Suara Bunda
terdengar sampai padaku meskipun jarak kami terpisah sekitar lima belas meter.
Aku yang di pekarangan rumah sayup-sayup mendengar suara ekspresif Bunda yang sedang
menceritakan tentang putri tunggalnya, Yuri. Mungkin beliau sedang kedatangan
kerabat yang ingin membeli salah satu koleksi bunganya di toko. Ah tapi,
setelah kucoba untuk menjelikan pendengaranku, kenapa di ujung kalimat bunda
terdengar seperti melibatkanku di dalamnya?
Tidak lama
kemudian, suara langkah kaki mendekat padaku. Bunda bersama dua orang di
belakangnya, seorang anak lelaki dan seorang wanita paruh baya. Anak lelaki
tersebut membawa sebuah tas besar yang berisi gitar di dalamnya, mungkin anak
ini sebaya dengan Yuri. Sementara si wanita mengenakan pakaian resmi dengan tas
tangan di lengan kanannya, siapapun bisa menduga bahwa wanita tersebut adalah
ibu dari anak lelaki di sebelahnya.
“Ini adalah
salah satu koleksi kami, Yuri suka sekali melukis di sini. Menurutnya, tempat
ini banyak memberinya inspirasi.” Ujar Bunda bangga memperlihatkan
pekarangannya yang penuh dengan bermacam-macam tumbuhan. “Oh ya Adit, kalau
tidak salah ibumu tadi menyebutkan nama sekolahmu sekarang, sepertinya kamu
satu sekolah dengan putri Tante.”
Anak lelaki itu
mengangguk setelah Bunda mengucap nama sekolahnya. Sekolah yang sama dimana
Yuri juga belajar di dalamnya.
“Sudah kenal
dengan Yuri?”
Anak lelaki itu
menggeleng.
“Baiklah,
bagaimana kalau besok kau kesini membawa pesanan ibumu? Nanti akan Tante
kenalkan pada Yuri.” Usul Bunda dengan sebelah tangan yang membelai lembut
kelopak kuningku. Ya, aku. Si bunga matahari yang ditanam di pekarangan rumah
Bunda dan sangat disukai Yuri seperti katanya.
***
Hello Yuri! Kedatanganmu tiba-tiba tanpa sadar membuatku monolog dalam
improvisasi imajinasiku seperti biasanya. Kalau kau tanya bagaimana perasaanku
saat ini, tentu saja akan kujawab kalau aku senang bertemu lagi denganmu.
Kesibukanmu belakangan ini membuat kita jarang bertemu bukan? Padahal tentu
saja aku merindukanmu. Kau selalu mengistimewakanku daripada kawananku yang
lain. Kalau kau heran dengan anggapanku, tentu saja aku punya alasan dari kesimpulan
sikap baikmu padaku. Kau selalu butuh bantuanku, memanfaatkan segala sesuatu
yang ada padaku, dan kalau tidak salah kau juga pernah berkata bahwa kalau kau
melihatku, maka kau akan menemukan inspirasi untuk lukisanmu. Benar kan? Lalu
ada apa denganmu hari ini? Kenapa aku menemukanmu dengan wajah yang tertekuk?
“Menyebalkan,
Helen! Menurutmu, kenapa Bunda memaksaku untuk menjaga toko bunganya sementara
Bunda malah berpergian dengan temannya? Tidak adil bukan?” keluhmu padaku dengan
cara yang sama seperti sebelumnya. Berbicara di depanku, dan percaya bahwa aku
pendengar setia yang baik untuk mendengar semua curahan hatimu meskipun aku
tidak merespon sesuatu.
Ah ini
masalahnya, aku senang kau masih memanggilku dengan panggilan khususmu padaku.
Helen. Nama yang kau ambil dari nama ilmiahku, Helianthus Annuus Linn. Kuharap
kau tidak kesal padaku, Yuri. Karena terus terang, aku setuju dengan rencana
Bunda. Dan tentu saja, hal ini harus kurahasiakan darimu.
Lalu angin
berhembus kencang, membawa sebagian daunku mengikuti arahnya dari tempatku
berdiri. Kau tersenyum sambil mengelus pelan sebagian daunku.
“Padahal, aku
punya janji pada temanku setelah pelajaran usai. Kami berencana untuk
mengunjungi studio musik baru di sekolah. Kau tahu apa yang membuatku tertarik
untuk kesana, Helen? Teman-temanku bercerita bahwa ada gitaris baru di sana,
ganteng katanya. Sedangkan aku sendiri baru sekali bertemu dengannya, itupun
sekilas. Dan sekarang, aku sungguh penasaran…”
Jangan sampai! Keluhku dalam hati. Ah, andai saja kau bisa membaca ekspresiku
saat ini, pasti aku akan menggebu-gebu agar kau jangan sampai jatuh cinta pada siapapun.
Karena aku berjanji, dalam hitungan menit kau akan bertemu dengannya yang
kujamin kau akan menyukainya pada pandangan pertama. Jadi kumohon Yuri, agar
kau tetap disini sampai kau bertemu dengan orang itu. Karena sebenarnya, alasanku
menyetujui rencana Bunda untuk mengenalkannya padamu adalah caraku untuk
membalas budimu padaku.
Kau mendengus
keras, “Lalu apa yang harus kulakukan?” keluhmu lagi sambil bangkit dari
dudukmu dan mulai uring-uringan. Setelah melirik ke arah jarum jam di dinding,
kau kembali berbicara denganku, “Sepertinya latihan band-nya belum selesai,
Helen. Aku mau pergi ke sekolah lagi. Sungguh penasaran!”
Jangan, sungguh
jangan! Aku mulai meraung tanpa suara dan
berharap bisa melakukan sesuatu agar bisa menghentikan langkahmu, Yuri. Kau
harus menetap disini, setidaknya sampai dia datang. Kumohon…
Namun kau seakan
tidak menghiraukanku. Setelah mengelus sebagian kelopakku, kau mengucapkan
selamat tinggal, seperti biasanya saat kau ingin berpergian dari rumah. Aku
bingung, ingin rasanya melakukan sesuatu. Dalam hitungan detik dan tanpa
kesengajaan, angin kembali berhembus menjatuhkan salah satu kelopak kuningku.
“Aku pergi
dulu, Helen. Daaa…” pamitmu. Lalu kau melangkahkan kakimu ke pagar rumah dan
menguncinya sebelum keluar. Yuri, kau bahkan tidak peduli bahwa kelopakku akan
berguguran satu persatu seiring dengan berjalannya waktu.
Kemudian
emosiku membuncah. Ingin rasanya kuteriakkan namamu, mengejarmu, dan memanggil
namamu. Bukan hanya sekadar bermetafora dalam imajinasiku seperti saat ini.
Karena sekitar lima belas menit setelah kepergianmu, dia datang, dan seharusnya
kalian bertemu.
***
“Malam Helen.
Aku punya dua kabar, satu kabar baik dan satu kabar buruk. Menurutmu, bagian
mana yang harus kumulai?” sapamu mengawali pembicaraan padaku malam harinya.
Ah, ingin sekali aku mengacuhkanmu sekali ini saja, Yuri. Andai ekspresi kecewaku
bisa terlihat jelas olehmu.
“Baiklah, kalau
begitu aku memulai dengan kabar buruk.” Ucapmu sambil menangkupkan tangan dan
memasang wajah yang terlihat sedang mengenang sesuatu. “Hari ini aku sudah
berkorban banyak untuk melihat cowok itu, Helen. Datang ke studio musik sekolah
dan menerobos teriknya matahari hanya untuk bertemu dengannya. Tetapi yang
terjadi disana justru sebaliknya. Si gitaris itu tidak latihan, katanya
sementara diganti dengan gitaris cewek dari kelasku. Menyebalkan!”
Aku
tersenyum menang. Akhirnya, akhirnya, akhirnya. Akhirnya kau tidak
menemukan si gitaris yang kaukagumkan itu, Yuri. Setidaknya aku bisa mencatat
dalam hati bahwa ada peluang untukmu mengagumi anak yang bernama Adit itu.
Jadi, lenyapkan segera wajah murungmu dan bersiap-siaplah memasang wajah cerah,
secerah matahari. Dengan begitu, aku bisa membalas budi padamu.
“Dan kau mau
tahu apa kabar baiknya?” tanyamu lagi. Kali ini wajahmu terlihat cerah.
Kumohon, jangan bilang kau….
“Aku tadi
bertemu dengan seseorang ketika sedang dalam perjalanan pulang ke rumah. Orang
itu memiliki kesan khusus, aku mengaguminya.”
Ternyata,
dugaanku tidak meleset. Saat ini
rasanya aku ingin layu, jatuh ke tanah dalam waktu singkat begitu mendengar kau
menuturkan hal seperti itu.
“Dia cowok yang
beralis tebal, memiliki lesung pipi yang dalam ketika tersenyum, dan berkulit
putih.”
Ciri-cirinya,
sama seperti….
“Tadi dia
memakai celana jeans selutut, memakai kaus berkerah berwarna merah dengan
sepatu kets putihnya. Di punggungnya ada tas besar berwarna hitam yang aku
tidak tahu apa isinya.”
Seperti Adit,
Yuri. Apakah kalian bertemu? Lalu bagaimana….
“Dia duduk di
halte menghadap matahari. Mengingatkanku padamu yang selalu menghadapkan
wajahmu kemanapun matahari bersinar. Aku penasaran dan lalu mendekatinya, tapi
dia justru pergi. Sekilas aku melihat ke arah gantungan kunci yang tergantung
di tas besarnya. Sebuah gantungan kunci dengan ikon band sekolah kami,
dibaliknya ada tulisan huruf A yang besar. Menurutmu, apa itu berarti inisial
namanya? Apakah kami sebenarnya berasal dari sekolah yang sama?”
Kali ini aku
terdiam, menyadari sesuatu dan tersenyum. Lucu sekali kalian! Saling mencari
dan seharusnya saling bertemu. Ingin rasanya aku tertawa terbahak-bahak di
depanmu sambil menceritakan kronologi sebenarnya, Yuri. Tapi, saat ini aku merasa
hanya perlu menikmati diriku sendiri dengan terus bermetafora dan menjadi
pendengar setiamu juga sumber inspirasimu. Aku, bunga mataharimu yang selalu
terlihat tersenyum cerah ketika berada di dekatmu. [AF]
Comments