Saturday, September 26, 2020

DAY 6: SINGLE AND HAPPY

Sejujurnya aku bingung dengan tema ini. Pertama, karena belum pernah berikrar untuk double alias belum pernah menikah. Kedua, karena apa pun yang terjadi dalam hidup ini harus dibawa happy aja—baik saat single saat ini, ataupun saat memutuskan double nanti. Jadi bingung mau menjelaskan apa. Atau jangan-jangan yang bikin tema ini orangnya abis patah hati, ya? Jadi butuh validasi dari banyak orang. Hahaha!

Kalau single dikaitkan dengan lebih bebas daripada double, mungkin ada benarnya—kalau memang itu definisi dari kebahagiaan. Freedom. Kebebasan memilih keputusan-keputusan besar dalam hidup, tanpa perlu izin berlapis-lapis, dan berkompromi pada banyak aspek.

Hal ini yang pernah kubahas dengan temanku. Ceritanya, setelah belasan tahun kami nggak ketemu, kami dipertemukan dua kali dengan adegan sinetronis. Di kereta. Yang pertama depan-depanan, yang kedua duduk sebelahan. Dari situ, kami jadi sering ketemu buat membahas banyak hal. Dia sudah menikah setahun lebih, dan membagi pengalamannya sebagai newlywed.

“Gih, mumpung belum nikah…”

Waktu aku cerita keinginanku untuk kuliah lagi. Di saat banyak orang di luaran sana nanya kapan nikah? Calonnya orang mana? Kok bisa kepikiran kuliah lagi sih? Dan pertanyaan basi lainnya, diskusi deep semacam ini sejujurnya yang aku butuhkan. Karena menurutnya, setelah menikah maka memutuskan sesuatu itu harus memikirkan pendapat banyak orang. Pertama, suami. Lalu kedua belah orang tua. Kalau sudah punya anak, maka pertimbangkan juga. Apakah pilihan tersebut cukup proporsional bagi semua pihak, apakah disetujui, dan lain sebagainya.

Sedangkan waktu nonton Reply 1988, aku melihat diriku sendiri sebagiannya ada pada karakter Sung Bora. Tipe yang suka break the rules, yang tahu apa maunya, kalau ingin pada sesuatu bisa mengorbankan sesuatu yang lain, yang kalau fokus pada satu titik harus dikejar sampai dapat. Kalau dilarang dengan alasan yang nggak masuk akal, kemungkinannya akan menerobos atau mencari jalan lain untuk mendapatkan hal itu.

Begitu juga dengan membuat keputusan besar dalam hidup. Sering kali aku menantang diri sendiri pada banyak hal sebagai bukti bahwa aku bertumbuh. Soalnya rasanya kayak engep sendiri ketika ada di posisi yang stuck, harus menurut di bawah kendali orang, bertentangan dengan hati nurani, dan menunggu instruksi. Imbasnya, aku akan melakukan sesuatu yang membuat jiwaku terpenuhi. Dan biasanya setiap kali membuat keputusan besar dalam hidup, aku mencari tahu plus minus-nya, baru dihadapkan kepada orang tua. Mereka jarang melarang karena aku tahu konsekuensinya, dan aku memang menghadap mereka untuk mohon direstui atas pilihan yang kubuat. Wkwkwk.

Jadi, sekalipun sampai detik ini suka bertanya-tanya iseng sendiri pada diri sendiri, “Nanti nikah sama siapa ya? Ketemu di mana ya?” Di saat yang sama aku juga paham akan konsekuensi pernikahan yang perlu dipersiapkan. Karena nikah itu adalah keputusan seumur hidup, bukan kayak orang kuliah yang ada wisudanya, atau orang kerja yang bisa resign setiap saat. Menemukan pasangan yang klik terhadap nilai-nilai yang kita pilih juga patut dijadikan prioritas, daripada cepat-cepat nikah karena kebius kampanye nikah muda yang ternyata membuat kita nggak bahagia.

Ngomong-ngomong soal nikah, kemarin sampai berceloteh pada beberapa teman. Jakarta PSBB lagi, gelar nikahan enak nih. Kapan lagi, kan, nikahan hanya dihadiri segelintir orang, dan dimaklumi banyak orang? Wkwkwk! Tapi, iya, sih… konsekuensinya hanimun nggak bisa ke mana-mana. Huhu!

Anyway, ini ngerencanain nikah atau tur sekolahan, sih?

2 comments:

yenita anggraini said...

"Anak kita tidak bisa memilih siapa Ayahnya, tapi kita bisa..."

Baca di mana ya? Lupa. Tapi benar sih, pernikahan bukan untuk mencari yang cocok dengan kita aja.

FHEA said...

Ini kutipannya makjleb banget, tan. Truuuu! 😂