Setahun
lebih, gadis itu menyimpan sendiri. Atau mungkin sebenarnya sudah ia bagi
kepada orang yang ia percaya. Tapi tidak padaku. Tidak sampai hari ini, ketika
ia datang padaku dan berubah pikiran.
“Gue nggak
suka orang itu. Sengak!”
Cerita
dimulai dari kisah seseorang yang sudah lama dihapus dari hidupnya. Seseorang
yang tak perlu ia ceritakan ke mana-mana, pada siapa-siapa yang bertanya.
Apalagi pada si penanya yang hanya ingin memuaskan keingintahuannya. Tidak
melegakan hati, tidak ada solusi, tapi justru membuat segalanya jadi rumit.
Seperti orang
yang gadis itu ceritakan; seorang perempuan yang sekonyong-konyong datang
kepadanya, sekaligus menjadi alasan gadis itu untuk bercerita padaku saat ini.
“Tanpa
aba-aba, dia bertanya ke gue dengan ekspresi yang bikin muak seolah-olah dia
tau segalanya. Seakan-akan setengah hidup gue dihabiskan bareng dia, lalu dia
tau kehidupan gue dari A sampai Z, jadi berhak mengambil kesimpulan sesukanya!”
Aku bisa
melihat kilatan amarah di mata gadis itu ketika bercerita tentang perempuan
yang membuatnya jengkel. Sejujurnya, aku tidak begitu mengerti tentang
masalahnya, tentang orang yang sudah lama ia hapus, juga tentang perempuan yang
memuakkan itu.
Lalu, aku
memberanikan diri untuk bertanya, dan gadis itu percaya padaku untuk bercerita.
Selama itu, nalarku berhati-hati mengambil kesimpulan, hingga mengerucut pada
satu kalimat; gadis itu dikecewakan.
Pada
dasarnya, aku mengenal gadis itu dengan baik. Ketika ia menyayangi seseorang,
ia akan sayang sebenar-benarnya. Dan ia pernah bilang suatu hari padaku, kalau
ia dikecewakan, ia juga akan kecewa pada dirinya sendiri—yang dengan mudahnya
percaya pada orang yang pada ujungnya membuatnya kecewa—sehingga berimbas pada
tingkah lakunya yang cenderung menghindar. Ia takut kembali berhadapan, karena
yang di bayangannya—sesuatu yang mengecewakan itu akan kembali terulang.
Gadis itu
sakit hati. Dan sakit hati itu berbeda dengan patah hati.
Maka, aku
kembali bertanya; apa tidak ada maaf?
Gadis itu
diam. Tatapan dan ekspresinya mendingin. “Maaf dan mempelajari kesalahan itu
berbeda kan?”
Aku
tercekat, bingung harus menjawab. Apa gadis itu sebenarnya sudah memaafkan?
Atau sikapnya yang seperti ini karena butuh waktu agar tak ada lagi kesalahan
yang sama?
Sepertinya
menurutku, yang kedua lebih tepat.
Mungkin
memang bagi kebanyakan orang, memaafkan adalah melupakan. Menghapus segalanya
dan merangkai sedari awal. Namun buat beberapa orang, memaafkan itu bukan
melupakan. Perlu waktu untuk belajar untuk tidak jatuh pada lubang yang sama.
Apa pun, luka tetaplah luka.
Dulu,
mungkin gadis itu telah memberi kesempatan untuk memperbaiki keadaan pada orang
yang sama dengan sekarang. Tapi, karena yang terjadi adalah ‘terulang’, maka
gadis itu menarik diri dan menjadi seperti ini.
Nampaknya,
aku masih pada keingintahuanku. Lalu aku kembali melontarkan tanya; apa yang
mereka lakukan selama tahu sikapmu seperti ini?
Dia membuang
tawa. Tawa sinis dan mata yang tak lepas dari kilatan marah. “They act as
what I do is just joke.”
Sudah
kuduga, penumpuk kegeraman gadis itu pada sikap kedua orang tadi. Siapa pun,
jika pada titik perasaan yang serius pasti akan merasa kesal jika dipermainkan.
Dan kedua orang tadi, mempermainkan kekesalan gadis itu seolah-olah ini adalah
suatu lelucon.
Gadis itu
melenguh. Diembuskan napasnya keras-keras, seraya mengakhiri percakapan kami, “I’m
no longer respect to them anymore. Especially to her! I’m sick off with
her face when she mocks at me. Gue nggak kebayang, perempuan itu berani
dibayar berapa sama dia sampai bisa-bisanya, perempuan itu mengambil kesimpulan
kacangan begitu!”
Pada
akhirnya, mungkin lebih baik kedua orang tadi ditempatkan di tempat semula.
Tempat ketika mereka tak lagi saling mengenal. Supaya tidak ada yang kecewa dan
dikecewakan.
-AF
Comments