Dia memang tidak lahir dari
rahimku. Tapi, setiap kali kutatap matanya, aku bisa merasakan kehidupanku di
sana.
Dia memanggilku Ma, sejak dua
belas tahun yang lalu memutuskan tinggal bersamaku. Aku memintanya dari panti
asuhan milik rekanku untuk menemani hidupku sejak dia berumur lima tahun. Aku jatuh
cinta pada bulat matanya ketika menatapku, rambutnya yang dikucir satu bergerak
lincah seiring dengan gerakan tubuhnya, juga senyumnya yang merekah dan tawa
yang renyah di tengah berinteraksi pada siapa pun.
Dia, seperti cerminanku dulu.
Siapa pun yang mencuri dengar
cerita ini pasti berpikir bahwa hal ini sangat tidak masuk akal; gadis berumur
dua puluh lima tahun berani mengadopsi seorang anak perempuan untuk hidup
bersamanya. Kau, yang baru tahu cerita ini, boleh saja tidak percaya dan mengatakanku sebagai gadis aneh atau
semacamnya. Aku sering menerima cemoohan semacam itu sebelumnya.
Tapi percayalah, apa pun yang
kalian katakan tidak akan mengubah pikiranku dan tidak membuatku menyesal pada
hal apa pun. Dulu, sekarang, ataupun nanti.
***
“Ma,” panggilnya di sebelahku
saat tengah mengoles selai kacang di permukaan roti tawarnya. Aku menatapnya. “Kadang-kadang
aku ingin terus bertanya soal Pa.”
Kerongkonganku tercekat. Dia sudah
menyinggung hal serupa dua minggu belakangan. Baik tentang lelaki yang dulu
pernah berada di tengah-tengah kami—yang ia sebut Pa, atau lelaki lain yang dia
kenal sebagai rekan kerjaku.
Kemarin, dia bertanya tentang
Wisnu, rekan kerja yang selang satu kubikel dari kubikelku, karena menurutnya Wisnu
adalah lelaki baik dan ramah padanya.
Juga tentang Nino, rekanku
yang lain, karena suatu hari Nino membelikannya sepasang sepatu balet berwarna peach.
Dia menyukainya. Sangat. Aku bisa menilai bahwa gadis mungilku terkesan dengan
hadiah yang Nino berikan.
Atau juga tentang Pradana. Gadis
mungilku itu terkesan saat ikut meeting kantorku di apartemen Pradana. Saat
itu, Pradana menjamu kami—para tamunya—dengan makanan enak buatannya.
Lalu tentang lelaki yang ia
panggil Pa. Lelaki yang pernah menjadi bagian hidupku, hidup kami, selama satu
tahun pertama gadis mungil ini bersamaku, sebelum akhirnya pergi dan menghilang
dari hidup kami.
Menerima salah satu dari mereka—menggantikan
Pa—tidak sesederhana berawal dari kagum, Sayang. Butuh proses panjang.
Tapi lebih baik sepertinya
jika aku melontarkan tanya padanya, “memang ada apa, Sayang?”
Dia tersenyum. “Nggak, Ma.”
Lalu kuamati, pipinya merona merah. “Ma, selama ini kita hidup berdua. Nggak ada
laki-laki setelah Pa.”
Kutilik wajahnya, mencermati
arti kalimatnya. “Apa ada laki-laki yang mau kamu kenalkan pada Ma?”
Dia tersentak. Mata bulatnya
terbelalak. Tapi di balik semua ekspresi keterkejutannya, rona merah di wajahnya
tak hilang.
Kali ini gilianku tersenyum. “Jadi…,
boleh Ma liat fotonya?”
Dia menggigit bibir bawah,
sebelum akhirnya mengutak-atik ponselnya. Beberapa detik kemudian, dia
memberikan benda itu padaku.
“Kamu menyukainya?” tanyaku. Karena
yang kutahu, ini adalah hal yang pertama untuknya.
Kedua matanya menatap ke
bawah, entah apa yang dia lihat. Tapi kutahu, kedua ujung bibirnya sempurna terangkat.
“Apa yang harus kulakukan, Ma?”
Aku menghampirinya, memeluk
tubuhnya. “Hanya jadilah dirimu sendiri, Sayang.” Aku menarik napas sejenak,
sebelum akhirnya melanjutkan, “dan terima dia sebagai dirinya sendiri.”
***
Aku sering merasa gelisah
ketika berhadapan dengan suatu apa pun untuk pertama kalinya. Termasuk sekarang,
ketika dia pertama kalinya meminta izin padaku untuk jalan berkencan dengan lelaki yang tempo
hari dia ceritakan.
Kuakui, lelaki yang dia suka
adalah lelaki yang baik; berlaku sopan padaku ketika meminta izin untuk
membawanya pergi, menanggapi pertanyaan-pertanyaanku yang terkesan menyelidiki,
dan…, tidak ada yang membuatku tidak aman, seharusnya, atas gerak-gerik lelaki
itu pada gadis mungilku.
Tapi entahlah, perasaanku
tidak nyaman.
Mungkin karena ini pertama
kalinya untuk dia, mungkin juga aku terlempar pada memori bersama lelaki yang
dia sebut Pa, mungkin juga karena sebagian rasa traumaku untuk menerima
kehilangan masih ada.
Aku tidak tenang melakukan
apa pun. Sekalipun untuk meminum teh sambil menonton acara komedi di televisi,
semua itu tidak berhasil mendistraksiku.
Sampai dia datang, dan aku—dengan
kontrol diri yang kulakukan sebisa mungkin—berusaha menyambutnya dengan senyum,
seolah rasa tidak tenang tadi tak pernah ada.
Kusebut nama lelaki itu
padanya, dan kutanya, bagaimana acara mereka.
Kali ini, terbaca jelas ada
sesuatu yang berbeda. Tak ada lagi rona merah di wajah. Tak ada lagi ujung
bibir yang terangkat sempurna. Di wajahnya, semua berganti dengan ekspresi
kalut, bingung, dan tentu saja, tanpa senyum.
Kuraih tubuhnya dalam
dekapanku. Saat itu juga, kalimat yang meluncur dari bibirnya keluar dan membawaku
pada lorong memori lelaki yang dia sebut Pa. Kalimat itu yang dulu menguji
kerelaanku terhadap apa pun yang terjadi pada ujung hubungan kami nantinya.
“Ma, aku menyayanginya. Aku juga
sudah menjadi diriku sendiri di hadapannya. Tapi…, apa yang harus kulakukan
kalau ada bagian dari dirinya sendiri yang sama sekali tak bisa kuterima?”
***
***
-AF
*tulisan ini disertakan dalam
tantangan #NulisBarengAlumni #KampusFiksi bertema Ibu.
Comments