Gadis itu
mengerjapkan mata.
Di depannya,
sebuah layar berukuran empat belas inci ikut menatapnya. Kali ini, layar itu
tidak bertugas untuk memanjakan visualnya dengan adegan-adegan romantis yang
dilakukan oleh pangeran tampan. Layar itu juga tidak menyuguhkannya
kalimat-kalimat memabukkan yang menguras pikiran dan emosinya ke dalam sebuah
cerita.
Tetapi layar
itu ia arahkan pada sebuah dinding. Tempat yang, konon, kebanyakan orang
berpikir bahwa itu adalah wahana memamerkan diri mereka. Atas apa yang mereka
punya, atas apa yang mereka lakukan, atas apa yang mereka rasakan, dan yang
lainnya.
Yang pertama kali ia dapatkan dari dinding itu
adalah kalimat yang dilontarkan dari seorang perempuan bertopi merah. Sepertinya
curahan hatinya, pikir gadis itu. Karena yang ia baca dari situ adalah
kumpulan kata-kata puitis layaknya seorang penyair papan atas. Entah kalimat
itu si perempuan bertopi merah yang buat atau dia curi dari sebuah tempat.
Yang kedua ia dapatkan adalah foto close up
seorang wanita paruh baya, lengkap dengan penampilan ramainya; bedak tebal,
eyeliner yang tergaris sempurna di kelopak mata atas, blush on merona
di pipi, juga lipstik berwarna merah cerah yang mewarnai bibir. Sempurna, pekik
gadis itu. Pasti wanita ini tidak melupakan tumpukan efek dari berbagai
aplikasi pengedit foto. Gadis itu tertawa sembari geleng-geleng kepala.
Yang ketiga
ia dapatkan adalah seorang lelaki tambun dengan helai putih yang nyaris
menutupi kepalanya sedang membagikan sesuatu dari dinding yang lain; sebuah
umpatan yang lelaki itu tujukan pada suatu kelompok, pada kebijakan negara,
pada para pemerintah. Kalimat yang dilontarkannya murni mengandalkan
subjektivitas. Terbukti pada caci maki yang tak terkontrol dihadirkan pada
huruf-huruf besar dalam sebuah kalimat. Tidak peduli pada berita pembanding,
sehingga yang tercurahkan penuh tendensi dan provokasi.
Gadis itu
menjengitkan alis. Ia memang tidak paham bagaimana rasanya menjadi rasis dalam
suatu kelompok, sehingga harus menjatuhkan kelompok yang lain. Apakah ini, bagi
mereka, termasuk dalam bagian kompetisi?
Baiklah, ia
melanjutkan pada apa yang keempat didapatkannya; beberapa foto seorang lelaki,
dengan pakaian yang sama, difoto dari berbagai pose—berdiri menghadap kamera,
duduk, berdiri tanpa senyum, dan pose yang lainnya. Ia melihat banyak yang
menyukai foto ini—terbukti oleh ramainya dinding ini oleh pujian kaum hawa. Lelaki
pendamba popularitas, pikir gadis itu. Anehnya, ia tidak tertarik untuk
bergabung bersama kaum hawa yang lain untuk memenuhi dinding itu.
Maka, lebih
baik ia melihat dinding selanjutnya.
Sebuah video
yang merekam sebuah peristiwa yang… ergh, ini menjijikkan! Di mana
hati nurani mereka ketika membagikan sebuah video yang tak seharusnya ditonton
oleh semua orang? Ia—yang baru melihat di satu menit pertama saja—merasa jengah.
Bagaimana bisa sebuah bencana yang memakan banyak korban ini direkam dalam
sebuah video—lengkap dengan tampilan korban-korban yang bergeletakan? Bulu kuduknya
meremang. Sungguh, ia menyesal. Dan sesal itu lengkap dengan makian pada diri
sendiri yang merasa tolol sudah menonton sebagian video itu.
Gadis itu
memejamkan mata dan melenguh pelan.
Pada dasarnya, ia tidak mengerti apa yang harus
ia jawab ketika dinding itu bertanya tentang apa yang ia pikirkan. Sama seperti
ketidakmengertiannya pada pola pikir orang-orang yang ia temui di dinding tadi.
Semua serba menunjukkan apa yang mereka pikirkan dan mereka membangun citra
dengan berbagai cara.
Tapi yang
gadis itu tangkap kenapa justru sebaliknya? Citra tentang mereka berganti
dengan kelemahan dalam bentuk lain—yang ditangkap oleh gadis itu.
Jadi,
sebenarnya kegunaan dinding ini apa? Sarana menjunjung citra sekaligus sarana
menghancurkan dinding yang lainnya kah?
Lalu sekelebat
bayangan melintas di kepala gadis itu seperti video yang berputar; tentang
orang-orang di mana ia menghancurkan dindingnya, orang-orang yang tak
membutuhkan citra apa pun tentang dirinya, seperti ia yang tidak membutuhkan
citra dari orang-orang itu.
Just the way
she is. And also, they are.
Orang-orang
itu…, kini berada jauh dari genggamannya.
Ia menatap
dinding itu tadi—yang masih melontarkan tanya yang sama. Pertanyaan yang
menyerang perasaan, juga mengalahkan logika. Membuatnya menjadi sama seperti
orang-orang yang ia temukan di dinding tadi. Dinding ini…, juga menghancurkan
dindingnya.
What’s on
your mind?
Gadis itu
mengetik, aku merindukan kalian.
-AF
*tulisan ini disertakan
dalam tantangan #NulisBarengAlumni #KampusFiksi bertema Dinding*
Comments
Suka cerpen juga?
Fia keren.. Eh, sebenarnya awalnya aku agak bingung loh nangkep maksud dinding di sini. Hahaha maafkan akuuuu ^^"
Fia keren.. Eh, sebenarnya awalnya aku agak bingung loh nangkep maksud dinding di sini. Hahaha maafkan akuuuu ^^"