Beberapa
hari lalu, di dalam kolom komentar salah sebuah post, TanGi aka Tante Anggi aka
Tante Yenita request buat nulis kehidupan pesantren gitu. Karena tema
hari ini kayaknya pas buat ceritain masa lalu *uhuk*, maka akan kukerucutkan ke
dalam sepertiga pengalamanku di masa-masa sekolah dulu ya; waktu jadi anak Pramuka!
Sebenarnya,
aku nggak konsisten sedari awal masuk asrama lalu jadi anak Pramuka. Awalnya
malah ikut Tapak Suci, salah satu cabang olahraga bela diri. Sekitar beberapa
bulan di masa-masa kelas 1 SMP dan baru beberapa kali latihan, goyah ikut
Pramuka karena rata-rata teman sekamar menggeluti ekskul tersebut. Lalu pindah.
Satu tahun ikut Pasukan Inti di Pramuka sampai kenaikan kelas dari kelas 2 SMP
ke kelas 3, pindah lagi karena ikut atraksi Tapak Suci buat salah satu acara
besar, lalu mulai menggeluti lagi bidang Tapak Suci sampai ikut Ujian Kenaikan
Tingkat dan dapat sabuk melati satu. Begitu rasa penasaran kelar dan struktur
kepengurusan berubah (yang mau nggak mau adaptasi sama pengurus baru), mulai
curi-curi pandang sama info seleksi masuk Pasukan Koordinasi di ekskul Pramuka.
Fyi, Pasukan Koordinasi ini adalah pasukan yang lebih kece dan bergengsi
daripada Pasukan Inti; yang dikirim ke mana-mana kalau ikut lomba, yang paling
dilirik buat Jamboree dari tingkat nasional sampai internasional, yang jadi
ketua regu kalau ada kegiatan berkemah, yang secara pribadi (kalau nggak lagi
Pramuka-pun) paling iconic karena karakter-karakternya menonjol…
pokoknya kece deh.
Jadi, bisa
ketebak lanjutannya. Aku—yang penasaran ini—langsung daftar buat ikut seleksi
Pasukan Koordinasi.
Seleksi
dimulai dari hal-hal yang sederhana—dan banyak tesnya. Mulai dari harus
menghafal sejarah Boden Powell, menghafal Tri Satya dan Dasa Darma di luar
kepala, tangkas menangkap kode Semaphore dan Morse—beserta kode sandi-sandi
lainnya, tes kepekaan; melihat, menghidu, mendengar, lalu aku lupa apa lagi…
sampai yang kuingat ditutup dengan Jerit Malam.
Iya, Jerit
Malam. Para peserta diberi rute dari sini-ke sini (which is melewati 2
lorong kamar mandi asrama yang konon paling nyeremin), tanpa membawa alat
penerang dan cuma bawa sabun batang—plz, aku juga nggak ngerti, apa
hantu yang akan ditemui itu bakalan sebau apa sampai harus bawa sabun, dan
untungnya aku nggak nemuin hantu benerannya!
Hantu
bohongannya? Banyak! Si kakak pengurus yang muncul di balik tembok, pakai
mukena, beraroma bedak tabur—efek kebanyakan dandan di muka, rambut diurai ke
mana-mana, gincu yang melewati batas garis bibir—yang kalau ditanya pun, paling
dia juga nggak tau lagi impersonate hantu apa.
Hasil tes
PasKor itu aku ternyata gagal… dan terlempar ke pasukan Perkhutsy, yang akan atraksi
di acara perkemahan yang namanya Khutbatul Arsy. Dari situ aku melewati proses
banyak; mulai dari dipanggil kakak panitia perkemahan dan dikerjain abis-abisan
sebelum diumumkan terpilih jadi pasukan yang akan atraksi, lalu mengorbankan
waktu liburan untuk latihan di sekolah, latihan; berderap, teriak-teriak,
loncat besi api, undak-undakan, tiarap melewati lorong berkawat yang di
bawahnya lumpur basah—yang diakhiri dari beberapa hari sebelum masuk bumi
perkemahan sampai hari atraksinya aku kena gejala thypus. Jadi, aku tetap
atraksi tapi nggak bisa senyum sama sekali lantaran lidah udah pahit banget,
terus khawatir undak-undakan jadi roboh karena badanku nggak fit, khawatir
tampil nggak maksimal (karena kakak panitianya mengancam; kalau atraksinya jelek
akan ada hukuman fisik seperti sit up, push up, yang jumlahnya
berlipat) dan aku udah nggak sanggup, jadi aku tetap tampil yang malamnya
kemudian aku dilarikan dari bumi perkemahan ke sekolah, lalu sekalian telepon
orang tua untuk pulang ke rumah.
Itu pas
masih SMP. Jadi dari situ yang namanya outbound, wide game, camping, jalan
jauh, udah kayak makanan sehari-hari. Pas masuk SMA, kegiatannya lebih besar
lagi.
Kelas satu
SMA, kami menghadapi dua acara besar dan nggak tahu berapa acara kecil—aku nggak
ingat. Acara besarnya, ada yang namanya tes Bantara—kayak tes Ramu, Rakit,
Terap, menuju Penegak ada yang namanya tes Bantara. Tesnya kayak sebelumnya,
memenuhi buku SKU pakai tanda tangan pengurus Pramuka, lalu tes lapangannya
jerit malam (lagi) dengan rute yang tiga kali lipat lebih jauh. Kali ini nggak
hanya melewati asrama doang, tapi juga melewati kelas dan sekolah! Kalau waktu
SMP peserta jerit malamnya yang mau ikut aja, pas SMA harus seangkatan.
Dengan rute
yang lebih jauh itu, kebayang dong, hantu bohongannya makin berkembang. Hantu lokal
ada, hantu interlokal macam vampire, ratu Belanda, dan teman-temannya juga ada.
Bahkan dapat guest star, temanku ada yang dikerjain sama kakak hantu
bohongan, disuruh masuk ke lemari sebuah kelas kosong, yang kemudian dia ketemu
genderuwo beneran di sana. *matik, gue nulis ini malem-malem* -_-
Event
kedua, kami ikut Cadika, yang dimulai ke Bu-Per dengan berjalan kaki entah
berapa kilometer. Kali ini cuma kemah doang, juga harus diikuti seangkatan,
tapi se-pu-luh hari. Berkaca dari pengalaman Perkhutsy yang waktu aku sakit, kali
ini nggak boleh telat makan meski waktu yang dikasih buat istirahat ngajak
ribut juga. Masalah kedua, kami masak sendiri perkelompok (yang juga pertenda)
dengan peralatan masak seadanya banget, dengan makanan seotodidak banget. Jadi yang
masak itu sesuai dengan jadwal piketnya buat jaga tenda, juga sekalian membuat
makanan. Di saat capek-capeknya latihan dan maunya balik ke tenda buat makanan
yang jadi, syukur-syukur kalau ketemu nasi yang nggak malpractice dimasaknya.
Lalu, semakin
jadi kakak kelas, kami dipercaya buat jadi panitia acara besar tentang kepramukaan
di sekolah. Semacam tradisi turun temurun gitu, kalau udah kelas segini,
maka nanti satu angkatan tanpa terkecuali megang acara ini. Lalu kalau udah
jadi panitia, siap-siap pulang sekolah ribet sendiri. Buat nge-cat,
gotong-gotong triplek sama kursi, bawa-bawa
map buat minta tanda tangan guru, liburan sekolah terpaksa dipotong buat
mendewakan si acara besar, mikirin dresscode… blablabla.
Sekarang, yang
ada tinggal kangennya aja. Udah lima tahun lebih berlalu, dan ada rasa kangen
sama seragam cokelat yang satu itu ketika buka lemari (Iya, masih ada. Dan
yes, one of the reason why I love scout because the uniform :p). Yang nggak
tahu kapan dipakai lagi, dan yang nggak tahu masih muat apa nggak karena sejak I
took off the uniform, aku belum
pernah pakai lagi setelahnya.
Jadi, ini
sebagian kecil dari kenang-kenangan semasa sekolah dulu yang kuceritakan. Nanti
kalau ada momennya lagi, atau lagi kepengen flashback, aku ceritain lagi
yang lainnya. *lalu semuanya bubar jalan* =))
-AF
Comments