Hello 2015!
Udah berlalu seminggu, tapi baru ada penyambutan di sini sekarang. Duh, jadi
merasa durhaka sebagai owner. Jadi, udah berapa bulan kamu
ditelantarin, Nak? *nangis-nangis ngelus blog*
So,
berterima kasih banget lah buat salah satu teman sekamar who lend me her
laptop for doing this. Secara, since my laptop couldn’t logging in for
any accounts, aku cuma bisa memanfaatkan segala sos-med di ponsel. Tau
sendiri, kan, ponsel nggak sekuat dan seluas laptop. Jadi, ya…, begini lah
adanya.
Sebagai
tulisan pembuka di awal tahun, dimulai dari ringan-ringan dulu, ya? Anggap aja
pemanasan… *lemesin tangan*
Dan cerita
ini, mari kita mulai dari…, hm…., cinta? No, no, no. Atau skripsi aja,
ya?
Oke sip. Nggak
ada yang jawab? Anggap aja pada setuju. ^^
Dalam sebuah
forum kepenulisan, seorang penulis profesional (yang konon jam terbangnya udah
tinggi banget) menganalogikan bahwa menulis novel itu sama dengan perempuan
hamil. Perjuangannya berbulan-bulan, perlu (banget) disabar-sabarin, sampai
pusing—bahkan—mual, adapun yang sampai ngidam ini-itu.
Jujur, aku
yang pernah ngalamin fase itu, diam-diam setuju. Yang pusingnya, yang mualnya,
yang kadang emosinya…
Tapi begitu
lahir, beuh! Ditimang-timang, dicium-cium, dibilang, “ya ampuuun, nggak
nyangka kamu lahir setelah Mama harus kerja keras banyak, Nak!” Lalu, terdengar
soundtrack menggelegar dari belakang, “We are the champions, My
Friend!~~~”
Itu novel.
Kalau skripsi, analoginya, perempuan yang tengah hamil anak kembar!
Yaaa…,
meskipun aku nggak tau gejala hamil anak kembar kayak bagaimana (secara, belum
pernah ngalamin :D), tapi di sini aku menganalogikan bahwa pusingnya skripsi
dua kali lipat dari pusingnya bikin novel. Padahal aku masih pada tahap
proposal—yang kata orang-orang berpengalaman, ini belum seberapa dibanding
skripsi aslinya. Ya yang namanya cari referensi lah, kajian pustaka lah, teknik
lah, revisinya lah. Duh!
Buat yang
belum tahu apa-apa tentang skripsi, aku mau sharing pengalaman;
bersiap-siaplah kamu kewalahan mencari buku yang terancam punah di
perpustakaan—apalagi toko buku terkenal. Ini langkah sekaligus masalah awal
untuk merampungkan proposalmu. Dalam kasus ini, mau nggak mau akan
bersinggungan langsung dengan orang yang nggak kita kenal buat dimintai
tolongnya demi buku itu. Riweuh, kan? Ini belum seberapa, bro! Belum yang lain!
*kipas-kipas kertas revisian*
Kendala awal lainnya adalah di judul.
Pertanyaan mendasar yang paling menjengkelkan adalah; “Kenapa, sih, judul
skripsi rata-rata panjang banget?!” Terlebih buat aku yang jurusan Sastra Arab
(otomatis judul skripsi pun berbahasa Arab), suka kelupaan tata letak kata itu
sendiri. Jadi, setiap kali orang tanya, kasus yang akan terjadi adalah:
Ask : “Hey, skripsi lo ambil apa?”
Answer : “Puisi, gue!”
Ask : “Wih, judul skripsinya apa?”
Answer :
“Gitu deh, panjang! Pokoknya puisi romantisnya Ghada Al Samman, ajaaa…” (Nggak
mau ambil pusing.)
Ask : “Oh ya? Emang judulnya apa?”
Answer : (menghela napas dan nyerah buat jawab)
-> *Judul asli*:
صورة تعبير الرونتيكي في الشعر لغادة السمان دراسة السيميولوجيا
لميكائيل ريفاتير
-> *Yang terjawab*:
صورة تعبير الشعر...
Ask : “Wah, keren!”
Answer :
(dalam hati berharap memang benar-benar keren), (dan mudah-mudahan emang
keren), (keren karena si penanya itu—setidaknya tau maksudnya—bukan semata-mata
karena berbahasa Arab).
Secara,
kalau diartikan kan jadinya malah begini:
Ask : “Emang judulnya apa?”
Answer :
*Seharusnya* -> Potret romantisisme dalam puisi Ghada Al Samman, analisis
semiotic Michael Riffaterre.
*Yang
terjadi* -> Potret puisi…. Hm… *lupa*
Kan jadi
mikir, keren apanya? Orang lupa. -_-
Beda sama
bikin novel. Sekali ditanya judul, maksimal empat atau lima kata juga terjawab.
Itu pun udah kebanyakan.
Memang, sih,
buat sebagian orang, menulis skripsi lebih mudah daripada menulis karya fiksi.
Secara, yang sama-sama kita tahu, yang dibutuhkan untuk skripsi itu adalah
gagasan, pikiran. Minim imajinasi, minim emosi. Beda sama karya fiksi.
Sekalipun ide, gagasan, kadarnya tidak sebanyak skripsi, tapi keempat unsur
tersebut (imajinasi, gagasan, pikiran, emosi) setidaknya terlibat sehingga
menimbulkan estetika sendiri. Terutama pada emosi dan imajinasi.
Dan buatku
yang topik skripsinya itu sendiri adalah puisi, empat unsur itu kayaknya
sama-sama jadi dominan deh.
Dan
sekalipun skripsi minim imajinasi dan emosi, tetap aja perjuangannya
ampun-ampunan. Kayak analogi ibu hamil anak kembar tadi. -_-
Jadi, itu
aja yang aku tulis sebagai pembuka cerita awal tahun ini. Buat yang belum
pernah skripsian, mudah-mudahan hasil sharing-an aku di atas sedikit
membuka pikiran, ya. Dan buat yang udah pernah skripsian, nanya dong: kalau
inget masa-masa rumitnya skripsi, surutin semangat buat lanjut kuliah lagi
nggak, sih?
-AF
Comments