Berbicara
tentang wisdom, hal yang pertama kali tebersit adalah masa-masa duduk di
kelas akhir zaman pondok dulu. Which is, kelas 3 SMA.
Salah
seorang ustadz, yang merupakan guru Akhlak kami dulu, sering sekali memberi
nasihat-nasihat sederhana, dari sudut pandang yang antimainstream, yang
spesifik, juga nusuk. Entah bagaimana nasihat-nasihat beliau masih terngiang di
kepala sampai sekarang. Entah apakah nasihat-nasihat seperti ini juga terngiang
di kepala teman-teman sekelas yang lain. Tapi yang jelas, ustadz tersebut
termasuk guru favoritku karena cara berpikirnya dan caranya untuk masuk
ke pola pikir anak-anak SMA begitu sederhana dan membekas.
Salah satu
nasihat beliau yang masih aku ingat, “Di dunia ini, Allah menciptakan semuanya
berpasang-pasangan. Semuanya tertulis di dalam Al-Qur’an. Dan semua yang
berpasang-pasangan itu nggak hanya sebatas; siang-malam, perempuan-laki-laki,
suka-duka, tapi juga; jika ada seseorang yang menyayangi kita, maka juga ada
orang yang membenci kita. Jika ada orang yang memuji kita, maka akan juga ada
orang yang mencemooh kita. Jika ada orang yang ingin mengangkat kita, maka juga
ada orang yang akan menjerumuskan kita.”
Ucapan yang
sederhana, tapi sering kali luput dalam ingatan. Terkikis ego yang menginginkan
sekali semua orang akan menyukai kita, dan melupakan hukum alam yang satu itu.
Sebuah permainan dunia; sebuah sifat yang tidak bisa terpisahkan dari sifat
lawannya. Padahal, kalau mau menilai lebih jeli, sebaik apa pun yang seseorang
lakukan pada orang lain, pasti ada yang nggak suka (dan itu menjadi urusannya).
Begitu juga sebaliknya; seburuk apa pun perangai seseorang pada orang lain,
pasti ada yang suka (dan itu juga menjadi urusannya). Yang terpenting, kita
sudah melakukan yang terbaik untuk diri sendiri, juga berbuat baik pada orang
lain. Terlepas apa implikasinya nanti, bukan wilayah kita lagi.
“Salah satu
tanda bahwa kita masih lekat pada sifat keduniawian kita adalah; jika seseorang
memuji kita, maka kita terlena atas pujiannya. Jika seseorang mencemooh kita,
kita balas mencemoohnya.”
Kurang lebih
begitu yang beliau ucapkan saat kami belajar tokoh-tokoh sufi di mata pelajaran
Akhlak. Sebuah kalimat yang kemungkinan besar bakalan jadi PR jangka panjang
buatku pribadi. Mengundang tanda tanya sederhana yang ditujukan pada diri
sendiri; ingin hidup seperti apa? Apa tujuan berbuat baik selama ini agar
dipuji orang? Apa tujuan hidup selama ini adalah meraup pujian orang
sebanyak-banyaknya maka tak boleh satu pun orang mencemooh?
Lalu
teringat tentang cerita Nabi Muhammad yang notabene-nya kekasih Allah,
dijamin surga sejak masih di dunia, yang namanya sudah tertulis di surga sejak
zaman nabi Adam, yang menjadi panutan umat muslim sampai sekarang, perjalanan
berdakwahnya sama sekali tidak mulus. Beliau dilempari batu, kotoran, dari
sesama manusia yang menolak kehadiran beliau—meski tujuan beliau baik. Sebuah
contoh kecil yang menjadi titik balik ketika sedang mengalami hal-hal yang
tidak mengenakkan meski bertujuan baik. Untuk tetap sabar, tetap berjuang,
mencontoh beliau dalam menjaga akhlaknya dari perangai buruk.
Maka,
jelaslah waktu kami-kami bertanya pada ustadz perihal sifat dan sikap
orang-orang sufi di masa lalu yang di luar logika, seperti misalnya, “Kok bisa
Rabi’ah Al-adawiyyah tidak menikah sama sekali selama hidupnya meski ada lelaki
(yang begitu mapan) melamar? Bagaimana caranya dia mengabdikan seumur hidupnya
pada Tuhan? Lalu apakah sifat-sifat keduniawiannya sudah hilang sama sekali?
Bagaimana caranya?”
Dan ustadz
menjawab, “Ini ibaratnya, seorang anak TK yang ingin menguasai materi-materi
sekolahnya profesor. Untuk tahap ini, kita masih tertinggal jauh.” Karena,
ternyata ada banyak sifat-sifat samawi yang tidak bisa dicerna oleh
logika manusia biasa.
Banyak yang
beliau kenalkan pada kami, seperti misalnya kalimat, “من عرف
نفسه فقد عرف ربه”
yang dibaca, “man ‘arafa nafsahu faqad ‘araafa rabbahu.” Yang artinya, “barang
siapa yang mengenal dirinya, maka mengenal Tuhannya.”—yang aku lupa ini
diucapkan oleh tokoh sufi siapa. Lalu tentang prinsip-prinsip hidup sederhana,
tentang introspeksi diri, tentang amalan-amalan yang harus dijaga kuantitas
serta kualitasnya.
Semoga Allah
senantiasa menjaga beliau dengan rahmat-Nya, dan melindungi beliau dengan
kebaikan-kebaikan-Nya.
-AF
Comments
*merenung sejenak >.<