Kemarin, baru saja aku menghadiri pesta
pernikahan seorang teman SD.
Yah, mungkin bagi sebagian orang yang seusia
denganku, ini hal yang lumrah. Mereka mungkin pernah menghadiri pesta
pernikahan temannya beberapa kali. Dan sebelum argumen itu menyangkalku, perlu
kuberi tahu bahwa aku pun pernah melakukan hal serupa sebelumnya; menghadiri
pesta pernikahan teman SMP, SMA, teman komunitas, teman se-profesi—beberapa kali.
Hanya saja, ini kali pertama aku menghadiri pesta pernikahan teman SD.
Dan rasanya berbeda.
Pesta pernikahan teman kami menjelma jadi
reuni. Sembilan tahun lebih beberapa di antara kami yang baru bertemu sekarang.
Kadang, kami menyerupai orang yang baru pertama kali bertemu; bertanya nama, saling
mengorek memori, “Duh, gue lupa lo. Lo dulu yang mana, sih?” atau, “Dari dulu
muka lo nggak berubah, nih dia yang berubah.”, lalu berbasa-basi soal kabar,
profesi, dan yang lain. Lalu di antara kami juga yang memorinya masih baik
sehingga kenangan dulu tergali sempurna, “Si dia kan yang dulunya suka sama
ini, bla-bla-bla…”
Sembilan tahun. Time flies sampai
nggak sadar bahwa yang berasa baru terjadi, sekarang diangkat sebagai kenangan.
Hidup bergerak cepat, menjejaki fase-fase
baru yang akan menghampiri kami. Masuk SMP, masuk SMA, diterima kuliah,
beberapa ada yang mulai start bekerja, lalu meraih cita-cita. Dulu, kami
yang masih suka bawa bekal ke sekolah, bertengkar dengan teman sebangku, kini
menjelma sebagai orang dewasa yang berbicara benar-benar seperti orang yang
sudah meninggalkan masa kecilnya; soal dunia perkuliahan dan skripsi, si dia
yang sekarang dalam masa training menjadi pramugari, si itu yang
sekarang gajinya bisa ‘segini’, sampai hal yang lebih intern—yang kalau
dipikir-pikir sempat nggak nyangka juga bakalan bicara soal ini, pada teman
yang setiap kali bertatapan dengan mereka, dunia anak-anak masih terasa melekat
di sana.
Satu sisi, ada rasa ketidakrelaan. Rasanya
ingin semua seperti dulu dan tak berubah. Tapi di sisi lain, harus sadar. Kalau
kita nggak bisa terima tentang perubahan dunia, orang di sekitar juga nggak
bisa terima kita.
Time flies.
Bahkan, kini salah satu di antara kami ada yang sudah menikah. Meskipun kemarin
saat diskusi sempat menyinggung bahwa ada beberapa lainnya yang sebenarnya juga
sudah berkeluarga, tapi karena putus kontak, ini jadi yang pertama. Dulu, kami
hanya sebagai teman bermain monopoli. Kini, tanpa disadari menjadi partner
diskusi. Dulu, kami hanya sebagai anak yang masalah hidupnya tak jauh dari
sekolah. Kini, kami menjelma jadi orang dewasa dengan masalah hidup yang lebih
luas.
Dengan begitu, kenyataan ini menyadarkanku
bahwa ada satu fase di mana nantinya kami akan berbicara seputar ‘keluarga di masa
depan’. Meskipun mungkin nantinya ada yang bilang, “ye elah masih lama!” tapi
setidaknya sadar, kita harus siap-siap.
Time flies.
Tak akan berjalan mundur, kalau-kalau kita merasa kurang. Sekalipun menoleh, yang
terjadi adalah kita akan dihadapkan pertanyaan, “kamu sudah berbuat apa?” yang
kemudian mengharapkan kita memberi jawaban yang tidak mengecewakan.
-AF
Comments