Lonceng
berbunyi. Pesta dansa dimulai. Lelaki bermata cokelat itu menatapku dengan
lembut. Sebelah tangannya terulur minta disambut. Aku membalasnya dengan
senyum, lalu menggandeng tangannya dan kita berdua berjalan ke lantai dansa—tempat
Dad yang sudah berdiri di sana.
Ketika Dad
sudah di depanku, lelaki bermata cokelat itu tersenyum seolah-olah di balik
matanya, ia mengatakan, “Enjoy your first dance.” Sebelum akhirnya ia
menyerahkanku pada Dad, dan ia sendiri menghampiri ibunya untuk menikmati dansa
pertamanya.
“Jadi,
bagaimana rasanya hari ini, Sayang?” Dad bertanya ketika tangan kami sudah saling
menggenggam. Kami berdua siap mengambil peran di lantai dansa. “Putri Dad
cantik sekali.” Dan itu pujian entah keberapa kalinya dalam hari ini.
“Menyenangkan,
Dad. Rasanya aku ingin merasakan hal yang sebahagia ini seumur hidupku.” Aku
sendiri tidak bisa menyembunyikan senyum lebar ketika ditanya begitu. Hari ini
aku resmi menjadi ratu sehari dari seorang lelaki hebat yang mempersuntingku
sebagai istri. Lelaki yang setiap kali kutatap matanya, kudapatkan keberanian
yang sama ketika aku bersama Dad. Lelaki yang tidak segan-segan mengorbankan
banyak hal untuk melindungiku, sekaligus lelaki yang selalu kupercaya bahwa ia
akan terus menyayangiku.
“Aku juga
bahagia. Hari ini membuatku teringat saat menikahi ibumu.”
Kali ini aku
tersenyum simpul. Aku selalu ingat bagaimana kisah cinta mereka ketika Dad
bertemu Mom sejak pertama kali. Baik Dad ataupun Mom sering bercerita tentang
itu berulang-ulang, lengkap dengan binar penuh cinta di mata keduanya. Aku pun
tidak pernah bosan mendengarnya. Sampai suatu hari, tak ada lagi Mom yang
bercerita, dan hanya Dad yang kadang-kadang bercerita sendiri, padaku, sementara
binar cinta di matanya berganti dengan tatapan hampa.
Aku tahu
bahwa aku akan mendengar kalimat itu dari Dad cepat atau lambat di hari ini. Seperti
halnya aku tahu kalimat itu akan membawa kami pada suasana seperti apa.
“Ibumu,
dengan kecantikan yang selalu kukagumi, sangat memikat di hari itu. Sama sepertimu
di hari ini.”
Ya, Mom
memang selalu cantik dan mengagumkan. Aku mengakui hal itu sepenuh hati. Dan entah
berapa kali sejak beberapa hari belakangan, aku bermimpi Mom ada di sini,
menemaniku dan Dad di hari bahagiaku.
Mungkin itu
cara Mom di surga sana memberitahukan bahwa ia turut berbahagia atas hari pernikahanku.
Mom memelukku lewat mimpi.
“Ibumu tidak
pernah luput dari ingatanku sampai detik ini. Dan itu yang berkali-kali
kuingatkan pada lelakimu untuk tidak pernah meluputkan putriku dari ingatannya.
Aku tidak segan-segan membunuhnya kalau dia menyakitimu.”
Kali ini aku
tertawa. Kutatap manik mata Dad yang sedang bergurau itu seraya meneropong
momen-momen kebersamaanku dengan Dad.
Hal yang
paling pertama tebersit di benakku adalah saat sulit kami ketika awal-awal
ditinggal Mom. Baik aku dan Dad sama-sama lebih banyak diam, merasa sangat
kehilangan sosok penghangat di rumah kami, juga tidak tahu caranya menjembatani
komunikasi di antara kami. Saat itu aku baru berumur sepuluh tahun, dan perlu
waktu yang panjang untukku menyadari bahwa selamanya aku tidak bisa mendengar
suara Mom—baik berupa celotehannya, dongeng tiap malamnya, gurauannya, atau
senandung nyanyiannya setiap kali kuminta.
Yang kulakukan
adalah banyak menangis dan mengurung diri. Aku enggan melakukan apa pun,
termasuk pergi ke sekolah. Rasanya tidak lagi sama dan kini lebih berat. Saat itu,
aku tidak peduli pada apa pun karena yang kuinginkan adalah aku ingin menyusul
Mom saja.
Tapi Dad—dengan
segala kekuatannya—akhirnya membuatku luluh dan membuka mata. Saat itu aku
menyadari, aku terlalu egois untuk berpikir bahwa hanya aku saja yang
kehilangan Mom. Padahal kalau aku mau berpikir lebih luas, sejak saat itu, setiap
kali menilik air muka Dad saat Mom menjadi topik pembicaraan kami, Dad-lah yang
terlihat lebih kehilangan. Bagi Dad, Mom tidak bisa digantikan oleh siapa pun.
Lalu Dad menyarankanku untuk mencoba banyak
kegiatan. Salah satunya mengambil kursus vokal dan bernyanyi. Aku tentu
menentang; suaraku tak sebagus Mom! Tapi saat itu Dad justru menggenggam
tanganku erat seolah menyalurkan keberanian dan rasa optimis miliknya dari sana
untukku. Genggaman itu yang kemudian selalu diberikannya kepadaku setiap kali aku
khawatir menghadapi apa-apa dalam perjalanan karierku; dari pertama kali
menjadi peserta lomba bernyanyi, pertama kali terlibat dalam konser, pertama
kali punya solo album, dan momen pertama kali lainnya. Keberanian Dad sedikit-banyak
sudah menular padaku, sehingga aku tumbuh sebagai gadis yang bersikap optimis
ketika menghadapi hal-hal baru.
Dad juga
menjadi saksi perjalanan hidupku; menjadi orang pertama yang bangga padaku atas
apa saja yang menjadi pencapaianku, juga orang pertama yang membesarkan hatiku
ketika keberuntungan sedang tidak berpihak padaku. Dad, dengan segala
kehebatannya, selalu menjadi kekuatan terbesarku.
Sampai ketika
umurku beranjak sembilan belas tahun. Sama seperti gadis lainnya, aku mulai
jatuh cinta. Dan bagiku, ini pertama kalinya. Aku pernah menyinggung lelaki itu
satu kali di hadapan Dad, tapi Dad kali itu tidak menggubrisku, tidak seperti
ketika aku sedang berceloteh hal-hal lainnya. Saat itu Dad hanya mendengarkan,
dengan air muka yang sulit kutebak.
Jadi aku memilih
untuk melupakan perasaanku dan meninggalkan lelaki itu. Umurku masih sembilan
belas, perjalanan karierku masih panjang. Dan aku hanya ingin melakukan hal-hal
yang membuat Dad tersenyum penuh antusias setiap kali aku menceritakannya.
Sampai suatu
hari, ketika aku sudah berumur dua puluh lima, lelaki bermata cokelat itu
datang dengan sorot mata penuh percaya dirinya. Saat itu karierku sedang
jatuh-jatuhnya dan aku kesulitan untuk mengontrol diri, apalagi untuk berkenalan
dengan orang baru yang sama sekali tak ada gunanya untukku. Tapi yang terjadi
adalah aku mendapatkan bentuk solusi yang tak pernah kupikirkan sebelumnya dari
lelaki itu, bonus dengan sengatan optimis yang ia jalarkan lewat tatapannya
padaku.
Semua mengalir
begitu saja sampai suatu hari saat makan malam Dad menanyakanku tentang dia. Aku
mengelak dan meyakinkan Dad bahwa di antara kami tidak ada apa-apa. Tapi saat
itu aku melupakan sesuatu; meyakinkan diriku sendiri juga mengingat bahwa tidak
ada yang bisa kusembunyikan dari Dad tentang hal apa pun. Dad menemukanku
ketika aku diam-diam memutar video konser lelaki itu, dan aku tidak bisa
menahan diri untuk tersenyum. Saat itu, dengan segala bentuk keterkejutan yang
membuatku bingung harus melakukan apa, Dad hanya berkata, “Wajahmu memerah,
Sayang.” Seraya tersenyum—yang lagi-lagi sulit kutebak apa artinya.
Ya, Dad. Mungkin
benar, aku memang jatuh cinta. Aku jatuh cinta pada lelaki bermata cokelat yang
setiap kali berada di sisinya, aku seperti menemukan sosok yang mirip dengan ayahku
sendiri.
“Aku pun
berharap begitu, Dad. Dia akan terus menyayangiku sampai kapan pun, sama
seperti Dad menyayangi Mom.” Aku tertawa. “Aku akan selalu menyayangi Dad, dan
mulai hari ini, aku juga akan selalu menyayanginya—seperti menyayangi diriku
sendiri.” Kuyakinkan Dad dari pupil mataku, bahwa Dad tidak akan kehilangan
siapa pun, justru bertambah seorang lelaki menjadi anggota baru di keluarga
kami. Lelaki yang mungkin suatu saat akan belajar banyak dari Dad untuk
menjadi sosok ayah yang selalu kukagumi.
Kali ini Dad
yang tersenyum. Dansa pertamaku akan segera berakhir, dan aku akan
melanjutkannya bersama lelaki bermata cokelat yang kini menjadi suamiku.
Dad, don’t worry.
From now on, I may have a prince. But you still be my king.
-AF
*tulisan ini disertakan dalam
tantangan #NulisBarengAlumni #KampusFiksi bertema Ayah*
Comments