Kembali
berusaha continue post di sini, demi menuntaskan rasa kepo—gimana rasanya
post setiap hari. Kali ini baru banget nulis habis pulang dari kampus.
Challenge hari kedua ini judulnya tentang someone
told me about myself that I never forgot. Kalau dipikir-pikir, ada
banyaaak. *halah* tapi ya gitu, begitu diminta pick one, atau kira-kira
pilih mana yang paling membekas, jadinya yang ada di pikiran pada bubar jalan.
Jadi,
sebelum benar-benar bubar, ada baiknya ditulis dulu di sini. B-)
Sekitar pertengahan
tahun 2012 atau menjelang 2013—aku lupa tepatnya kapan. Saat itu, aku masih
baru setahun lebih menjadi mahasiswi, seseorang pernah bilang padaku kurang
lebih begini, “Kamu kan anak manja, kalau apa-apa kan gampang. Tinggal minta
orang tua.” Sebuah kalimat yang hmm, kalau ada yang bisa dilakukan,
pencet Ctrl+A+del deh khusus buat kalimat itu. Biar nggak keinget-inget lagi sampai
sekarang. Kenapa? For some reasons, I keep asking to myself—and my fellow
friends too—about that statement; apa yang salah dari seorang pelajar yang notabene-nya
masih disubsidi orang tua?
Oh ya, disclaimer
dulu, yang melontarkan kalimat tadi bukan dari keluarga (apalagi orang
tua), saudara, sahabat-sahabat dekat yang tau bagaimana latar belakangku,
orang-orang terpercaya—bukan! Kalimat itu juga nggak dilontarkan sekali dua
kali di depanku langsung, entah beberapa kali (yang tentu saja dalam keadaan
sengaja), sekalipun aku pernah menyatakan keberatan untuk mendengarnya. Dengan kata
lain, kalimat itu membuatku terganggu.
Tapi orang
itu nggak peduli. Beberapa kali setelah itu ia tetap melontarkan kalimat
serupa, yang entah apa tujuannya—dalam konteks lagi ngetes aku. Buat apa coba?
=)
Jadi benar
ya apa kata mahfudzhot dulu; annaasu a’daa’un ma jahiluu (manusia itu
musuh terhadap hal-hal yang tak ia tahu).
Kenapa aku
keberatan?
Meski satu
sisi mungkin kalimat itu ada benarnya; iya, aku manja. (yah, daripada orang tua
sendiri dimanjain anak tetangga kan ya…), karena memanfaatkan posisi sebagai
anak cewek satu-satunya, juga karena sebagai anak sulung yang cuma berdua sama
nyokap sebagai cewek di rumah (karena itu, lemari nyokap jadi sering kubajak
kalau aku udah bosen sama baju-baju di lemari—kebiasaan anak asrama yang nggak
ilang =)). Dan kalau aplikasi dari bentuk manjanya itu sendiri adalah; kalau
sakit yang tebersit pertama kali ya orang tua, bukan dokter atau obat-obat,
masih punya kebiasaan cipika-cipiki sama orang tua sebelum ke mana pun pergi…,
sampai di sini, aku tetap taruh checklist di list-list tadi, dan nggak
merasa keberatan dengan aku yang begini, meski orang itu—atau sejenisnya—mengernyitkan
dahi.
Salah satu
hal yang diminta orang tua sejak dulu, dan aku berusaha langsung
mengaplikasikan banyak hal (karena udah kebanyakan kepo) ketika ke luar pondok
adalah; belajar apa pun yang kamu mau. Jadi saat itu aku ikut les bahasa
sana-sini, ikut komunitas menulis secara rutin, belajar menulis. Oh satu hal
lagi yang masih backstreet; aku pernah ikut les bahasa Korea, dengan
ngumpulin uang jajan sendiri, demi paling nggak bisa ngerti dikit-dikit kalau
nonton drama. XD
Beruntung
aku bukan punya orang tua yang bilang; kamu harus kerja ini, gaji segini, kerja
di sini, jabatanmu harus ini. Nggak kebanyang bagaimana aku mati terkaparnya
kalau gitu.
Saat kalimat
itu aku dengar, aku masih dalam keadaan hidup serutin jam kuliah dan les
berjalan. Belum tahu bagaimana cara menghasilkan uang, belum tahu bagaimana
cara menulis yang benar—waktu itu, bisa selesai nulis tanpa mengerut dibaca
orang aja udah prestasi. Cuma tau; belajar, baca buku yang ingin dibaca, nonton
drama biar bahasa Koreanya lebih improved, keep talking pakai
bahasa Arab biar nggak belibet, latihan nulis juga. Dan orang itu melontarkan
kalimat mahadahsyatnya tadi berulang-ulang seolah menekankan bahwa, “kamu tuh
makhluk sepele, yang nggak se-strong aku.” Seolah juga, bahwa kami
terlahir dari rahim yang sama, dan terjadi kesalahan pola asuh yang memberatkan
dia.
Kalau ada
yang bertanya apa yang terjadi antara kami selanjutnya adalah, di titik itu (dan juga karena beberapa faktor pendukung lainnya), akhirnya
aku menyerah (menjadi temannya). Mungkin ada baiknya kami punya jalan
masing-masing. Sehingga dengan itu, aku juga bisa menjaga diriku sendiri dari
perasaan bersalah atau disalah-salahkan dari sebuah masalah yang aku juga belum
paham di mana salahnya, juga untuknya; agar punya teman yang semoga kelak tidak
sesentimentil aku menghadapi statement serupa yang sering dikeluarkannya.
Aamiin.
-AF
Comments
*baru sekali beli di situ maksudnya, di tempat lain mah sering. wkwk