Seharusnya, aku udah bisa cerita soal ini
dari awal Februari kemarin. Atau paling lambat, hari Jum’at kemarin. Kalau aja
mentalku stabil—dalam artian nggak dikuasai rasa takut yang berlebihan—atau nggak
menghabiskan berlembar-lembar kertas untuk merevisi teknis penulisan. Tapi kenyataannya,
aku baru bisa cerita sekarang. Hari ini. Setelah semua kejanggalan itu musnah. Atau
lebih tepatnya, dimusnahkan secara susah payah.
Hari ini aku baru menghadap dosen buat seminar
‘kecil’ proposal. Kenapa begitu? Karena kita nggak betul-betul presentasi
proposal di depan banyak audience, menjelaskan dari awal sampai akhir. Tapi
hanya disuruh baca (sebagai tes awal seseorang bisa menguasai bahasa Arab atau
nggak), beserta disuruh menguraikan gramatikalnya. Terus sekilas menyampaikan
inti paragraf yang ditunjuk dosen untuk dijelaskan. That’s all. Kelihatannya
sederhana, tapi ternyata beberapa dari kita masih ada yang takut untuk itu.
Kenapa takut? Karena awalnya dapat kabar
kalau nggak lulus tes baca, bakalan bayar ekstra di luar biaya kuliah buat
tutorial. Harganya nyaris setengah harga kuliah—sedangkan di semester akhir ini
kita kuliah dengan biaya full padahal nggak masuk kelas. Kalau aku
pribadi, sih—meskipun ngerti banget kualitas gramatikal Arabku pas-pasan—rasanya
nggak rela (pakai banget) ngeluarin biaya di luar tanggungan SPP kuliah buat
tutorial. Tapi beruntung lah, katanya kabar soal tutorial ini akan ditinjau
ulang. Means, semoga yang ditakutkan tadi nggak jadi kejadian. Aamiin.
Sebenarnya kalau dipikir-pikir dan
dibandingin sama yang lain, bikin skripsi pakai Bahasa Arab itu nyenengin. Apalagi
kalau kuliah di Sastra Arab begini. Yang artinya, hidup kita akan berkutat di
naskah-naskah semacam puisi, prosa, manuskrip, drama, atau yang lain. Kebanyakan
studi kasusnya secara kepustakaan. Jarang ada yang penelitian lapangan—meskipun
ada beberapa. Nggak perlu mengolah data pakai statistik karena kebanyakan
bentuknya analisa. Terus, teknis penulisannya pun nggak serumit menulis kayak
berbahasa Indonesia atau Inggris—yang mana nggak boleh ngelupain bentuk EYD
kayak misalnya; nama orang, inisialnya harus huruf besar. Atau setelah titik,
huruf pertamanya besar.
Di bahasa Arab—atau aksara lain yang
nonalfabetis—semuanya sama.
Hanya saja, kesulitan lainnya di gramatikal;
nahwu dan shorof.
FYI, aku mau buat pengakuan kalau sebenarnya
nilai nahwu dan shorofku nggak begitu lemah (diliat dari raport zaman sekolah
dulu) dibanding nilai eksak. Daripada matematika atau IPA, aku lebih pilih
ngerjain nahwu yang mungkin notabenenya juga rumit. Jadi, bersyukur aja kalau
nilai nahwu bisa di atas angka tujuh di raport.
Tapi yang bingung, aku cuma bisa ngerjain
sesuai bukunya. Giliran bentuk teksnya lain…, aku pening. *jegger* *ini kenapa,
Tuhaaan?* *nangis di bawah shower*
Dan berlandaskan alasan itu, jangan heran pas
tes baca di depan dosen tadi aku menjawab *ehm* semampuku. Kayak
contohnya;
“Ini kenapa dibaca ‘tu’? apa kedudukannya?”
Dan aku cuma bisa jawab, “Feeling,
Pak.” Seraya nyengir kuda.
Bersyukur lah punya dosen yang friendly,
jadi pas jawab kayak begitu aku nggak dimarahin serta merta dibilang, “Kamu
gimana, sih?” Bla-bla-bla. Tapi beliau justru ketawa dan melempar pertanyaan
selanjutnya dengan gurauan, “Ini kenapa dibaca begini? Feeling lagi?”
Yah…, mau nggak mau aku ngangguk kan? Abis,
mau jawab apa lagi….
Jadi, punten yah, Bapaknyaaa, kalau
mahasiswimu ini hanya mengandalkan feeling. Hiks. *garuk-garuk tembok*
Setelah tes tadi, Bapak dosennya kasih tau kalau
kabar ketentuan dosen pembimbing skripsi akan diumumkan awal Maret nanti. Means,
minggu depan. Banyak yang harus disiapin, termasuk do’a. Mudah-mudahan dapat
dosen pembimbing yang ramah dan bersahabat supaya nggak bikin nge-down. Aamiin.
If someone ask me what I wish at this time, I’ll answer hanya ingin ngerjain ini
tanpa melibatkan diri pada kesibukan yang lain. Nggak mau terjun ke sini, ke
situ, karena udah ngerasa cukup melibatkan diri kemarin-kemarin sebelum ketemu
skripsi. Sekarang, rasanya pengin sendiri dulu. Nggak pengin terbebani yang
lain, apalagi didesak, kecuali kalau aku mau melakukannya suka rela. Nggak pengin
ketimpaan tugas lain—yah, kecuali nulis draft karena…, anggap aja itu
sebagai pelarian isi kepala.
If that could really really happen…
Sayangnya, buat hal sesederhana itu aja
rasanya sulit. Penghambatnya adalah rasa ‘nggak enakan’ yang lama kelamaan
bikin jengah juga. Udah secara tersirat menyatakan keberatan, tapi ternyata ujung-ujungnya
dikasih argumen. Pengin bilang ‘nggak mau’ tapi rasanya……
If I could say that. If I that brave.
-AF
Comments