*rasanya
gatel buat nggak ceritain ini di sini.*
Jadi, sejak
mulai mengurus sidang 14 Oktober lalu, akhirnya aku bisa ujian skripsi tanggal
14 Desember kemarin. Iyaps, 2 bulan banget sejak masa-masa dapet ACC dari dosen
pembimbing. Selama itu, bolak-balik dari rumah ke kampus—which is,
Bekasi-Ciputat, sampai di kampus urus dan ikutin prosedural birokrasi baru yang
benar-benar ngalor-ngidul, lari ke sana-ke sini uber dosen & tanda tangan,
satu bulan di antaranya khusus TOAFL—berikut dengan nunggu hasilnya, ngadep
dosen ini-itu yang berakhir saat keluar ruangan mereka rasanya makan hati,
kebijakan orang TU yang nggak satu suara sama KaProdi dan Dekan, sempat nangis saat
satu minggu pasca pengurusan berkas di depan Kaprodi karena capek datang ke
kampus cuma dikerjain orang TU—plus ditambah kalimat nyelekit dari Bapak
Kaprodi yang aduh banget nusuknya, dan sederetan perasaan hopeless
lainnya yang sempat nempatin pada titik, “Udah lah, gue udah ACC ini. Terserah mau
sidang apa nggak deh!”
But still, untuk beberapa alasan; diri sendiri, orang
tua, dan orang-orang tersayang, rasanya punya kekuatan sendiri buat bergerak
sampai garis finish. Meski aslinya, udah kehabisan napas.
Terima kasih
untuk Allah SWT, orang tua—yang sabar banget meski mungkin anaknya yang satu
ini pulang dalam keadaan wajah mengerut, banyak pihak (and this post
dedicated to bunch of thanks of many—lovely—peoples) untuk semua support,
doa, hal-hal kecil yang ngademin hati meski lagi emosi-emosinya, much
stories to tell selama drama perskripsian ini (Skripsi kayaknya nggak afdol
kalau nggak drama, yes? :’)).
Untuk
teman-teman yang baik hatinya; Alia, yang telaten banget dari zaman
ngedit skripsi, tempat curhat banyak hal sekaligus yang ngegambarin alur
perskripsian, dunia pasca jadi sarjana, juga passion dan prioritas di masa
depan. Nuyuy, yang dari zaman ACC bareng-bareng, sampai berpikir bakalan
sidang bareng, ternyata ketahan gara-gara kebijakan TOAFL yang galaknya
ngalahin satpol PP =)) Finally we found our finish line, Nuy. Nikah
deh lo sana! =)) Chibi, yang ketemu di jalan pasca ACC dan berakhir
segeng sama aku dan Nuyuy dalam hal dunia per-TOAFL-an. Lele, yang
kosannya dijarah lalu dipakai buat gosip panjang sebelum TOAFL tentang
birokrasi kampus. Danty, yang keep follow up kabar dari zaman
berkas sama-sama ketahan di TU sampai ngadem-ngademin saat panik sebelum sidang.
Habibi, yang rajin nyaris tiap hari nanya, “Al, di
mana?” atau, “Al, hari ini lo ke kampus?”, lalu yang nungguin kalau dia udah
sampai duluan, tapi giliran aku yang sampai kampus duluan, dia malah bilang, “Subhanallah,
bisa cepet juga lo.” Siyal! =)) Yang dari awal udah rencana bakal
sidang bareng, terus sempet hopeless karena mikir salah satu dari kami
yang bakalan sidang dulu, sampai akhirnya ternyata berjalan sesuai rencana.
Cihuy! ;) Akbar, yang ngebantu banyak dalam drama per-TOAFL-an,
drama-drama di TU, keep contact tentang dosen penguji dan dapat hari apa
ujiannya, ketar-ketir di gedung auditorium pas lagi SAA, thank you so much, Pak
Ketu! A Nizar, master shifu-nya dunia shorof dan nahwu beserta
teman-temannya, yang selama weekend sebelum sidang rela di-tag dari
siang sampai malam buat belajar—meski yang terjadi adalah belajarnya 60%
sementara sisanya malah ketawa-ketiwi; ngomongin karya, film animasi,
gambar-gambar dan warna, program-program tv, impersonate dosen-dosen, masa-masa
kuliah di semester awal—meski juga, yang terjadi selanjutnya, dia yang lebih
ngerti skripsi aku dibanding aku sendiri, yang ngerasa semakin belajar, tuh
skripsi semakin kehilangan identitas. Doi kece parah emang! :’)
Juga untuk Adiba,
Faris Mujrim, Mustika, Teh Risa, Yayah, Farhany, Zaki, Hafiz, Ka Faris 2010,
Gladi BSI, Tansis, Mia, Furqon, Dita, Indah, Rahil, Icha—bunch of
thanksss to y’all, Guys! :*
Kalau
ditanya apa hal yang paling seru di sela-sela drama pertumpahan darah, air
mata, peluh, dan lemak-lemak (?), sebenarnya banyak! Ada banyak hal yang patut
disyukuri selama dua bulan ketahan ini; jadi ada bonding antara
teman-teman seangkatan, yang dulunya hanya sebatas sapa-menyapa di koridor,
sekarang jadi belajar bareng, saling support on every step of drama. Karena
kebetulan satu kloter sama cowok semua, dan waktu sidangnya dekat-dekatan, mau
nggak mau bareng; belajar, urus konsumsi, sasaran empuk kalau udah ada yang
keringetan karena grogi (mereka orangnya nyeleneh-nyeleneh, btw. Jadi bullyable
banget), coret-coret skripsi sendiri—dan skripsi temannya—pakai na’t-man’ut,
mudhaf-mudhaf ilaih, mubtada’ khobar. Paling lucu kalau para cowok nyeleneh
itu udah debat (biasanya ini Habibi sama Akbar) soal tarkib, lalu
ditengahi Nizar dengan gaya master shifu-nya dan mereka jadi manutan.
Some other
side, untuuuung nggak sekloter sama
cewek dalam hal ini. Nggak kebayang gimana dramanya di tengah panik gini. Meski
satu sisi, pengin ngejitak mereka satu-satu kalau jailnya kumat; kalau ditanya
apa, jawabnya apa. -_-
Di sebelah; Habibi, di depan; Nizar, di samping Nizar; Akbat. Behind the scene; lagi pada deg-degan H-1 sidang. |
*
*jump to cerita
sidang*
Setelah
dikasih tau Bapak Sekjur bakalan ujian hari apa dan siapa pengujinya, sejak
hari itu pula rasanya deg-degan nggak keruan, susah tidur, panik, takut
ini-itu, tegang, mules, kehilangan nafsu makan—yang berakibat makan seingatnya sekali.
Ada sensasi tersendiri selama ngerasain hal itu semua harus belajar juga buat
persiapan—meski yang terjadi adalah pause beberapa kali, “A Nizar,
deg-deganku kumat ini. Mari kita intermezzo!” Selanjutnya dia buka laptop, dan
buka beberapa aplikasi tentang animasi. Doi yang ngajar gitu kayaknya isi
kepalanya nggak rumit, atau mungkin karena doi master shifu itu inner
peace-nya kece ya?
Beruntung dosen
pengujiku super friendly. Pak Ulil sama Pak Bahmid—sempat bikin Akbar
envy masalah ini. =)) Keduanya asyik diajak ngobrol saat aku kasih surat buat
ketersediaan sebagai penguji. Pak Ulil bilang, “Santai aja, setega-teganya
dosen nggak bakalan kasih nilai jelek banget.” Sedangkan Pak Bahmid, begitu
beliau menyatakan ketersediaan, beliau nanya namaku, yang kemudian disusul pertanyaan
lanjutan, “Oh, kamu… anaknya Malik?”
Habibi di
belakang cekikikan.
Aku, dengan
berusaha se-cool mungkin, bilang, “Pak, itu Alfiyah ibnu Malik.” -_-
Lalu Pak
Bahmid tertawa. Candaannya profesor emang beda. Untung ngeh! =))
Besokannya,
beberapa jam sebelum sidang, kami bertemu lagi dan beliau nanya asalku dari
mana setelah lihat nama belakang. Lalu kami malah bicara soal Manado dan
makanan favorit kami… di kubikel Sek-Jur, sementara Bapak Sek-Jurnya justru ke
ruang sidang. Oke, topik makanan bisa-bisanya bikin ngedistrak, meski lawan
bicaraku adalah bapak profesor slash dosen penguji nanti. Okelah, anggap
aja gladi resik pra-munaqosah.
Di antara bapak penguji, bapak kaprodi, n sekprodi. |
Saat munaqosah,
aku ngerasa kehipnotis di bangku sidang; ngerasa nggak ngeh tadi ngomong apa,
ngejawab apa, sampai-sampai nyaris lewat setengah waktu baru sadar… ini
daritadi ngomong Bahasa Arab terus ya? Dan baru ngehnya begitu tenggorokan
ngerasa kering sendiri—mungkin karena banyak belibetnya. Mana lupa naroh air
botol di meja, rasanya mau cut dulu buat minum! =)) semuanya berasa
refleks karena sedari awal dibuka pakai Bahasa Arab, lalu keterusan.
“Kamu dari
pondok mana?” tanya Bapak Kaprodi—pakai Bahasa Arab, tentunya, begitu kami
kelar foto, dan aku dalam hati, duh, maata yamuutu deh gue. Pasti tadi
ngomong banyak yang salah. Bapaknya lupa kalau kami satu almamater, mending
ngaku apa nggak?
Tapi aku
milih jujur, kusebutkan asal sekolahku dulu.
Dan ternyata,
obrolan soal sekolah itu nggak berhenti di situ. Begitu aku antar konsumsi ke
ruangan beliau, beliau bertanya lagi.
“Kamu di
sana, jurusan apa?”
“M.A.K, Pak.”
Serius, di sini rasanya masih deg-degan. Kemungkinan yang buruk-buruk udah
bersarang di kepala. Ini gue dilulusin nggak nih? :((
“Suka jadi
juara waktu di sana?”
Eu… aku lupa
definisi juara itu apa. Sampai akhirnya ngeh, itu refers-nya ke ranking
sekolah. “Nggak, Pak. Naik-turun gitu. Hehehe.”
“Kamu udah
bagus bahasanya, kalau bisa tathawwur (dikembangkan), biar lebih bagus
lagi.” Lalu bapaknya mengucapkan kalimat yang bermakna serupa, diulang-ulang.
Sementara aku,
di kepalaku, sedang sibuk nyiapin twist. *efek kebayang dua bulan lalu
ngadep beliau endingnya nangis, sekarang malah jadi siapin diri.*
Tapi ternyata
nggak, akhir pertemuan kami adalah kalimat motivasi setelah kalimat pujian dari
si Bapak, yang aku masih ngeh-nggak ngeh bisa mendengar itu langsung, untukku,
dari beliau. Ya Allah, Pak, maafkaaan… mahasiswimu malah suuzhon terus. :’( Itu
rasanya pas keluar dari ruangan Kaprodi, mau nari For the First Time In
Forever-nya Princess Anna Frozen di sepanjang koridor lantai 5—untung inget
umur. :’)
Ngelewatin hari
itu rasanya masih mimpi. Niat nggak mau ditonton siapa pun pas sidang, ternyata
banyak teman-teman yang dateng, sampai ada yang nunggu di luar ruangan karena
nggak ada bangku. Dapat banyak surprise dari banyak orang yang tak
terduga—paling pecah dibawain balon S.S, sih. Padahal aku kan aslinya S.Hum.
=)) Hari itu, yang awalnya mikir, berlalu kayak apa aja deh yang penting lulus,
jadi hari yang bikin super terharu. One of my favourite days everrr! :’)
Ciwi-ciwi sains pelaku pembawa balon S.S. Pas difoto jadinya 22. Anggep aja sesuai umur lah yaaaa =)) |
*
“Al, gue
mau nangis. Usaha kita selama dua bulan terbayar juga,”
chat Habibi, sehari setelah sidang, yang tentu aja pakai emot bercucuran air
mata.
Karena yang
chat itu dia, ide jailku muncul, “Air mata lo udah keluar belom? Kalo udah
fotoin ke gue sini.”
“Belom.”
Lalu emotnya menyeringai. “Emang lo nggak sedih apa? Aaahhh wanita tidak berperasaan. Cowok
aja berperasaan.”
Aku ngakak,
meski rasanya mau ngejitak orang itu kalau ketemu!
Honestly, I do. Saat sampai rumah, liat gunungan kertas revisian,
print-print-an gagal, coret-coretan dosen mana yang harus diperbaiki,
rasanya baper sendiri. Dalam hati, “I did it.” Masih nggak percaya bisa
ngelewatin ini juga. Saatnya tarik napas, dan semangat revisian! ;))
-AF
Comments