“Drey, apa yang paling kamu suka?”
“Hujan,”
“Mengapa hujan?”
“Karena hujan selalu turun tanpa peduli omongan orang.” Mata Drey menengadah, menatap langit yang kini
hujan rintik-rintik. “Ketika hujan turun, ada orang yang mencaci makinya
karena mengganggu harinya, atau membuat cuciannya nggak kering, atau bisa juga
karena orang itu takut banjir di daerah rumahnya.” Drey mulai menjelaskan
filosofi hujannya. “Tapi, hujan tetap akan turun karena ia tahu selalu ada
orang yang menginginkan kehadirannya. Entah karena bosan dengan musim kemarau
berkepanjangan, atau ingin melihat pelangi sesudahnya.”
Beberapa kalimat cantik yang ditulis oleh
Cindy Pricilla dalam novel pertamanya yang berjudul Rain In Paris, membuatku
kagum begitu memaparkan filosofinya sendiri tentang hujan. Lalu, dikemas dalam
cerita yang unik ber-setting Paris lewat tokoh-tokoh utama bernama Audrey dan
Valian; dua orang yang saling jatuh cinta, namun memilih berpisah karena Valian
tidak terima pada keputusan Audrey yang meninggalkannya untuk bertolak ke
Paris.
“Jadi, aku ingin seperti hujan, tanpa peduli orang yang tidak suka
denganku. Aku akan terus hidup dan berkarya. Karena, aku tahu selalu ada orang
yang menyayangiku.”
Audrey yang bertekad untuk melanjutkan studinya di IFA-Paris,
sebenarnya mengharap akan persetujuan Valian untuk sama-sama sanggup melakukan
Long Distance Relationship. Sayang, Valian justru berbeda anggapan. Ia tak akan
sanggup menjalankan itu, sekalipun mereka juga bisa berkomunikasi lewat Skype.
Tiga tahun rupanya bukan waktu yang efektif untuk Valian melupakan
Audrey. Ia pun berinisiatif untuk mencari-cari beasiswa ke Paris demi menyusul
Audrey. Yang ia tahu, ia hanya mencintai gadis itu, sekali pun sang ibu
menjodohkannya pada Sidney; gadis blasteran Australia yang memiliki latar
belakang sebagai anak broken home atas perceraian kedua orang tuanya.
Begitu pun di Paris, Audrey masih menyimpan luka atas
perpisahannya dengan Valian, meskipun di satu sisi, ia juga masih mengharapkan
keajaiban untuk kembali bersama Valian datang. Ia enggan membuka hati pada
siapa pun, termasuk Alex, yang selalu bersikap manis padanya. Namun, ia
akhirnya bisa menerima kenyataan ketika ia tahu bahwa sakit hati pada lubang
yang sama adalah kebodohan. Maka, perlahan ia mulai bisa menerima Alex dan berusaha
meninggalkan Valian.
Di bawah rintikan hujan, Menara Eiffel menjadi saksi bisu atas
pertemuan kembali Valian dan Audrey. Mereka berdua terkesiap. Terlalu terkejut
untuk membayangkan cerita baru di atas perihnya cerita lama…
Yang paling kusuka dalam novel ini, Cindy
Pricilla sanggup mengalirkan logika cerita tepat pada jalurnya. Karena, ini
menjadi konflik bagi penulis pemula yang terkadang tidak disadari; alur melenceng,
berusaha berbahasa romantis tapi justru tidak logis, penokohan yang begitu
aneh, salah mengemas cerita, dsb. (jujur banget, ya, aku, hehehe :p) Tapi,
beruntung ketika aku membaca ini, kasus-kasus penulis awal di atas tidak
terjadi. Pembaca justru dibuat mengalir lewat cerita yang tersampaikan lewat
sosok Audrey dan Valian. Kedua tokoh yang menjadi perantara bagi kita untuk
memetik amanat lewat turunnya hujan; Tetap terus berkarya dan berjuang!
Sebuah kalimat lain yang kugores sendiri,
terinspirasi dari novel ini; Lewat sebelah mata, hujan memang dipandang tidak
menyenangkan. Tapi, hanya orang yang bisa melihat dengan kedua mata lah keindahan
pelangi itu datang sesudahnya.
Love,
-AF-
***
JUDUL NOVEL: RAIN IN PARIS
PENULIS: CINDY PRICILLA
PENERBIT: DE TEENS (DIVA PRESS 2013)
HARGA: 32.000
Comments