Lelaki yang
tengah menghentikan sepeda motornya di salah satu pinggiran jalan raya itu
menatap nanar ke depan. Langit mulai menunjukkan tanda-tanda kegelapannya meski
jam masih menunjukkan pukul dua belas siang. Gerombolan angin berembus menyapa
kasar pori-pori punggung tangannya yang tidak dibungkus sarung tangan itu, dan
nyaris menerbangkan secarik kertas di sebelah tangan—kalau saja ia tidak kuat
menggenggamnya.
Di kertas
itu, tertulis sebaris alamat rumah, dan sebaris alamat sebuah taman pemakaman.
Sebenarnya,
ia tidak ingin berada di sini—menempuh jarak puluhan kilometer dari tempat
tinggalnya untuk mendatangi seseorang yang keberadaannya hanya bisa dilihat
dari gundukan tanah. Ia sendiri memang tidak berniat sama sekali untuk hadir sampai
ke sini—kalau saja temannya yang berambut gimbal itu tidak menyuruhnya nyaris
memaksa.
Ia masih
tidak menginginkan ada di sini. Karena bagaimanapun, ia tidak ada sangkut
pautnya dengan kematian gadis…, itu, tiga minggu yang lalu.
*
“Jadi, kamu
orangnya?!”
Itu kalimat
pertama yang ia dapatkan ketika menyebutkan nama di depan pemilik rumah—yang
alamatnya tertulis di secarik kertas yang ia genggam tadi; sepasang suami-istri
paruh baya. Sang istri langsung menyambarnya dengan kalimat tanya bernada
tinggi, sementara sang suami berusaha menenangkan istrinya—meski tatapan tajam
dan penuh menyelidik tidak lepas darinya.
“Lebih baik
kalau kamu tidak pernah ke sini sama sekali daripada datang tidak ada gunanya
begini!” desis sang istri paruh baya itu tadi, belum selesai melepaskan amarah.
“Ma….”
“Gunanya
orang ini apa, Pa?! Kedatangannya nggak akan bisa mengubah pikiran anak kita!
Nggak akan menyembuhkan sakit hatinya. Nggak akan menghidupkannya lagi!” Kali
ini sang istri berseru histeris. Mengabaikan sang suami yang masih berusaha
membuat suasana terkendali. “Kalau dia tidak pernah bertemu orang ini…” Sang
istri menunjuk kepada lelaki itu. “Maka tidak akan begini jadinya.”
Lelaki itu
bergeming. Rasanya ingin menghardik balik kalau saja ia tidak ingat dengan
siapa ia berhadapan. Ia ingin sekali bilang bahwa ia jengah terhadap perlakuan
putri mereka yang terlalu mengekangnya. Atau paling tidak ia ingin bilang kalau
ia menyerah dengan sifat pencemburu putri mereka yang membuat dirinya terasa
sulit bergerak. Atau sifat-sifat lain putri mereka yang menjadi alasan kuatnya
mengapa ia lebih baik menyelesaikan hubungan sebelum semuanya bergerak lebih
jauh.
Ia butuh
sebuah hubungan yang membebaskan. Dan itu tidak ia dapatkan ketika masih
bersama dengan putri mereka.
Sang istri
pemilik rumah ini masuk ke dalam rumah dan beberapa saat kemudian datang
membawa selembar kertas yang terlipat. Disodorkannya dengan kasar pada lelaki
itu—masih lengkap dengan kobaran api di matanya. “Kamu baca ini. Pergi ke
makamnya. Meskipun sebenarnya kamu sudah sangat terlambat untuk meminta maaf!”
Kalau saja
bukan hasil bujukan temannya yang berambut gimbal itu, ia tidak akan datang ke
sini—apalagi sampai rela dihardik oleh orang tua dari perempuan yang terlalu
dibesarkan dengan sifat manja, beserta khayalan-khayalan negeri dongengnya yang
kelewat batas. Sekali lagi, ini bukan salahnya. Apa pun yang bersangkutan
dengan perempuan itu setelah mereka berpisah—termasuk dengan akhir jalan hidup
perempuan itu, bukan lagi bagian dari tanggung jawabnya.
Ia hanya
ingin melakukan—apa yang kata temannya itu—harus lakukan. Itu saja.
*
Langit mulai
menurunkan hujan kecil-kecil sehingga bunyinya terdengar mengetuk helmnya.
Lelaki itu tidak ingin sejenak menepi, meskipun ia bisa memperkirakan bahwa
jarak menuju makam perempuan itu masih jauh. Lebih baik menerobos hujan,
baginya. Dan ia juga tidak masalah jika sampai pada pemakaman dalam keadaan
hujan. Ia ingat perempuan itu menyukai hujan, bunga mawar, baju-baju putri di
kerajaan—seperti dongeng-dongeng dari film yang pernah ditontonnya.
Kalau saja
panjangnya jarak di antara kita tidak mengalahkan besarnya egoku, mungkin yang
terjadi tidak seperti ini; kehilangan cara membuatmu bertahan untukku. Bunyi pesan dalam selembar kertas yang
terlipat tadi menggema di kepala lelaki itu. Tulisan perempuan itu, yang konon
katanya, ditulis sebelum perempuan itu pergi. Kalau saja aku tahu caranya
bertahan setelah berpisah darimu, mungkin aku tidak begini rapuh.
Pandangan
lelaki itu buyar. Entah karena kaca di helmnya semakin diguyur hujan atau
karena hujan itu sendiri mulai menyambangi matanya.
Kalau saja
aku ada kesempatan bertemu denganmu, akan kulakukan demi memperbaiki segalanya.
Aku tidak pernah berhenti berharap kau segera melihatku, lalu setuju untuk
bertemu, kemudian aku berjanji untuk memperbaiki kesalahanku dan memulai dengan
awal yang baru.
Saat itu,
bayangan pertengkaran-pertengkaran yang terjadi di akhir komunikasi mereka
sebelum berpisah, terserak—sementara bayangan perempuan itu menangis menyesal
seperti bunyi dalam suratnya bersatu secara utuh memenuhi isi kepala. Semuanya
tumpang tindih menguras emosinya. Lelaki itu masih ingat sebab dan bagaimana
mereka bertengkar sebelum berpisah, sama seperti ingatnya bagaimana ia tidak
ingin disalahkan dalam posisi itu. Perempuan itu terlalu banyak aturan, memang
benar. Tapi kemudian ia sadar, mungkin ia juga yang belum bisa meyakinkan
perempuan itu supaya percaya terhadap apa pun yang dilakukannya, supaya mereka
berdua berada dalam titik saling memberi kenyamanan.
Ini
pertama kalinya ia mendatangi makam perempuan itu, dan karena itu pula ia
mempercepat kemudi motornya. Mengabaikan hujan yang makin deras, atau tubuhnya
yang makin kedinginan, atau lampu lalu lintas berwarna merah yang menyala,
atau…, sebuah truk besar yang melaju cepat di hadapannya. Ia sendiri menjadi
lepas kendali. Hal yang terakhir ia dengar adalah bunyi decitan bersandingan
dengan bunyi benturan yang sama-sama keras. Tubuhnya sendiri terpelanting dan
terseret di aspal sehingga sulit bergerak.
Sementara
hal yang terakhir ia lihat adalah seorang perempuan bergaun putih, berjalan
pelan di sisi jalan besar dengan kehujanan, dengan beberapa tangkai mawar merah
yang digenggam di tangannya. Sementara beberapa kelopak merah di antaranya
tersebar, berserakan di sepanjang jalan.
*
-AF
*tulisan ini disertakan dalam
tantangan #NulisBarengAlumni #KampusFiksi bertema Hujan*
Comments