Itu nama makanan. Atau lebih tepatnya lagi camilan pokok
yang beredar di sekitar Pare, yang sejak pertama menginjakkan kaki ke tempat ini
berhasil menyita perhatian –sekaligus rasa heran- sama jajanan satu itu.
Bagaimana nggak heran? Jajanan itu nyaris dengan-sangat-mudah bisa ditemukan di
berbagai sudut Pare dengan macam-macam gerobak. Bahkan, aku bisa lebih mudah
makannya sejak ada tukang pentol yang mangkal tiap sore di depan maskan.
Bentuknya bulat dan rasanya enak. Sayangnya, aku sendiri terlewat buat mendokumentasikan
makanan kebangsaan yang satu itu. Pokoknya kalau ada yang tinggal di Ciputat
dan tahu tentang cilok yang suka dijual di Jalan Pesanggrahan atau di samping
Masjid Fathullah, mungkin pentol ini masih saudaraan. Atau apa mereka sebenarnya
kembar, cuma dari lahir sudah terpisah, lalu nasib pentol itu lebih baik dari
sisi rasanya? Bisa jadi, sih… Hohoho *ini gue ngomong apaaaa?
Sebenarnya, yang mau aku ceritain bukan itu.
Waktu di Pare, aku pikir cuma Lele aja yang dapet julukan ‘Bobon’.
Orang-orang jadi lebih kenal dia dengan nama itu daripada nama aslinya. Aku sih
rada kasihan sama Lele karena sebenarnya dia nggak ikhlas-ikhlas banget buat
dipanggil begitu. Hahaha. Sekaligus sedikit lega sih, karena aku nggak dikasih
julukan macam-macam. Aku masih dipanggil orang-orang dengan nama yang ‘normal’.
;p
Sampai ketika… perkiraanku meleset total sejak ada ustadz yang
meninggalkan komen di salah satu foto selfieku di fb. Kalau nggak salah, waktunya satu
hari setelah puas jalan-jalan seharian bersama Adiba. Jadi di antara 170 lebih
foto di iPad bersama Adiba dan Sarah, aku upload tiga yang menurutku
gayanya paling ‘aman’. :p Dan na’asnya, ternyata yang ‘aman’ buatku justru jadi
sasaran empuk buat teman-teman dumay buat dikomen. Termasuk sasaran empuk buat Ustadz
Wahid. Hikss… Tapi namanya juga facebook, orang bebas komen apa aja. Yang
awalnya bahas apa, terus menyambar ke mana, sampai datang komentar dari si ustadz
yang ternyata menyangkut dengan masa depan namaku selama hidup di Ocean. Ini
berkaitan dengan mata melototku di foto itu yang ternyata katanya mirip pentol.
*yasalaaam*
Jadi, suatu hari ketika aku duduk di belakang, ustadz memanggil
dari kursi putarnya di depan. “Ya, Fhia. Ayna aynuk?” (Fhia, matamu ke mana?)
Aku heran. Maksudnya apa coba tiba-tiba nanya soal mata saat
belajar? Malah, dengan polosnya, aku menurunkan sedikit kacamata hingga
pucuk hidung, dan menunjukkan letak mataku seraya mengernyitkan dahi. “Hadzaa,
Tad.” (Ini, Tad).
“Kamitsli Pentol,” jawabnya lugas, padat, dan menimbulkan gelegar
tawa yang jelas dari teman-teman sekelas.
Wah, siaull! Aku pakai acara lupa lagi kalau ustadz iseng ini
komen-komen di facebook. Dan aku pakai acara lupa buat antisipasi kalau suatu
saat keadaan ini akan merambat sampai di kelas-yang-tingkat-ngetawain-orangnya-skala-internasional!
Kalau begini kan aku jadi nggak punya tameng buat nyembunyiin rasa malu…
Nggak heran kalau sejak itu, lebih dari satu orang nanya asbabul
nuzulnya panggilan ‘Pentol’. Beruntung aku bukan Nikita Mirzani atau Dewi
Persik yang punya berita sedikit harus gelar Press Conference. Jadi, dengan besar hati, aku runutin
cerita ke mereka yang menanyakan, beserta beberapa kali aku tunjukin foto dan
komennya. Yah, meskipun ujung-ujungnya mereka justru malah ketawa (lagi), nasib
harus diterima… *garuk-garuk tanah*
Ngomong-ngomong, tenang. Aku nggak marah sama sekali dapat julukan
Pentol, kok. Serius! Hehehe. Berhubung dari awalnya udah punya kesan malu-maluin,
jadi sedikit banyak bisa terlatih lah bagaimana rasanya diketawain orang
banyak. Bikin banyak orang bahagia in syaa Allah dapat pahala, sementara kalau
bikin banyak orang ketawa karena sikap malu-maluin kita, ya mau nggak mau
merana…:p
Setelah itu, virus pentolisme ternyata menjamur. Ada yang coba
mengikuti foto selfieku dengan mata yang mendelik itu. Termasuk ustadznya. Sayangnya,
mereka belum pada terlatih buat pentol-pentolin mata. Jadi, saya dan Mas Anang bilang NO, kalian bisa coba tahun depan lagi. ;P
Ah, jadi kangen makan pentol kaaan…. -___-
-AF
Comments