“Al’arobiyah
lughotul Qur’aniy, kamaa hiya lughotul fii jinaanii, nurjaa min kuli ustadzin
wa tholibin, kalaamun billughotil ‘arobiyati…
“Kalaamu
biha li-ajlil mahabbah, lirrosulillahi nabihirrohmah, man takallam binniyyatil ‘ibaadah,
tahashola minallahi sa’adah…”
Untuk
menyukai belajar bahasa asing –apa pun itu, hal yang pertama kali diperlukan
adalah menumbuhkan cinta. Dengan cinta yang akan tumbuh itu, muncullah
motivasi-motivasi supaya kita bisa menguasai bahasa asing itu dengan mudah. Setelah
cinta itu tumbuh, jangan lupa sering melakukan praktik dalam mengucapkan bahasa
asing itu. Kita perlu usaha memaksa bibir kita untuk berucap, supaya nanti bisa
terbiasa.
Nah, caranya
bisa jatuh cinta dengan bahasa asing sebelum belajar bagaimana? Terutama bahasa
Arab, yang ternyata cukup rumit untuk dipelajari?
Jujur,
setelah melewati sekian tahun untuk belajar bahasa Arab, menumbuhkan cinta di
sini ternyata lebih rumit daripada di bahasa asing lainnya. Aku sempat
kehilangan motivasi dan lebih memilih untuk ikut alur yang menakdirkanku untuk
belajar bahasa Arab lebih lanjut, meskipun dalam proses sulit menghadirkan feel.
Beriringan dalam belajar bahasa Arab ini, aku juga belajar bahasa Inggris dan
Korea sekaligus. Itu karena aku suka menyelami bahasa asing, dibanding harus
bergelut di angka-angka matematika. Heuheu.
Lalu,
bagaimana cara mendapatkan feel-nya?
Aku suka
bahasa Inggris karena itu mudah dicerna dan ditemui di film-film, games,
novel, dan lain-lain. Lebih mudah praktiknya ketika bahasa dikemas dengan
bungkus dan produk yang apik. Sedangkan dengan bahasa Korea, aku bisa belajar –selain
dari buku, melalui drama dan lagu-lagunya. Dan menurutku, kedua bahasa ini jauh
lebih mudah. Tidak ada perbedaan kata benda ‘perempuan’ dan ‘laki-laki’ seperti
di bahasa Arab. Bahasa formal dan informalnya juga tidak berbeda jauh. Perbendaharaan
katanya tidak perlu diberi harokat. Dan yang lain sebagainya…
Bukan dari
kalimatku tadi bahasa Arab itu bahasa yang rumit jadi lebih baik jangan
dipelajari, ya. Bukan, bukan gitu! Justru, dengan banyaknya tata cara berbahasa
Arab dengan baik, aku seperti terpancing untuk menantang diri sendiri. Di antaranya;
membuat list untuk menyediakan waktu, minimal sebulan, berkumpul di
tengah-tengah orang yang mayoritas berbahasa Arab. Di situ, aku menyesuaikan
diri untuk tidak berbahasa Korea atau Inggris –bukan berarti aku benar-benar left.
Menyelami dan mencari pupuk agar bibit
cinta dalam berbahasa Arab bisa tumbuh subur, dan berkembang. Sedangkan faktor
pendukung agar cinta bisa tumbuh adalah karakter guru. Setuju? :p
Guru besar
dan utamaku di kursus Ocean, ustad Thoyyib, pernah mengutarakan hipotesisnya
yang kira-kira begini; “Kita bisa lihat, banyak orang yang menyukai belajar
bahasa asing terutama bahasa Inggris. Bahkan dalam skala perbandingan, orang
yang minat belajar bahasa Arab dibanding yang minat belajar bahasa Inggris itu
terlihat sangat jauh. Nah, kalau kita bisa berkaca pada orang-orang yang
belajar bahasa Inggris, kenapa mereka bisa mudah menguasai, perhatikan pada
prosesnya. Dalam belajar, guru mereka banyak menyertai kegiatan-kegiatan
seperti debat, permainan, yang melatih otak untuk menyerap lebih mudah. Jadi nggak
hanya seputar hafalan saja. Itu yang juga saya usahakan untuk diterapkan pada
kalian agar cinta pada bahasa Arab. Seorang guru memang harus bersikap kreatif
untuk membuat kelas ‘hidup’. Dan jika seorang guru sudah ikhlas dan nyaman
dengan profesinya, maka murid akan mereka anggap sebagai teman sendiri. Mereka akan
‘lepas’ dalam mengajar. Lalu, bagaimana kalau mereka tidak hormat? Itu kembali
pada pandangan kita masing-masing.”
Dan perlu
kuakui, dalam proses belajar-mengajar, ustad Thoyyib itu bersikap sesuai
perkataannya; ‘lepas’. Tiap pertemuan, nyaris tak pernah lepas dari tertawa
terbahak-bahak. Sampai waktu satu setengah jam bisa terlewati begitu cepat dan
keluar kelas membawa ilmu yang nyangkut di otak. Entah berapa kali, aku pernah
menggumamkan pada diri sendiri; kapan dosenku kayak begini? Ketika masuk
kelas mahasiswa tidak berat melangkah dan kehadirannya ditunggu-tunggu. Kalau begini
kan, kuliah jadi nyaman juga.
Ustad Thoyyib ^^ |
Lalu, ada
ustad Wahid. Dulu beliau alumni Ocean juga yang kini mengajar anak-anak Aidina.
Orangnya nggak kalah supel dan kocak. Meskipun umur beliau jauh lebih muda dari
ustad Thoyyib, penguasaan dalam bahasa Arab beliau itu kece badai!
Ini pose Ustad Wahid yang praktekin punya mata sebesar pentol. :p |
Sementara peraturan
dalam belajar, setiap kelas Aidina, kedua ustad itu akan selalu meninggalkan
papan tulis dalam keadaan penuh kosa kata baru! Pernah, saking banyaknya dan
waktu kami tidak cukup untuk menulis, kami potret pakai kamera ponsel –meskipun
ujung-ujungnya tidak kusalin ke buku catatan. Hoho.
Pertama kali
dan di hari pertama les, aku sama sekali nggak bawa buku catatan dan pulpen. Jadi,
begitu ustad menulis kosa kata di papan, aku dengan wajah-seakan-tak-punya-dosa
justru mengalihkan pandangan ke luar jendela (aku paling suka duduk di dekat
jendela saat di sana), yang tentunya langsung ketahuan dan ditegur. Itu sempat
berlangsung sampai beberapa pertemuan, yang kemudian aku diberi tahu dengan
teman sekamar kalau kosa kata di papan tulis itu harus dihafal. Semuanya! Kalau
tidak, nanti akan diberi hukuman saat ditanya satu-satu. Aku langsung kelabakan,
tentu saja. Di sela waktu istirahat, aku langsung beli buku dan pulpen di
tempat fotokopian dan menyalin kosa kata dari teman sekelas. Huuuuft~
Oh ya,
seperti di tempat lainnya, aku juga cukup langganan buat dihukum kalau tidak
bisa menjawab. Nggak aneh lagi, kan? ;p Hukuman di sana itu berupa sang ustad
menggetok telapak tangan kita dengan spidol papan tulis yang berimbas nyeri
dalam beberapa detik. Hahaha. Eh, meskipun begitu juga, aku nggak selalu
dihukum lho. Beberapa kali bisa menjawab, kalau dalam keadaan taubat.
*yassalaaaam*
Ini keadaan papan tulis yang nyaris penuh sama kosa kata baru. |
Seperti dalam
belajar yang lainnya, hukuman bisa memberi efek jera agar kita semangat
belajar. Dan buatku sendiri, beberapa kali minder nggak bisa jawab –meskipun yang
keliatan muka puppy eyes- padahal sebenarnya ketar-ketir. Heuheu. Tapi,
perlu diakui. Belajar bahasa asing seperti ini, dengan banyak permainan,
bercanda, kegiatan, yang tentu saja masih dalam jalurnya, memberikan sensasi
menyenangkan sehingga lupa kalau bahasa Arab itu rumit. Trust me! Dan harus
jujur kuutarakan sekali lagi, ustad Thoyyib dan jajarannya bisa dijadikan
referensi untuk belajar mengajar supaya ke depan bahasa Arab semakin banyak
diminati.
“Ijtahiduu
wahfadhuu wa takallamuu billughotil ‘arobiyyati!”
-AF:)
Comments
Semoga sehat selalu semua guru