Tentu saja aku tidak setuju untuk mengikuti lomba Fisika antar sekolah ini. Salah satunya adalah, ketidaksetujuanku terhadap guru pembimbingku nanti adalah seorang alumni dari SMA Bumi Pertiwi, yang beberapa tahun terakhir menjadi lawan kami. Bagaimana bisa aku setuju, sementara guru pembimbingku nanti berasal dari sekolah lawan yang biasa menyebabkan berita di penjuru kota, bahwa sekolah kami adalah sarangnya pelajar yang sering terlibat tawuran? Bagaimana jika nanti seandainya mereka melakukan hal serupa ketika lomba berlangsung? Dalam hal apapun, posisi kami tetaplah sebagai saingan. Lalu pihak sekolah masih tetap ingin menjadikan bagian dari mereka sebagai guru pembimbingku dalam hal ini? Aku benar-benar tak habis pikir…
Sayangnya,
sekarang aku berada di depan guru pembimbingku ini. Aku telah terdaftar sebagai
peserta lomba Fisika antarsekolah, dan secara langsung berhadapan dengan SMA
Bumi Pertiwi sebagai lawan terkuat kami. Tidak ada lagi celah bagiku untuk
keluar dari kompetisi ini.
Namanya Randi,
seorang alumni SMA Bumi Pertiwi dua tahun lalu yang memiliki prestasi gemilang
dalam bidang Fisika, seorang mahasiswa jurusan Fisika di sebuah universitas
ternama. Ya, sebenarnya banyak info yang harusnya kutahu tentangnya saat ia
memperkenalkan dirinya di depanku. Namun aku sama sekali tak peduli apapun
tentangnya.
Dia menatapku
dan memberikan lembar-lembar soal di tangannya padaku sambil tersenyum,
“Sekarang kerjain yang sudah Kakak tandai ya. Gampang kok! Asalkan kamu pakai
rumus yang Kakak ajarkan tadi.”
Aku melihat
lembaran-lembaran itu dan menghitung jumlah nomer yang ia tandai. Dua puluh
nomer! Ck. Bagaimana mungkin ia begitu tega menyuruhku mengerjakan soal ini,
sementara aku telah mengerjakan lima puluh soal analisis sebelumnya?
Benar-benar tak berperasaan untuk kepalaku yang hampir mendidih ini!
Sepintas
bayangan-bayangan temanku berkeliaran, membuatku teringat akan kejadian kemarin
siang saat bel istirahat berbunyi. Dimana aku dan Selvi -teman sebangkuku-
masih duduk di bangku kami. Tiba-tiba Fedi, sahabatku, menghampiri kami dan
bertanya, “Eh gimana sama guru pembimbing lo? Baik-baik aja kan?”
Aku
mengernyitkan dahi, “Maksudnya?”
“Nggak. Umm..
maksud gue, kalo dia macem-macem jangan segan-segan buat lapor ke gue.”
Aku masih
bingung, lalu mencegat langkah Fedi dan menuntun penjelasan darinya.
Fedi tersenyum
dan menepuk pundakku, “Gini, si Randi itu dulunya pentolan Bumi Pertiwi, juga
provokator di sekolahnya. Jadi kalo misalnya dia kelihatan mau macem-macem ke lo,
jangan ragu buat lapor ke gue. Biar gue sama yang lain cari tindakan. Tapi
sekarang kita percaya sama lo untuk semuanya. Lo pasti menang nanti dan bisa
ngembaliin nama baik sekolah.”
Aku terpaku di
tempatku berdiri. Sebenarnya aku sudah tahu lama bahwa sekolah kami tidak
bersahabat baik dengan SMA Bumi Pertiwi. Tapi aku tidak menyangka bahwa
beberapa hari belakangan ini, aku sedang berhadapan dengan peran utama dalam
musuh bebuyutan kami.
Fedi kembali
menepuk pundakku, “Lo gak usah khawatir, sekarang lo fokus aja untuk lomba.
Kita pasti berhasil.” Katanya optimis.
***
Sesekali aku
melihat Kak Randi, sambil membandingkan sosoknya dengan kata Fedi kemarin.
Sebenarnya seperti apapun dirinya, aku tidak peduli. Toh, aku tidak pernah
bersikap ramah padanya sejak pertemuan pertama kami. Bertolak belakang
dengannya yang selalu ramah dan tersenyum setiap berhadapan denganku, sama
sekali tidak mencerminkan bahwa ia adalah pentolan yang sering menyerang
sekolah kami dulu.
“Sudah
selesai?” tanya Kak Randi sambil melihat pada kertas soalku yang baru terisi
lima soal. Lalu melihat wajahku yang sama sekali terlihat tak bersahabat.
Ah, ingin
sekali kuutarakan padanya bahwa aku penat dengan semua ini. Mencecarnya
habis-habisan bahwa aku membenci keadaan ini. Aku harus membawa piala
kemenangan sekolahku, demi mengembalikan nama baik sekolah kami yang sempat
hancur sebagian karena ulahnya. Lalu memforsir hampir seluruh tenagaku untuk
menang, padahal hal ini tak pernah kulakukan pada lomba apapun sebelumnya.
Lalu dia
tersenyum seakan mengetahui isi pikiranku. Matanya yang teduh disertai senyum
optimisnya membuat pikiran negatifku tentangnya meleleh seketika. Sampai-sampai
imajinasiku menganggap bahwa aku adalah manusia bersayap yang bisa terbang akan
hal ini. Hatiku gelisah, mungkinkah ini pertanda bahwa aku tengah
berbunga-bunga?
***
“Akhirnya kita nemuin lo juga!”
Aku menoleh
pada seseorang yang memanggilku dari arah belakang, sambil tersenyum yakin pada
mereka bahwa kita bisa menang. Lomba berjalan dengan baik, dan aku perlu
berterima kasih pada Kak Randi akan hal itu. Tapi kini sosoknya tak kunjung
terlihat, di mana dia?
“Eh Vir, beberapa teman kita nunggu kamu di
sekolah lho, buat syukuran dan berdoa sama-sama. Yuk ke sana.” Selvi menarik
tanganku menuju mobil milik sekolah yang terparkir di halaman gedung lomba. Aku
sebisa mungkin untuk tetap tersenyum di depan mereka, meskipun sama sekali
tidak bertemu Kak Randi. Aku berharap bisa menemuinya lagi saat pengumuman
pemenang lomba nanti.
***
Senyum bahagia disertai
pelukan dari teman-teman akhirnya menyambutku ketika aku memeluk piala dan
sertifikat juara satu. Kami berhasil mendapat juara satu, dan aku akan
diikutkan dalam lomba Fisika tahap selanjutnya. Suasana haru biru seketika
menghampiri kami pada pengumuman yang membanggakan ini.
Tiba-tiba
seorang bapak berkemeja batik menghampiri kami dan bersalaman dengan kepala
sekolah kami, “Selamat atas kemenangan sekolah Bapak. Kami turut senang.”
“Terima kasih,
Pak. Bagaimana dengan hasil lomba SMA Bumi Pertiwi?”
Aku terkejut
ketika mendengar SMA Bumi Pertiwi. Tanpa kudengar lebih dulu jawaban sang kepala
sekolah, aku segera berlari mencari rombongan sekolah tersebut setelah
menitipkan piala dan sertifikat pada Selvi. Aku harus menemukan mereka… aku
harus menemukan Kak Randi!
“Nama lo Vira
ya?”
Aku menengok,
menghadap pada seseorang yang memanggilku sambil mengatur napasku yang
terengah-engah. Indah, si perwakilan dari Bumi Pertiwi berjalan menghampiriku
dengan membawa piala di dekapannya. Sekilas aku membaca tulisan yang tertera di
sana, SMA Bumi Pertiwi mendapat juara dua.
“Kak Randi
nitip sesuatu buat lo…”
Aku tersentak,
“Sekarang dia di mana?”
“Dia gak ngasih
tau lo?” tanya Indah sambil merogoh saku kemejanya, lalu memberikan sepucuk
surat dengan amplop berwarna biru padaku. “Beberapa hari yang lalu dia
berangkat ke Australia untuk pertukaran pelajar sekaligus ngelanjutin studi
Fisikanya.”
Aku menerima surat
itu dengan perasaan yang campur aduk. Bagaimana mungkin beberapa hari ini aku
memikirkannya, sementara ia sama sekali tidak memperdulikanku? Bahkan sekadar
berbagi kabar baik untukku juga tak dilakukannya. Tanganku yang bergemetar
mencoba membuka amplop biru tersebut.
“Eh Vir, gue
nggak punya banyak waktu, selamat ya atas juara satunya. Lo beruntung dapat
guru pembimbing kayak dia.” Indah menepuk pundakku sebelum akhirnya
meninggalkanku sendirian di tempatku berdiri.
Setelah
menghela napasku, kubuka amplop dan surat yang tertulis dengan tulisan
tangannya.
Hai Vira…
Selamat ya atas
kemenangannya, Kakak ikut bangga! Sebenarnya Kakak sudah tahu lebih awal, tapi
Kakak pikir lebih baik kamu tahu sendiri pada waktunya…
Satu hal yang
menyenangkan ketika Kakak tau kamu menang; itu sama artinya dengan kamu membawa
nama baik sekolah dan menyatukan sekolah kita lagi. Jadi di saat kamu terlihat
mulai lelah menghadapi semua ini, Kakak berusaha bertahan untuk meyakinkanmu
bahwa kamu bisa. Dan menyenangkan sekali bahwa usaha kita selama ini membuahkan
hasil yang manis.
Sekali lagi,
selamat Vira. Tetap semangat ya untuk berprestasi ke tingkat selanjutnya.
-Randi-
Aku menutup
surat itu dengan air mata yang mengalir, meratapi kenyataan yang menyakitkan
dalam pandanganku; kita sama-sama bodoh. Dia begitu bodoh untuk pergi tanpa
mengetahui perasaanku sedikitpun, dan aku begitu bodoh karena terlalu
berlebihan menganggap sosoknya sementara ia berpikiran bahwa kepergiannya itu
menandakan kita telah selesai dengan urusan yang telah kita lalui. Gone and
done…
***
*cerpen ini diikutsertakan dalam lomba #KampusFiksi Diva Press ank ke3
Comments