Halo, nggak nyangka sudah
sampai di bulan April. Itu berarti waktu sudah berlalu dua bulan sejak
melangkahkan kaki keluar dari area Pare. Tapi cerita di sini masih berlanjut,
entah akan berakhir kapan dan sampai di Pare yang keberapa. Yang jelas, setiap
kali bercerita di sini, rasanya aku larut dalam nostalgia yang mengesankan.
Satu hal yang tergores masuk
ke dalam kenanganku adalah saat belajar qowaid di Alfarisi. Aku akan membuatnya
spesial bercerita tentang Alfarisi di satu postingan ini. Kenapa baru bercerita
sekarang? Dan kenapa hanya satu postingan? Hm, sebenarnya, waktu yang
kuhabiskan di sana jauuuh lebih singkat daripada di Ocean. Dan parahnya, aku
sempat beberapa kali madol kelas waktu belajar di sana. Hihihu. Jadi,
kenangan yang kurekam nggak sebanyak dan nggak sedetail di Ocean pastinya.
Sesuai rekomendasi dari
Nuyuy, aku ambil kelas qowaid di sana yang sedihnya justru terpisah dengan Lele
yang di Ocean. Jam kelasku itu dimulai dari jam 13.00-15.00 –yang bisa dibilang
jamnya mesra-mesraan sama kasur. Errr :p. Tapi, karena aku sudah menjatuhkan
keputusan, mau nggak mau harus konsekuensi dalam menjalankan. Yaaa meskipun
ujung-ujungnya suka madol karena berbagai alasan, tapi sering masuk kok. Suwer!
:p
Secara letak dan lokasi,
Alfarisi jauh lebih sederhana dibanding Ocean. Kita belajar di bawah naungan
atap ber-seng. Dan tempat belajarnya seperti saung besar yang tanpa pintu. Masuknya
itu melewati jalan setapak yang lumayan masuk ke dalam dari jalan besar dengan
memarkirkan sepeda di depan maskan-nya.
Beruntung, di sana bertemu
beberapa teman sekampus –meskipun nggak sejurusan- yang bisa langsung nyambung.
Namanya Lili, anak tafsir hadits semester empat yang menetap di sana. Kami jadi
akrab, dan dia termasuk penyalur komunikasiku kalau-kalau aku berencana nggak
masuk. Hihihi. Orangnya sama-sama rame dan asyik, jadi beberapa kali sebelum
mulai belajar, kita saling tunggu-tungguan dan tagging tempat.
Lalu ada Ida, yang udah lama
menetap di Pare. Terus ada Filli dan Bima yang anak semester awal di UIN
Malang. Terus… ada siapa lagi ya? Aduh, sebenarnya banyak. Cuma sayangnya aku
lupa begini masa. Hehehe. Efek tiap abis kenalan nggak langsung ngapalin nama,
ditambah besoknya suka terlambat masuk. Jadi cuma bisa sekadar kenal wajah,
yang kalau disapa cuma bisa balas manggut-manggut aja. *parah*
Nama pengajarnya itu Ustadz…
Salim. Iya, aku ingat Ustadz Salim namanya. Yang punya macam-macam tulisan yang
berbeda di tiap pertemuan. Yang juga ternyata alumni Ocean, suka menukar-tukar
kata majanan “gratis” dan kata PR. Jadi, anak-anak yang udah senang
dikasih gratisan –yang biasanya berupa makanan- itu ternyata malah dikasih
lembaran tugas, eh giliran beliau bilang tugas malah ngebagiin makanan. Dan makanan
yang paling kuingat –karena seingatku baru cuma sekali ngasih itu- adalah
piscok. Sayangnya, cuma berlaku tiga kali suap. Hiksss *mupeng minta nambah*
Suasana belajar di Alfarisi
itu juga jauuuh lebih kalem. Cuma aku di kelas qowaid satu itu yang merantau
dari Ocean. Selebihnya, mereka penduduk lokal maskan sana. Beda banget
sama kelas Aidina-ku di Ocean yang super atraktif. Di sana sesekali emang rame,
tapi nggak sampai awut-awutan. Lebih sering kalemnya deh.
Karena aku qowaid satu, jadi
mau nggak mau ulang lagi pelajaran nahwu-shorof zaman SMP dulu. Sebelum belajar
kita nyanyi-nyanyi shorof, setelah itu baru masuk ke materi. Lalu di malam
hari, ada sesi pengulangan kelas di tempat yang sama. Nah, di waktu ini nih,
aku lebih jarang masuknya. Hanya beberapa kali di awal-awal belajar, setelah
itu semakin nggak bisa karena full sama kegiatan maskan yang
semakin sulit ditinggal. Semakin jadi deh, dari zaman masih pakai putih-biru,
nilai qowaidku –apalagi dalam urusan I’rob-meng’I’rob memang butuh pertolongan.
Aduh, gimana nanti skripsi ini yaaaa .__.
Sekian, cerita singkat saat
di Alfarisi. Kita ketemu lagi di cerita Pare di postingan selanjutnya. ^^
Dan berhubung selama belajar aku nggak bawa iPad ataupun kamera, jadi ini satu-satunya foto selama di sana. :) |
-AF
Comments