Segelas air
putih di hadapanmu tak kunjung kausentuh. Perutmu masih menolak diisi, katamu. Tapi
kekuatanmu untuk bercerita panjang, berulang-ulang, tentang konsep jatuh cinta
dan bunga-bunga dalam dirimu yang kaubilang tak akan layu, benar-benar membuat
siapa pun kagum. Katamu, kau rutin menyiraminya, memberinya pupuk, lalu memastikannya
tetap dan selamanya bisa hidup. Kau enggan bicara perkara gugur—atau kau memang
tak menginginkan hal itu?
Kau, dengan
bintang yang tak lepas pijarannya dari matamu, berkata bahwa jatuh cinta adalah
perkara dirimu semakin bisa merasakan hidup dari waktu ke waktu. Sesuatu yang
tak terlihat selalu memeluk dan memberi kehangatan untukmu. Mengukuhkan fisikmu,
melebarkan senyummu. Melupakanmu dari perkara bisa atau akan terjatuh, dan kau
masa bodoh akan hal itu. Kau mulai berpikir bahwa waktu yang semakin laju itu
bisa membeku. Lalu kau hanya ingat bahwa mimpi-mimpi semakin bisa dilangitkan,
rasa takut yang semakin berani kaulawan, dan keinginan yang tak tebersit
sebelumnya tumbuh bermekaran. Kau, dengan naifnya, bisa mempercayai bahwa jatuh
cinta menguatkanmu sejauh itu.
Jatuh cinta
adalah soal keyakinan, katamu. Kau yang pantang mempercayai jatuh cinta bisa
dibangun tanpa alasan, berseru lantang; bahwa alasan itu serupa dengan pupuk
yang akan menghidupi bunga. Semakin kau menemukan alasannya, semakin tumbuhlah
bungamu, dan begitulah caranya agar kau semakin hidup. Kau mengatakan ini
berulang-ulang, maka siapa pun bisa menyimpulkan bahwa kau bersungguh-sungguh
atas apa yang kau katakan.
Kau hanya berbicara
tentang bunga namun tidak menyebutkan jenisnya, sementara orang-orang di
sekitarmu bisa merasakan siratnya duri yang sebisa mungkin kau sembunyikan. Kau
yang selalu egois hanya ingin bungamu hidup, membuat pijar matamu bergerak
memangkas durinya agar sang bunga berdamai untuk bersatu dalam dirimu. Kau hanya
tidak tahu, bahwa keegoisanmu tidak sejalan dengan waktu. Duri-duri itu semakin
tumbuh sebanyak bungamu. Keduanya berebut memelukmu. Menantang egomu,
melemahkan kekuatanmu, mempertanyakan di mana letak pupuk-pupukmu yang
kauyakini dulu. Hingga pada akhirnya kau bertekuk lutut dan berbicara tentang
ketakutanmu; secermat apa pun kau merawat bungamu, pada akhirnya kau harus
melepaskannya bersama waktu. Kau harus lebih mengerti tentang definisi ingin
dan butuh. Kau, dan jatuh cintamu, tak lagi setara dengan rindu dan
mimpi-mimpimu.
Segelas
air putih tadi akhirnya kauseruput. Tak ada bedanya; penolakan terjadi lagi
pada pencernaanmu. Tapi hanya itu yang bisa kaulakukan untuk dirimu. Kau…,
hanya ingin sisa-sisa bunga dalam jiwamu tak redup.
*tulisan ini disertakan dalam
tantangan #NulisBarengAlumni #KampusFiksi bertema Perdamaian*
Comments