Masih ingat dengan cerita kesan pertama memalukanku di maskan?
Nah, kali ini aku memperkenalkan ke kalian orang yang tertawa paling besar waktu
itu. Kenalkan, dia biasa kusebut Kak Lulu –yang sebenarnya aku lupa nama
panjangnya :D. Takdir menemukan kami ketika dia diamanahi untuk jadi ketua
kamar sementara di kamarku. Orangnya alay tingkat Sidratul muntaha,
hohoho. Terancam punah, lumayan langka, tapi kalau ada seratus orang yang
modelnya kayak Kak Lulu tersebar di muka bumi, aku lebih baik hijrah ke
Saturnus :p. Nggak percaya? Hm, biar mudah dicerna, aku coba narasikan, ya.
Bukti pertamanya, Kak Lulu itu punya nama facebook yang ternyata bikin
alis terangkat tinggi-tinggi. Lulu Lala Lili, kalau nggak salah namanya. Suka
gedebak-gedebuk masuk ke kamar, samperin aku sambil bilang, “Ukhty, iPad
anti di mana? Asta’ir dong. Ana saushowwir (Minjem dong. Aku mau foto-foto).” Setelah itu,
dia akan kembalikan lagi iPadku dengan cengiran kuda dan baterai yang berkurang banyak. Sementara aku segera cek
galeri di kamera 360. Yap, benar! Banyak fotonya dengan macam-macam model
editan bertengger dengan manis di sana. Dari mulai sendiri, ajak orang-orang
yang lewat buat foto bareng, sampe fotoin orang. Bikin geleng-geleng kepala
-_-.
Contoh yang lain, Kak Lulu itu punya kosa kata sendiri. Ia mengubah
kata umpatan yang biasa kita sebut ‘sialan’ menjadi ‘jambret’. Misalnya ketika
aku curhat ke Kak Lulu tentang anak cowok di kelasku yang bawel. Responsnya begini,
“ih, emang begitu, ty. Awalnya memang nyebelin mereka. Tapi makin ke
sana asyik kok. Ana juga pernah digituin. Jambret emang mereka.” Err…
Meskipun begitu, Kak Lulu itu baik *ehem*. Minus dia pernah buat
nyaris anak satu maskan sedih karena dia pamit pulang ke Lampung,
setelah satu minggu aku menetap di sana. Namun dengan kekuatan alaynya,
satu minggu terakhir sebelum aku mau pulang, dia justru balik ke maskan lagi.
Memang dasarnya kita baik, kasihan sama orang yang terjebak banjir di Surabaya
:p. Hahaha. Oh ya, balik bahas kebaikan Kak Lulu. Aku sampai lupa sendiri nih. Hohoho
*abis ini dijambretin Kak Lulu*. Salah satu dari kebaikannya, Kak Lulu itu paham
bidik objek bagus untuk difoto lewat SLR. Hehehe. Jadi, beberapa foto di SLR
yang ada aku di sana itu hasil jepretannya –dia baik banget mau fotoin. Dia
juga yang mencanangkan ide ke Kak Zakiyah –pembina maskan- buat jalan-jalan ke Goa Surowono. Singkat cerita,
weekend pertamaku ikut berpetualang ke sana, dengan odong-odong sebagai
transportasinya.
Ready? Go! :)) |
Jujur, yang pertama kali terlintas saat tiba di sana itu aku kebingungan.
Dan ekspresi itu bisa kubaca jelas dari wajah teman-teman lain ketika menemukan
kubangan air yang tak begitu besar. Goa ini tidak kering. Kalau kita harus
melewatinya, ada air yang mengalir setinggi paha orang dewasa. Tentu saja, kami
yang sudah niat berpetualang di sini, harus terjun ke sana. Menuruni beberapa
anak tangga, sebelum bertatap muka dengan tiga goa yang berjejer.
Bentuk lubang yang menjadi penghubung kami ke Goa. |
Na’asnya, untuk kami yang serombongan ada sekitar dua puluh orang,
cuma dipandu dengan seorang bapak-bapak paruh baya yang berjalan di depan. Sementara
untuk anak-anak yang berjalan di belakang sepertiku, hanya dibekali sebuah
senter yang acap kali sulit dinyalakan. Pada akhirnya kami menyerah dan
berjalan tanpa penerangan sama sekali. Dahsyatnyaaa…
Tantangan lain saat menjadi petualang di sana, kami harus berhadapan
dengan segerombolan anak SMA yang lagi bolos sekolah. Entah berapa pasang
cewek-cowok di sana, yang aku ingat mereka itu bawel pangkat tujuh puluh. Untuk
kami yang nyaris belum pernah petualangan di tempat seperti ini, cara bicaranya
yang memprotes kami karena heboh akibat gelap atau salah menginjak tapakan batu
tentu saja bikin emosi. Ditambah lagi mereka yang pelit sekadar meminjamkan
senter sebentar pada kami (gerombolan mereka bawa senter saat itu), mengundang
tanduk emosi teman-teman tentunya. Giliran kami mempersilakan mereka untuk maju
karena mereka tau jalan, mereka justru enggan. Dasar ababil, banyak maunya… :0
“Kok bisa ketinggalan pemandu, Mbak? Nanti bilang aja ke
pemandunya, kalau kalian cuma sampai di Goa pertama,” ucap bapak-bapak yang
tengah memegang segelas kopi di warung saat Kak Lulu mengadukan perjalanan kami
yang ketinggalan.
“Gimana, ty? Mau lanjut lagi nggak?” Kak Lulu melempar
tanya pada kami.
Aku menggeleng cepat. Begitu juga dengan Lele. Meskipun sebenarnya
kami penasaran bagaimana rasanya diresmikan khatam dari goa ini,
mengingat segerombolan anak ababil tadi mengurungkan kemauan. Ditambah lagi, tadi
kami benar-benar lost dari teman-teman di depan sejak menemukan jalan
bercabang dan kekurangan cahaya juga udara. Biarlah kali ini terdengar penakut,
karena untuk mengambil risiko seperti ini rasanya udah malas duluan. “Nggak
deh, Kak. Yang penting aku tau aja rasanya masuk sini kayak gimana,” jawabku
dibuat se-tak-acuh-mungkin. Meskipun di sudut hati berkata sebaliknya.
Konon kata beberapa temanku yang diresmikan khatam sampai
goa ketiga, mau tak mau kita harus mendapati
baju yang kering hanya sepertiga badan kita di bagian atas. Sementara aku dan
beberapa teman yang cut di goa pertama, hanya sebatas kaki yang semakin
tidak ditemukan dalam keadaan kering.
“Haqqon, nih, ty? Ya udah, kita tunggu teman-teman
lainnya dulu keluar semua dari goa, ya?” Kak Lulu kembali memastikan.
Aku mengangguk. Demi membunuh waktu menunggu, kami keluyuran sendiri
mencari view bagus untuk difoto. Yah, namanya juga Kak Lulu. Nggak usah
heran kalau heboh sana-sini. Yang penting hikmahnya, sebawel-bawelnya Kak Lulu,
dijamin nggak nyebelin kayak bocah ababil SMA tadi. *eh :p*
Guess, wheres my foot? :p |
Yang penasaran sama Kak Lulu, ini dia orangnya! say salaam to her ^^ |
-AF
Comments