“Menjual rumah ini bukan hanya menjual sebuah
bangunan fisik. Bagi saya, rumah ini adalah kenangan, sejarah, cinta, dan…,
kehidupan itu sendiri.
Pada setiap dinding, ruang, dan lekuk likunya
ada cerita tersendiri. Pahit, manis, asam, getir, semua lengkap.”
Cerita dibuka dari sudut pandang seorang
perempuan lansia—seorang ibu dari tujuh putra, dan seorang istri dari lelaki
yang berusia dua belas tahun lebih tua darinya. Tinggal di satu atap rumah
mewah di kawasan Menteng hanya dengan sang suami dan para asisten, sementara
anak-anak mereka yang sudah berkeluarga menetap di rumah masing-masing.
Hanya berdua. Dan itu yang menjadi alasan
suaminya untuk bersikukuh menjual rumah ini. Rumah tempat mereka menggores
kenangan bersama. Rumah pemersatu keluarga besar mereka.
Bagi suaminya, rumah ini terlalu sepi.
Keluarga mereka juga tak sering-sering mengunjungi. Untuk ukuran seorang lansia
seperti mereka, lebih baik tinggal di tempat kecil di pinggir kota daripada di
tengah-tengah kota.
Tapi baginya, argumen itu tak benar. Ia tak
rela kalau sampai rumah ini menjadi hak milik orang lain. Terlalu banyak
sejarah di rumah ini. Dan kalau urusan kenapa keluarga—atau paling tidak,
anak-anak mereka—jarang mengunjungi, mungkin sebabnya ada pada bentuk
komunikasi antara ayah dan anak yang tak kunjung membaik.
Suaminya begitu dingin sehingga membentuk
jarak pada anak-anak mereka. Terlalu takut untuk disentuh, terlalu tinggi untuk
digapai. Dan karena itu, beberapa kali ia memosisikan diri sebagai jembatan di
antara mereka.
Hanya kepada Truly, menantu pertama mereka,
ia membuka diri. Baginya, Truly sudah seperti anak perempuannya sendiri.
Kepribadiannya yang hangat dan terbuka membuatnya lebih leluasa untuk berbagi.
“Rumah itu adalah sebuah tempat di mana
sejauh-jauhnya kita pergi, kita akan selalu rindu pulang padanya. Sebab hanya
di sana, keletihan kita terobati. Ada istri yang penuh cinta menyambut dan
menemani kita, saling berbagi dan bercerita. Ada anak-anak yang akan makin
meramaikan hidup kalian, membuat kalian terus belajar menjadi bijak. Rumah itu
adalah sarang yang hangat yang membuat kita ingin selalu berdiam di dalamnya.
Tetapi kita tetap harus terbang untuk mencari bekal agar semuanya lebih baik.”
Sebuah Keluarga Besar
Ketika kita ditempatkan dalam keluarga besar—anak-anak
yang banyak, sepupu, cucu, keponakan bersatu—hal yang paling pertama tergambar mungkin
adalah betapa ramainya suasana itu. Ketika berkumpul, saling berbincang panjang
ini-itu. Mulai dari generasi termuda sampai para sepuh.
Tapi bagaimana jika itu hanya terjadi
sesekali? Seperti hanya di hari besar saja?
Di sini, Ifa Avianty mengangkat topik yang
lumayan jarang dikemas itu; bagaimana sudut pandang lansia ketika ditinggal
anak-anaknya yang punya kehidupan sendiri, atau bagaimana sudut pandang seorang
menantu yang berada di tengah-tengah keluarga yang kaku—tidak leluasa untuk
mengekspresikan ungkapan hati mereka satu sama lain.
Ada Papa Kurt, tokoh yang paling disegani
dalam novel ini. Pribadinya yang tertutup, keras dan cenderung otoriter,
menciptakan benteng bagi anak-anaknya. Sehingga ketujuh putranya kehilangan
sosok ayah yang berwibawa dan menjadi idola bagi anaknya.
Ada Mama Beatrice, atau dipanggil Mama Bea,
istri dari Papa Kurt yang merupakan keluarga bangsawan. Pemilik rumah Menteng
itu sebelum hak milik keluarganya dipindahkan menjadi hak milik Papa Kurt.
Semasa dulu, Mama Bea diceritakan sebagai pribadi yang gesit, menarik dan
sangat cantik. Sebagai ibu, Mama Bea kerap kali menjadi yang menjembatani
komunikasi antara anak-anak dan ayahnya.
Ada Wisnu, anak sulung dari pasangan Papa
Kurt dan Mama Bea. Pribadinya tak jauh dari Papa Kurt yang cenderung tertutup
dan pendiam. Menikah dengan Truly—sahabatnya sendiri semenjak remaja—dan
dikaruniai tiga putri. Seorang kepala sekolah yang amat berdedikasi pada
pekerjaannya, dengan kondisi ekonomi yang tidak seberada saudara lainnya.
Ada Truly, seorang istri dari Wisnu dan
menantu dari pasangan Papa Kurt dan Mama Bea. Punya sifat ceroboh yang sudah
tak tertolong lagi. Ceriwis, ramai, supel, friendly, dan ekspresif.
Kepribadiannya ini kerap kali menjadi tempat cerita Mama Bea dan Bektik—alias
Bebek Cantik; sebutan para menantu yang ceriwis semua.
Mereka berempat sebagai tokoh utama di novel
ini. Sudut pandang mereka diceritakan secara bertukar-tukar, sehingga
mengarahkan pembaca pada akar konflik dari versi tokohnya.
Lalu ada beberapa tokoh lain. Di antaranya
anak-anak Papa Kurt dan Mama Bea setelah pasangan Wisnu dan Truly; Fahmi-Mabel,
Krisna-Lulu, Mahatma-Merlin, Bisma-Anne, Pandu-Andita, Farid-Aimee. Di antara
mereka, karakter yang paling menonjol adalah pasangan Fahmi dan Mabel. Fahmi
diceritakan sebagai pemberontak sehingga menikahi Mabel diam-diam. Yang konon membuat
Papa Kurt melarang Mama Bea mencari tahu kabar tentang Fahmi.
Selain itu, ada beberapa tokoh dalam keluarga
ini yang digambarkan menjadi figuran. Keluarga Mama Bea yang berdua belas
saudara beserta pasangannya; Tante Lili-Om Pram, Om Berhard-Tante Yolla, Om
Alex-Tante Paula, Om Hans-Tante Tia, Om Herman-Tante Sandra, Om Carl dan Tante
Sasa, Om Adri-Tante Kiki, Tante Deassy-Om Harsa, Tante Maria-Om Tiar, Tante
Olivia-Om Doni, dan terakhir Om Reinhard-Tante Grace.
Whooo, banyak banget, ya? Ini sebenarnya
belum seberapa, karena belum disebutkan para sepupu dan figuran yang lain. Dan
sebenarnya, salah satu kelemahan novel ini adalah kebanyakan tokoh ini, karena lama-kelamaan
makin bikin bingung pembacanya. Sedangkan peran mereka nggak begitu banyak
porsinya. Beberapa cuma ditampilkan sebatas nama tanpa cerita. Jadi, kelihatannya
malah jadi nggak penting, kan?
Bahasa, Diksi, dan Gaya Tulisan
Sudah khasnya, gaya tulisan Ifa Avianty itu
mengalir, ekspresif dan up to date. Caranya bertutur yang super
blak-blakan ini kerap kali membuat saya terkekeh sekaligus mengernyit. Oh ya, Ifa
Avianty juga suka menyisipkan bait lagu barat di tiap membuka bab dan isi
cerita—dan ini salah satu lainnya dari ciri tulisannya.
Hanya saja, ada beberapa kata yang digunakan
tidak sesuai KBBI. Seperti;
-
“….mereka
yang langsung merubah suasana…” (halaman 163) seharusnya ‘mengubah’.
Dengan kata dasar ‘ubah’.
-
“….Mama telah menghembuskan angin….”
(halaman 175) seharusnya ‘mengembuskan’. Dengan kata dasar ‘embus’.
Sementara secara ekstrinsik, sayang sekali
penataan sampul dan isi di sini sangat perlu diperbaiki. Bahkan, nama
penulisnya sendiri salah tulis. Yang seharusnya; Ifa Avianty justru menjadi Iva
Afianty, dan soal isi…, letak page number-nya seperti kurang
diperhatikan.
Konflik dan Solusi
Dalam novel ini, konflik yang dihadirkan
cukup padat. Dari seputar kondisi keluarga besar Papa Kurt dan Mama Bea,
konflik batin sepasang lansia, gejolak rumah tangga para tokohnya, sampai
kondisi psikologis Mama Bea yang dihadirkan sebagai penyebab sekaligus
pengiring cerita sampai pada solusi. Bagaimana memecahkan kebekuan suasana
keluarga mereka, menahan Papa Kurt agar tidak bersikeras menjual rumah, sampai
sebab sikap dingin Papa Kurt yang menjadi alasannya yang membuat jauh dengan
anaknya sendiri.
Ifa Avianty menghadirkan akhir cerita yang menjawab
segala pertanyaan sejak awal cerita. Menurut saya, novel ini recommended
dengan isu psikologis sebuah keluarga kelas menengah ke atas yang dekat dengan
keseharian kita. Memberi pandangan bagaimana seorang anak sepatutnya pada orang
tua ketika mereka sudah berkeluarga, seorang menantu pada mertuanya—atau bahkan—memberi
pandangan bagaimana kelak menjadi orang tua nanti menjaga komunikasi yang baik
dengan anak.
Selamat membaca, semoga dengan ini kita
mendapat inspirasi!
Judul : Home; Saling Menjauh tapi Saling
Merindu
Penulis : Ifa Avianty
Editor :
Arini Hidajati
Jumlah Hal :
388 Halaman
Penerbit :
Diva Press
Tanggal Terbit : September 2013
ISBN :
978-602-255-300-7
-AF
Comments