Seoul, 28 November 2014.
Hai! Ehm.
Test. Test.
Rasanya agak
canggung buat kembali nulis diary. Em…, apa yah? Kaku aja gitu. Secara,
terakhir nulis diary itu waktu…, SD! Artinya, udah lima sampai enam tahun yang
lalu. Daebak!
Dan sekarang
nulis lagi. Alasannya? Karena diary ini dikasih Lei, sahabatku. Katanya diary
ini hadiah atas keberhasilanku memenangkan lomba piano di festival musik
antar-SMA se-Jakarta dan aku WAJIB mengisinya selama liburan lima hari di
Seoul.
Yeps!
Sekarang aku berada di Seoul, berdua sama Papa—yang dengan sangat baik hati
memberiku hadiah ini jika aku berhasil menjadi juara di festival musik kemarin.
Rasanya masih kayak mimpi berada di negara yang sama dengan idola. Super
excited! Sempat masih nggak percaya juga pas pertama kali tiba di Incheon
dan menyaksikan interior dengan dominasi putihnya dengan mata sendiri.
La-la-la-la, rasanya nggak mau berhenti jumpalitan!
Tapi
sayangnya, coba di sini juga ada Ray. Pasti bakalan lebih… ups! Kalau tau
aku berpikiran begini, Lei pasti ngoceh. Secara, tujuan lain dia kasih diary ke
aku itu supaya di buku ini aku juga bisa review perasaanku; tentang
gimana rasanya berada di posisi yang ratusan kilometer nggak ketemu Ray—masih
sama nggak?
Ternyata,
bahkan hari kedua di sini, aku masih senyum-senyum keingetan Ray. Baiklah, Lei,
kamu harus siap-siap mengerutkan dahi cantikmu deh, kayaknya. Aku benar-benar gila
kalau Ray terlintas di pikiran.
Okelah,
berhubung ini masih jam… sepuluh pagi, aku sudahi dulu ceritanya. Papa udah
manggil buat jalan-jalan. Nanti aku lanjut ceritanya ya.
Bubye!
-Kya-
*
Seoul, 29 November 2014
Angin Seoul
sedang berembus kencang dan daun-daun masih berguguran menyambut salju. Oh,
ralat. Sebenarnya, salju belum turun, cumaaaa dinginnya membuatku dari kemarin harus
merapatkan jaket tebal, dan setiap kali aku ngomong pasti dari mulut keluar
uap.
Kalau di
Indonesia, aku baru ngerasain hal kayak begini di Puncak—atau tempat lain yang
dekat gunung.
Kemarin, aku ke banyak tempat. Pergi ke Istana
Gyeongbok dan coba pakai Hangbok—baju tradisional khas kerajaan Korea—pertama
kali. Ke Seoul Tower, pasang gembok dan buang kuncinya ke sungai gaya-gaya
kayak wisata lain, lalu terakhir dinner sama Papa di restoran dekat
Seoul Tower, sebelum main ke Han River.
Tebak, nama
siapa yang aku tulis di ‘gembok cinta’ itu?
Yaps. Nama
Ray.
Aku juga
bingung. Udah pergi sejauh ini tapi masih keingetan Ray. Seakan lupa pernah
antusias kalau someday mungkin bakalan ketemu Nickhun 2PM atau bahkan
Chang Min DBSK karena berada di negeri yang mereka tempati. Cuma keingetan Ray;
senyumnya, banyolan jailnya, percakapan kecil kita—yang entah bagaimana
ceritanya bisa ku-review seharinya secara lengkap, modus-modus bercanda
(yang kadang pernah kuharapkan itu bukan sekadar modus, tapi juga beneran)—HAHA!
Duh, sepertinya aku makin ngawur!
Seandainya
Ray juga di sini….
Mungkin
jadinya bakalan lebih asyik dibanding cuma cerita sama dia di Facebook gimana kegiatanku
di sini. Sama-sama jadi saksi dihujani dedaunan yang berjatuhan dari pohonnya,
saling menggenggam tangan—menyalurkan kehangatan dari embusan angin yang
membuat kami kedinginan. Ini musim yang dia suka, btw. Dia sendiri
pernah bilang gitu, karena waktu itu dia cerita kalau dia iseng-iseng ikutan
nonton drama Korea sama kakak ceweknya yang judulnya—apaaaa, itu aku lupa.
Hm…,
mudah-mudahan itu terjadi di perjalanan ke sini selanjutnya. Di saat salah satu
dari kami ada yang mulai buka suara. Apa aku…, Oh Geez, menurut kalian,
harus aku duluan? Hubungan kami terlampau dekat, sih. *Gimana nggak dekat,
orang teman semeja* =)) dan kadang
kedekatan itu bikin aku sebagai cewek, em…, berharap lebih.
Oh ya. Hari
ini aku mau ke Pulau Nami. Dan suara Papa udah kedengaran panggil aku buat
siap-siap. Jadi, lanjut nanti ya!
Bubye!
-Kya-
*
Seoul, 30
November 2014
Aku video
call-an sama Ray! Huaaaaaa!!
Awalnya, dia
duluan yang chatting aku di FB semalam. Nanya-nanya tentang gimana
perjalananku di Pulau Nami; benar-benar kayak drama Winter Sonata yang sering
aku ceritain nggak?
And I said
yes.
Selanjutnya,
cerita lebih mengalir ketika kami memutuskan untuk video call. Aku bilang
ke dia, “Coba lo di sini, Ray. Pasti perjalanan gue makin heboh.”
Dan apa dia
bilang? “Lo berangan-angan gue ada di situ karena lo kangen gue, kan?”
Skakmat! Aku sempat tahan napas sebentar, lalu bisa
jawab sok cool padahal dalam hati lagi meletup-letup. “Lo kepedean.”
Lalu kami berdua ketawa.
Pada dasarnya,
iya. Aku kangen dia.
Dan tau apa
ucapan terakhir dari rentetan percakapan kami? Ray bilang, dia akan jemput aku
di bandara. Aku jingkrak-jingkrak riang! Kalau begini caranya… jadi nggak sabar
pulang.
Eh iya,
sebelum pulang, beli oleh-oleh dulu kali ya. Khusus Ray, aku mau beli yang spesial
ah. Apa ya? Hmm…, mungkin baru bisa dijawab kalau hari ini udah di Insadong
kali ya. Haha.
Bubye!
-Kya-
*
Seoul, 1
Desember 2014
Dari desas-desus
orang, katanya salju mau turun. Sayang, aku nggak bisa liat langsung. Udah di
bandara soalnya. Dan sekarang aku udah di ruang tunggu penumpang. Setengah jam
lagi kemungkinan udah masuk pesawat.
Papa ke
toilet sebentar, aku duduk sendirian. Makanya, daripada bosan, aku nulis ini.
Detik-detik
terakhir di Korea.
Sebenarnya,
kemarin-kemarin itu aku datang ke banyak festival. Secara, musim ini memang musim
yang asyik buat menggelar festival dan acara olahraga—sebelum salju turun dan kawasan
menjadi tempat permainan ski. Tapi karena kemarin aku datangnya pas udah di
penghujung musim, jadi festival-festival yang kudatangi itu tinggal
penutupannya. Sedih. Kayaknya, lain kali kalau mau ke sini harus benar-benar
atur timing deh.
Dan…, oh ya!
Aku beli kaus, topeng, dan dreamcatcher untuk Ray. Banyak banget ya? Nggak
apa-apa deh. Karena, pas tadi aku kasih tahu, Ray bilang dia juga punya surprise
ke aku. Wah, jadi penasaran!
Udah dulu,
ya. Nanti aku ceritain lagi kalau udah sampai Jakarta.
Bubye!
-Kya-
*
Jakarta, 1
Desember 2014
Aku baru
sampai rumah. Langsung masuk kamar. Dan langsung nulis diary.
Ray memang
jemput aku. Dia juga tepat janji soal surprise-nya. Tebak apa? Dia jemput
aku bareng Lei.
Ini memang
bukan hal yang aneh, sih. Sangat wajar jika dua sahabatku menjemput dan berheboh
ria ketika kami bertemu lagi di Jakarta.
Tapi ini
bukan perkara menjemput aja. Karena yang kunilai tadi, ada yang beda
dari Ray ke Lei. Tatapannya, tingkah lakunya, semua ternilai jelas—bahkan sama
orang yang nggak jeli sekali pun—tanpa perlu dikonfirmasi.
Jadi, apa
yang kulakukan? Menelan ludah, sok nggak apa-apa, dan kemudian bilang; “Ray,
Lei, besok kalian ke rumah gue aja, ya, buat ambil oleh-olehnya.”
Karena, aku
nggak sanggup untuk ketemu mereka lebih lama hari ini.
Perlu waktu
untuk mencerna, sampai aku benar-benar
berhenti menangis karena sesak.
Seperti hujan
di luar sana, yang menunggu waktu yang tepat untuk reda.
*
Comments