja. Apa yang terjadi? Daging pengumuman tidak sampai 2 menit. Kebanting jauh dengan chaos sebelumnya. Sabar…

Aku masuk 50 besar, singkat cerita. Ini jelas harapan besar dari yang kemarin kalah lomba terus! Tapi sayangnya, nggak tahu apa kelanjutannya karena nggak langsung dijelasin saat pengumuman. Hingga hari Sabtu, ketika aku punya kelas reguler tiap malam Minggu dan malam Senin, surel datang meminta kandidat 50 besar untuk Zoom lagi jam 8 malam. Astaga, bisa nggak sih nggak dadakan. T_T Ini jelas bentrok dengan kelas regulerku, dan malam itu topiknya lagi seru banget. Kelas reguler dimajukan ke jam 7 (karena beberapa anggota kelasnya juga masuk 50 besar—termasuk si pemateri), dan sepanjang materi nggak nyaman karena dikit-dikit melihat jam. Dengan berat hati, kelas belum berakhir, aku langsung cabs pindah ke kelas lomba demi mematuhi peraturan.

Bela-belain pindah (dan kayaknya telat beberapa menit juga), ternyata kelas belum dimulai. Lebih tercengang lagi ketika ada yang bilang, “sebentar, ya, mentor ini dan ini malmingan dulu.” I mean, astagaaaa, sejak kapan malmingan jadi excuse yang acceptable di dunia professional? Apa kabar dengan aku—dan mungkin peserta lain yang bela-belain waktunya? Tau gitu nggak bubarin kelas reguler di sebelah deh.

Kelas dimulai dengan mentor yang ada dulu. Dikirain Zoom ini bertujuan untuk mengumumkan timeline lomba, hadiah, atau apa pun teknis yang perlu dipenuhi oleh peserta. Nggak tahunya, bahas titik, koma, sekalian aja bikin 2 SKS soal PUEBI. Ini kan lomba, yang mana materi basic seharusnya sudah ditelan oleh kandidat. Atau kalau mau bedah, sekalian lebih ke spesifik tulisan siapa aja yang dimaksud. Biar deep review. Bukan kayak kelas menulis untuk pemula yang dikasih tau hal-hal standar dan masih umum. Oh ya, perkiraan awal, yang namanya mentor dikirain akan membimbing. Entah soal ide, personal branding, atau apa pun. Tapi sayangnya ketika Zoom, beberapa di antara mereka nggak menyediakan kontak untuk kami. Tidak menyarankan di DM, surel, apalagi nomer WA. Ini sih namanya bukan mentor, tapi bintang tamu~

Kurang lebih 2 jam sampai mengantuk untuk hadir kelas ini, nggak taunya teknis akan dijelaskan di surel besok. Mereka mengumumkan semua naskah peserta yang masuk akan diterbitkan. Wih, kaya gila nih penerbit. Lalu bedanya apa dengan yang menang? Salah satu penyelenggara menjawab, “Kalian tuh bakalan ngerasain menang! Gimana gitu kan, ikut lomba terus menang…”

Perasaan menang…

Perasaan menang…

Perasaan menang…

Aku tercenung. Apakah sekarang ‘perasaan menang’ udah jadi nilai tukar yang bisa beli paket data buat ngegantiin Zoom marathon kayak gini, bayar WiFi, token listrik, sarapan bubur ayam, langganan NetFlix, beli lotion The Body Shop, parfum Victoria Secret, tiket Disneyland Jepang, nyicil beli rumah dan pergi haji? Ini akutu hidup di zaman apa, sih? T_T

Seluruh kandidat 50 besar diberi ruang khusus di grup WA. Di sini, kami diberi waktu satu minggu (faktanya sih cuma 6 hari) untuk menyempurnakan naskah minimal 150 halaman. Naskahku yang tadinya cuma 132, cuma bisa digemukin sampai 145. Selebihnya buntu karena nyambi kerja ini-itu juga. Di saat yang bersamaan, mereka menyediakan tim feedback yang akan mengkritik naskah tiap peserta. Ada beberapa orang dalam satu tim, dan setiap orang memegang banyak peserta/naskah. Aku sendiri kedapatan seorang pengulas (kita sebut gitu aja ya) yang awalnya aku apresiasi ketika mengkritik detail teknis PUEBI sesuai dengan penerbit. Sampai dia bilang, “Hapus bagian yang bertele-tele, Kak.”

Aku mengerut. “Bagian mana yang bertele-tele, Kak?”

Dia menunjukkan sebuah part yang sebenarnya membangun karakter dan konflik. “Ini salah satunya, Kak. Ceritanya kurang padat dan nampol, jadi pembacanya kurang greget.”

Kerutanku lebih dalam, kusampaikanlah maksudku.

Katanya? “Kata-katanya lebih dipermaks lagi, Kak.”

“Dipermaks bagaimana, Mbak?” Aku sampai lupa panggil dia ‘Kak’ lagi.

“Lebih nampol, Kak.”

Rasanyaaaa aku mau jawab, “jangan sampai saya nampol Mbaknya lho ya!” Saking kesal sama feedback-nya. Ayolah, aku lebih menghargai kalau dia bilang, “Kak, adegan ini maksudnya mau menyampaikan apa?” Kalau dia memang nggak mengerti. Atau, “Kak, karakter ini kayaknya lebih cocok begini deh.” Atau kalau mau lebih deep lagi kayak editor-editor pada umumnya, “Coba baca atau nonton film ini deh, Kak, saya kira naskah Kakak agak relate sama karya tersebut.”

Kalau cuma nampol-nampol aja nggak akan abis, cuy. Subjektif syekalih. Setengah demotivasi, aku ucapin makasih ke si pengulas, dan nge-iya-iyain aja.

Awalnya aku kirim naskah 145 halaman. Setelah periksa ulang, ternyata aku lupa memasukkan link promosi, jadi aku revisilah sekalian. Naskah kuakal-akalin biar sampai 150, beserta insert link. Syukurlah, panitia membalas melalui surel kedua.

Pengumuman 25 besar pun dilaksanakan dengan premiere video YouTube 2 menit sementara videonya sendiri… 30 detik! Astagfirullah, 2 kali instastory juga kelar itu, Cuy. Masuk feed IG juga masih muat. Dikirain mau ada pengumuman lain (hadiah, misalnya. Karena sampai titik itu kami belum tahu apa hadiahnya! XD) sampai membutuhkan YT. Ternyata nggak ada, penthink syekali yah ;))

Aku masuk 25 besar, punya grup WA baru lagi. Sejak masih 50 besar, aku nanya-nanya ke panitia di grup tentang apa hadiahnya dan bagaimana timeline lomba ini. Karena sedari awal yang selalu dadakan, aku rasa perlu timeline untuk menyesuaikan sama jadwal kerja. Sampai masuk grup 25 besar, nggak dikasih tau juga secara gamblang. Kami justru dikasih tugas bikin 3 jenis video (teaser novel, cast, sama audio video) dengan tenggat satu minggu.

Aku demot parah. Mau bikin video nggak punya motivasinya. Malah keidean mau bikin video kayak Nam Dosan yang “MONEEEY MONEEEEY!”

3 kali nanya, dijawab oleh salah satu penyelenggara, “hadiahnya ucapan selamat dari aku…” atau ditinggal mandi. Iye, cuy, MANDI! (Ketika di mana-mana pengumuman lomba itu sepaket sama apa hadiahnya, lomba ini kudu diuber-uber peserta dulu sampai ditinggal MANDI!). Ditambah, si pengulas naskahku yang bikin aku lost respect. Merasa diuber mungkin, besoknya mereka jualan merchandise ke grup. Entah gimana, otakku mengait-kaitkan sendiri. Ini tuh kayak danus KKN gitu ya, ngumpulin dana dari jualan apa gimana? Supaya pemenangnya dapat hadiah, mereka dagang? Eh kenapa baru sekarang tapi?

Waktu itu juga, mereka keidean bikin tugas kelompok buat bikin video. Nggak jelas juga buat apa, secara naskah tiap individu aja udah beda. Penyelenggara jawab, “Iya, biar keliatan kalian gimana dalam kelompok, padahal kan kalian kompetitor… hihihi!” Astagfirullah, nggak esensial sekali. Lalu, konsep itu diubah dadakan. Katanya nggak perlu kelompokan (ya emang!), tapi mereka memberikan semacam pengarah untuk tiap peserta. Dan itu tim pengulas yang kuceritain di atas.

‘Semacam pengarah’, gengs! Secara posisi aja mereka dijelaskan ambang.

Mau sok-sok optimis ngebayangin, nih penerbit kaya banget. SEMUA naskah peserta aja diterbitin (total ada 350 naskah masuk), ditambah tugas kita banyak. Pastilah hadiahnya bakalan gede dibanding lomba lain. Ntar dulu, cuy. Nggak semua di dunia ini otomatis ini otomatis itu. Buktinya, ketika udah diuber-uber peserta soal hadiah, kenyataannya… BAM!

Mereka mengumumkan agenda Zoom lagi selama LIMA JAM lebih dari sore sampai malam untuk 25 besar kurang dari sehari sebelumnya. Astagfirullah… apakah penyelenggara-penyelenggara YTH ini tidak memikirkan kuota, ponsel, waktu, hingga mata para pesertanya?  Apakah mereka tidak punya jadwal fix sedari penyusunan lomba? Sebelumnya, penyelenggara baru minta premis (iya, baru ketika 25 besar. Lomba lain mah di awal, cuy!) di grup. Untuk Zoom rasa pelatihan CPNSnya sendiri, aku cuma bisa muncul sebentar habis magrib karena bentrok dengan jam kerja yang sudah disusun jauh hari.

Di Zoom 5 jam itu, mereka baru memberi tahu hadiah. Yang ternyata…. Hm! Ibarat lomba novel lain juara pertama dapat satu kotak martabak, di lomba ini juara satu cuma dapat sepertiga, juara duanya dapat seperempat, sementara baik yang kalah di 10 besar sampe kalah di 50 besar dapat seperlimanya. Mau menang merusak harga, kalah lebih awal justru terhormat (karena perbedaannya cuma di tugas yang numpuk-numpukin kerjaan). Aku tercenung dan berkali-kali mikir, ini lomba novel kan? Bukan cerpen? Atau fiksi mini? Penyelenggara mendapat exposure yang melimpah dari peserta yang up ceritanya di mana-mana, sedangkan imbalannya bahkan lebih baik lomba cerpen di platform atau penerbit lain.

Bye-bye tiket Disneyland dan tabungan haji, ayo kita berjuang di tempat lain! Huhu…

Oh ya, sedari awal penyelenggara menjanjikan akan mengunggah semua video promo buatan kami ke akun penerbit tersebut. Pada akhirnya, aku hanya mampu bikin satu video aja dan sampai saat ini belum ada video yang diunggah di akun mereka.

Masa-masa pertimbangan menuju 10 besar cukup panjang daripada sebelum-sebelumnya. Beberapa peserta mulai bertanya kapan pengumumannya, yang awalnya mereka jawab dengan ketidakpastian. Untuk sekelas lomba penerbit mayor, lomba ini terkesan main-main sekali. Esokannya, dijawab akan diumumkan pada malam tahun baru katanya supaya lebih ‘duar-duar’. Fix, lomba ini memang nggak punya timeline yang terencana.

Selama itu, aku sempat dihubungi oleh si pengulas lagi. Kupikir mau tanya soal kenapa video cuma satu, nyatanya… dia nanya jumlah halaman dan minta link promosi! Aku nggak habis pikir, kenapa kualifikasi 50 ke 25 baru ditanyain saat 25 ke 10? Dia bilang naskahku yang di dia nggak sampai 150 dan sekalian minta dikirimin link promo.  Setengah ngegas—karena heran juga—aku balas, “Semua ada di email, Mbak. Kalau saya nggak kirim, didiskualifikasi dong dari 25 besar. Atuh kumaha?”

Lagian, panitianya juga balas ke surel revisi kok, bukan yang pertama. Gimana sih?

Dia nggak balas lagi dan kami menunggu pengumuman. Aku sendiri udah nyerah dengan lomba ini.  Malam tahun baru, peserta satu persatu mempertanyakan. Jam 6, masih adem ayem. Jam setengah 7, dikasih tau kalau videomaker-nya puyeng. Pls, harusnya sih puyengnya dari kemarin ya =))) Jam setengah 9, dikabarin diundur ke besok pagi.

Padahal udah tercengang dari awal, tapi sampai tahap ini masih aja cengo sambil ketawa sinis.

Besok pagi jam 9, peserta nanya lagi. Ada yang sampai bela-belain tidur cepat karena takut habis pengumuman nggak bisa tidur. Taunya panitia yang bersangkutan dikabarin MASIH TIDUR sampai siang! Cuy, kemarin malming, lalu mandi, sekarang tidur? Serius, professional banget sih penerbit ini!

Pengumuman diundur pagi hanyalah mitos, karena ujung-ujungnya jam tujuh malam baru di YT. Aku pribadi sih nggak masalah sebenarnya kalau mau ngumumin di IG Story kek, pakai foto di feed kek, selama tepat waktu dan nggak delay dengan alasan yang sangat menunjukkan integritas mereka. Yang penting kan esensinya sama. Ngapain dibela-belain heboh tapi nggak sepaket sama konsep yang matang, timeline yang terukur, kualitas kerja yang pro? Toh, video ‘daging’ yang nggak sampai semenit masih muat kok di feed Instagram.

Hasil pengumumannya adalah aku nggak masuk 10 besar, dan pertama kali dalam hidup kayaknya bersujud syukur karena kalah! Ini sesuai harapan banget, hahaha. Udah nggak punya motivasi, ngomel terus tiap dapat jadwal dadakan dan maraton pula. Ngeri hipertensi lama-lama karena lomba ini.

Oh ya, sampai detik ini aku nggak dapat voucher toko buku daring yang mereka janjikan di awal. Kabarnya, beberapa penukar nggak digubris di DM Ig mereka.

Anyway, ini semua cerita pribadi dariku. Teman-teman peserta lain juga punya kisahnya masing-masing. Misalnya, teman A yang nggak masuk 50 besar dapat surel dari mereka untuk tidak menerbitkan karyanya di mana-mana dulu. Ini sama aja kayak baru nembak gebetan lalu dijawab, “Kamu aku tolak, tapi jangan jadian sama siapa-siapa dulu ya.” Teman B yang mau narik naskah aja ampe nggak direlain awalnya sama penyelenggara (padahal urusan naskah lomba juga belum selesai, kenapa begitu kehilangan sekali atas naskah di luar 50 besar?). Lalu teman C yang ditanya sama pengulasnya, “Kakak naskahnya yang mana ya?” Pas dijawab, “Yang ceritanya gimana, ya?” saat 50 besar. Astagfirullah, kalau keseringan baca Lamtur mah jadi pengulas Lamtur aja, Mbak. Jangan di sini, bikin patah hati penulisnya aja. T_T Lalu ketika dia masuk 10 besar, dapat DM dari orang yang sama, “Dikirain nggak masuk, Kak.” Jahat banget!

Hmmm, gini, gais. Kalau human error atau drama kecil-kecil lomba mah, kita udah biasa ngerasain. Itu wajar banget. Tapi kalau sepanjang lomba istighfar ngalahin jumlah istighfar di atas sajadah mah, langka banget. Sayang buat nggak diabadikan!

Harapannya sih semoga ke depannya nggak ada lomba menulis yang separah atau lebih parah dari ini. Indonesia butuh kemajuan di bidang literasi banget soalnya. Mudah-mudahan penerbit yang dimaksud bisa rebranding atau upgrading kualitas supaya nggak gini-gini amat, minimal lihat dulu lah kayak gimana kompetisi sebelum-sebelumnya. Baik secara kualitas dan kuantitas.

Panjang ya gais, makasih udah baca! Good luck buat yang masih incar jadi juara! Sebagai penulis, aku pun lega~

-AF

2 comments:

Lugina WG said...

Aku curiga ini penyelenggara lombanya terinspirasi dari negara Bhutan, deh, yang pake Indeks Kebahagiaan Nasional alih-alih pendapatan per kapita. :')

Coba ditanya apa penerbitan mereka cabang Bhutan?

FHEA said...

Bisa jadi ya... Makanya kalau ditanya hal yg krusial alasannya mandi, malming, dan tidur! Satuan waktunya aja udah beda😆