Bagi sebagian yang jeli dalam penglihatan,
kesan utama menjadi patokan penilaian dalam sebuah pertemuan. Dan sebagian yang
lainnya, lebih peduli untuk menilai di kesan selanjutnya.
Di hari itu, ketika resmi tiba di Pare bersama
Lele, ketika kami langsung mendaftar kursus beserta asramanya di tempat, menit
selanjutnya datang tiga orang perempuan datang ke ruangan dan melakukan hal
yang sama dengan kami; mendaftar jadi murid. Kalau tidak salah, mereka hanya
memverifikasi pendaftaran yang sudah mereka lakukan di website, berbeda
denganku dan Lele. Kami berkenalan di sana dan ternyata sesuatu mengejutkan
terjadi selanjutnya; kami berasal dari universitas dan jurusan yang sama! Aku, Lele, dan
tiga anak itu. Namanya Gita, Kiki, dan Ami. Adegan yang hampir seperti di
film-film. Kami yang saling tidak kenal sebelumnya, bertemu di sana. Mungkin
karena mereka menjadi adik kelasku dan punya kegiatan yang berbeda di luar
kampus, jadi jarang bertemu. Hoho. *alibi*
Dalam hal memilih kelas, aku dan Lele terpisah.
Dia di kelas Aidina 1 (kelas percakapan/muhadatsah) dan Qowaid 1 di Ocean. Sedangkan
aku, memilih Aidina 2 dan mengambil Qowaid 1 di Alfarisi –lembaga lain yang
direkomendasi Nuyuy dalam hal Qowaid. Sedangkan dalam hal kamar di maskan, aku
dan Lele dipisah. Kami berada di kamar yang bersebelahan, yang sebelumnya kami
menyatukan diri di kamar yang didominasi oleh anak-anak dari UIN Malang.
Kesan pertama saat tiba di sana? Tentu saja
sempat shock dan merasa tidak betah. Proses adaptasi memang tidak bisa
secara instan dilakukan. Pernah juga aku berpikir buat beli tiket pulang saat
itu juga, namun di detik selanjutnya menyadari bahwa itu tindakan cuma-cuma. Berpikir
susah payahnya mendapat ridho orang tua agar dapat izin belajar di Pare dari
semester satu, dan baru terealisasi di semester lima. Mungkin begini rasanya
orang yang pernah tinggal di pondok yang posisinya ratusan kilometer dari
rumah. Berbeda denganku yang masih tinggal di kota, segala sesuatunya terjangkau
dengan mudah.
Kalau ada yang berpikiran Kampoeng Arab itu
seperti tinggal di pesantren, dalam persentase 75%, aku akan mengangguk. Peraturan
di asrama Ocean memang dibuat layaknya pesantren dan sempat membuatku ciut. Meskipun
pernah tinggal di pesantren, dua setengah tahun dibebaskan di luar dan kembali
dikekang rasanya sempat down. Tapi alhamdulillah itu hanya sebatas
persepsi awal, karena 25% sisanya itu mematahkan gagasan yang hanya sebatas mengandalkan perasaan tadi. Peraturan di asrama ternyata nggak kaku. Jadi
kita sebagai anggota merasa hangat, bersaudara, dan nyaman. Masih bisa pakai
gadget –kecuali untuk menelepon- sampai jam berapa pun, agar tidak mengganggu.
Pertama kali ada perkumpulan di asrama (yang
kemudian rutin dilakukan tiap habis solat maghrib), satu persatu diperkenankan
untuk mengenalkan diri berupa nama dan asal. Saat giliranku tiba, beberapa
pasang mata menatap, detik selanjutnya mereka menahan tawa dengan kompak, aku
mengerjap-kerjap. Ini kenapa coba? Bahkan, di antara mereka ada yang
terang-terangan tergelak dan menunjuk sesuatu di kepalaku.
Aku introspeksi, mencari sesuatu yang menjadi
sumber memalukan di depan teman-teman baruku ini.
Oh dear, kenapa
aku baru sadar kalau aku masih mengenakan mukena punya nyokap yang
nyaris-seperti-daun-selada di bagian kepala? Pantas aja mereka ketawa! Aku aja
kalau mengaca dalam style ini rasanya ogah melihat muka sendiri. Sudah seperti
bayi di kartun Tom and Jerry jadinya!
Dan di
saat itu juga, aku mengikrarkan dalam hati kalau aku gagal memberi kesan –yang setidaknya
keren- di depan teman semaskan. It’s mean, aku gagal pencitraan…
:”
***
Masuk di kelas baru Aidina 2 dengan tidak ada
siapa pun yang kukenal, membuat bibirku tertutup lebih lama. Ada Vero, anak UIN
Malang yang baru kemarin kuajak kenalan beserta dua sahabatnya. Tapi sayangnya,
dua sahabatnya itu lebih memilih di kelas Aidina 1, satu kelas bersama Lele.
Kelas Ocean kami dipakai secara bergantian. Mulai
dari Aidina 1-3 dan Qowaid 1-3. Kami duduk secara lesehan di atas karpet hijau
dengan posisi putri di kanan dan putra di kiri. Sebelum belajar, kami
dirutinkan untuk bernyanyi. Ada sekitar empat sampai lima yel-yelan yang
diputar secara berulang. Sesuatu yang sempat bikin aku ternganga karena harus
melakukan hal begini.
Toh, mengelak pun akhirnya tak bisa, bukan? Karena
pada selanjutnya, aku jadi ikut terlarut dalam adegan seperti ini. :D
Adegan shock selanjutnya adalah, ketika
aku menyadari bahwa aku dipertemukan pada kelas yang tingkat aktif dalam
berbicaranya tinggi! Dan parahnya, itu kebanyakan terjadi pada kaum lelaki. Jadi
ceritanya sama, ketika awal masuk, masing-masing anak di kelas Aidina wajib
memperkenalkan diri di depan kelas. Kurang lebih kalimatnya diseragamkan seperti
ini:
“Fii hadzihi furshoti’tsamiinah, ismahuliy an u’arrifa
nafsiy lakum. Ismiy kamil….” (Di dalam kesempatan yang
berharga ini, perkenankan saya yang akan mengenalkan diri pada kalian. Nama saya…
{setelah itu menyebutkan nama sendiri})
Dilanjuti dengan; “tunaadunaniy…” (panggilan
saya… {sebutkan nama panggilan})
Lalu: “Ji’tu min…” (saya datang dari…
{sebutkan asal})
Dan yang terakhir; “hal indakum su-al?” (Apakah
kalian punya pertanyaan?)
Untuk pertanyaan terakhir itu, kita yang
memperkenalkan diri wajib menjawab apa pun pertanyaan dari audience. Entah
itu cita-cita, makanan kesukaan, kenapa datang ke sini, dan lain-lain. Apa pun.
Dan dilarang dengan menjawab; sirr yang berarti ‘rahasia’, karena akan
diberi hukuman oleh ustad.
Kesan pertamaku pada kelas sendiri itu adalah
anak cowoknya pada bawel! Ada aja yang diledek dan lontaran pertanyaan aneh kalau
anak putri yang disuruh untuk maju. Entah bajunya lah, tingkah lakunya lah. Pernah
suatu hari ada temanku yang diledek karena gamis yang dikenakannya banyak pita.
Katanya, baju itu mirip dengan paket pos. Benar-benar uji mental!
Sampai suatu hari giliran majuku tiba. Yang sayangnya,
aku terlewat dalam memadupadankan rok dan blus yang benar. Bukan seharusnya baju
crop tee dipasangkan dengan rok jeans yang belt-nya
lumayan besar. Hasilnya, saat aku maju, sempat harus memperbaiki posisi rok
supaya terlihat tepat. Yang tanpa disangka, justru itu mengundang tawa dan
tanya menyebalkan dari pihak cowok.
“Hal indakum su-al?” tanyaku setelah memperkenalkan diri. Dalam hati,
berharap lolos dari pertanyaan-pertanyaan aneh yang akan terlontar.
Tapi sayangnya, dewi Fortuna seperti tak ingin
berpihak padaku. Mungkin ia ingin aku berada dalam gagal pencitraan yang
totalitas –setelah hal itu terjadi di maskan. Hiks… apa yang terjadi? Salah
satu anak putra bertanya, kombinasi rasa malu yang meluap ditemani dengan tawa
yang tak lagi bisa dibendung menyatu padu. Aku sendiri jadi tak bisa menahan
untuk tertawa pada diri sendiri.
“Hal anti mulaakimah?” (Apakah kamu petinju wanita?)
Oh dear, sepertinya
saya sedang berselimut pada mimpi buruk! Maluuuu….!
Comments