Atas
rekomendasi oleh seorang teman, akhirnya aku tertarik untuk menonton movie Korea
yang berjudul Sunny. Ceritanya? Tentang segerombolan ibu-ibu yang tengah
nostalgia mengumpulkan anggota geng semasa sekolahnya dulu, lalu menjalin lagi
memori yang sudah usang itu… di usia mereka yang tidak lagi muda.
Durasi filmnya
sekitar satu jam lebih, sih. Cumaaa, aku menontonnya nggak dalam satu waktu. Sempat
tertidur dua kali selama film berlangsung. Jadi, menontonnya seakan terbagi
dalam tiga potong cerita—awal, tengah, ending.
Some people
feel sad after watching that movie. Me? Something just like stab my heart. You
might call me that copious, but, if you’re a young lady, I recommend you to
watch that movie.
Cerita
diawali oleh seorang ibu rumah tangga bernama Im Na Mi yang terkenang masa
mudanya dulu ketika melihat gerombolan anak sekolah di jalan. Teringat geng
sekolahnya, teringat tingkah absurd mereka menari Sunny, teringat banyak hal. Sampai
suatu saat, ia bertemu kepala geng mereka dulu di sebuah rumah sakit yang
memintanya untuk mengumpulkan mereka kembali.
For some
reasons, meskipun usiaku belum se-mature
para ajumma di film itu, I feel d’ javu.
Beberapa
hari lalu ketika menghadiri pernikahan seorang teman SMA, aku dan keempat
temanku—well, you can call us as ‘a gank’ karena kami berada dalam satu
distrik—berangkat bersama dalam satu mobil. Dan seperti kumpulan young lady kebanyakan
ketika mereka bertemu, hal yang membuat seru perjalanan adalah… yes, curhat-curhatan.
Temanku yang
berkerudung hijau toska mulai bercerita tentang hubungannya dengan si mantan—yang
konon dijalinnya dari zaman kami berseragam putih-biru. Cerita si mantan
mengalir, mulai dari kabar, kualitas hubungan mereka sekarang, sampai kondisi percintaan
si mantan saat ini. Lalu seperti obrolan cewek-cewek kebanyakan…, satu topik
seakan kurang, jadi menjalar ke mana-mana. Temanku yang berkerudung merah
kedapatan jokes tentang mantan-calon-kakak ipar. Temanku yang
berkerudung hitam bercerita tentang malam minggu dan perjodohan. Sedangkan temanku
yang berkerudung ungu, di balik kemudinya, kami goda tentang calon suami.
Aku mencelos,
“udah susah, ya, kalo pacaran di umur sekarang.”
Temanku yang
berkerudung hijau toska setuju, “iya, di umur sekarang itu udah masuk jenjang
serius. Udah masuk waktu-waktu menikah. Jadi, kalau punya relationship sama
cowok, kaitannya banyak; keluarga kita setuju atau nggak, orang tua dia setuju
atau nggak, gitu.”
Temanku yang
berkerudung merah menambahi, “nggak kayak dulu. Pacaran ya pacaran aja. Dibawa happy
dan nggak ribet.”
Aku berkelakar,
“dulu gue malah backstreet. Simple.”
Menikah bisa
menjadi topik yang populer di usia segini. Untuk perempuan muda, selain topik
ini menjadi topik populer, tapi juga menjadi sumber topik yang menjalar ke
mana-mana. Menikah tandanya bukan hanya bersenang-senang dengan pacar dengan
status yang lebih legal. Tapi juga jadi istri, jadi ibu—dua jabatan yang
memegang peranan penuh tanggung jawab dan keikhlasan.
Aku sendiri udah
berencana akan menjadi full time mommy (and also writer) buat
nanti (*ehem*). Entah apa yang akan terjadi ke depannya nanti, tapi yang jelas
nggak mau ada orang lain yang pertama kali tau tumbuh kembang anaknya sebelum
ibunya sendiri. Sedih, gaeees! =)) but, you might think that my choice a bit
impulsive. Karena kebanyakan perempuan yang berani merencanakan hal seperti
itu berarti dia punya persiapan yang matang, atau paling nggak dia sudah
bersiap-siap dari sekarang, udah lebih serius, udah ‘berani’ ninggalin
main-main. Sementara aku…, belum. :’) *langsung gelantungan di tali ayunan*
Topik seputar
future young lady berakhir di meja panjang ketika aku dan kedua temanku
(dua yang lain sudah berpisah pulang ke rumah mereka) tengah memesan ramyeon.
Temanku yang berkerudung hijau toska mendapat pesan dari ibunya yang sudah
khawatir karena belum pulang. Maklum, sih, saat itu jam delapan malam dan dia
anak satu-satunya. Dia menjawab pada ibunya kalau dia sedang bersiap-siap
pulang setelah mengambil motor dari rumah temanku yang berkerudung merah—padahal
kenyataannya, kami masih makan-makan dan masih dalam sesi curhat-curhatan.
Saat itu,
aku langsung terbayang sesuatu, “sekarang, kita masih dicariin nyokap. Kebayang
nggak, sih, beberapa waktu dari sekarang, di saat kita lagi asik kongkow, suami
kita nyariin sekhawatir nyokap kita?”
Temanku yang
berkerudung merah menyeringai, “dan di saat itu mungkin dialognya jadi begini, ‘udah
malam kok belum pulang? Gue dan anak-anak belum makan seharian. Lo belum masak!’”
Kami semua
tertawa. Dan…, ya iya, yah. Jalanan Jakarta yang arusnya suka bikin mager bikin
kita hari itu benar-benar pergi seharian. Pergi pagi, pulang malam, padahal di
tempat tujuan nggak begitu lama. But now, we prefer no worry about anything.
Just enjoy our time as a young lady, puas-puasiiin, sebelum berubah menjadi
‘Sunny’.
-AF
Comments