Kalau bicara
soal ini di timing seperti ini, udah pasti aku cerita tentang drama
skripsi. Eh, sebenarnya, aku pernah nulisin sebagiannya di sini, ding… dan iya,
tulisan sepanjang itu benar-benar cuma sebagian dari drama perskripsian yang
panjang.
Kemarin,
saat dibaca si Habibi, dia protes, “Ah, kurang banyak blog lo. Belom diceritain
drama TOAFL lo.” Dan sebenarnya, yang ketinggalan diceritain selama itu ada
banyak. Dari; di tengah jalan dapat kabar sahabat seperjuangan meninggal, dosen
pembimbing sakit sebulan, perpustakaan tutup sebulan, sidang ditutup sebulan,
begitu udah ACC—ketahan gara-gara drama TOAFL 2 bulan. Iya, bener, du-a-bu-lan.
Dan yang mau
aku ceritain di sini adalah yang prosesnya paling panjang itu, yang du-a-bu-lan
itu.
Setelah mengalami
satu kali anniversary ngerjain skripsi, lalu kemudian dapat tanda tangan
dosen pembimbing buat bisa diajukan sidang, hal yang dilakukan pertama kali
adalah nanya teman-teman pendahulu tentang bagaimana prosedur sidang dan
apa-apa aja yang mesti disiapkan. Waktu itu, aku ketemu Yayah, yang konon doi
mau wisuda bulan November, dan doi nge-support aku banget supaya punya
wisuda-mates biar nggak berdua doang sama si Rissa.
Saat itu
prosedur yang dia arahkan cuma sebatas nunjukin berkas ke bapak Sek-Jur, lalu
biar beliau yang memproses datanya dan siapa penguji kita nantinya. Begitu aku
merampungkan semua berkas, hal yang (baru aku tau itu) berubah terjadi; segala
berkas harus masuk data TU dan dari situ kita dapat tanda tangan Kasubbag-nya
tentang kelayakan kita bisa ujian apa nggak.
Dari situ
juga, aku baru tahu peraturan baru; anak Sastra Arab baru bisa ujian skripsi
kalau TOAFL-nya mencapai min 500, TOEFL-nya min 450. Peraturan ini awalnya baru
sepik-sepiknya Pak Wadek, belum ada hitam di atas putih waktu itu. Peraturan
baru banget berubah sejak dua minggu dari tanggal aku mengajukan berkas sidang.
Dulu, peraturannya; kalau belum sampai ke angka segitu, maksimal tes untuk anak
BSA; 3 kali TOEFL, 5 kali TOAFL. Sekarang, kalau belum mencapai angka minimal,
harus mengajukan surat disposisi.
Sekali mengajukan
disposisi, hasilnya harus ujian TOAFL ulang. Nunggu 2 minggu sampai dapat
hasil. Lalu ngadu lagi sama Pak SekJur, curhat layaknya pas awal-awal ngeluh
soal peraturan baru, lalu mau nggak mau tes lagi. Dari situ ketemu teman yang
membawa ilham, “Lo kenal si ini, kan? Belajar sama dia aja gih. Dia
bagus TOAFL-nya.” Lalu tanpa ba-bi-bu, begitu sampai rumah, aku langsung nge-chat
dia demi pendongkrakkan skor.
Tes ketujuh
(mau nggak mau) dilaksanakan. Nunggu lagi sampai 2 minggu untuk dapat hasil
skor. Untuk tes yang kali ini, aku nggak sendirian, ditemani Habibi, dan kami
berdua belajar dari teman yang sama. Karena itu, hasil yang ketujuh ini aku
minta tolong dia sekalian untuk bisa dititipin hasil tesku barengan dengan
hasilnya. Begitu dapat skor, kami yang awalnya masih 300 sekian, menjadi; dia
naik sampai 413, aku melejit sampai 522.
Dapat skor
semelejit itu rasanya kayak mimpi, yang berarti ada dua kemungkinan; aku lulus,
lalu bisa sidang. Dan aku sidang, bisa jadi sasaran empuk buat dibantai kalau
bahasa Arabku a-eu-a-eu. Antara rezeki tapi bisa jadi bencana. Rezeki yang
destruktif. =))
Aku pikir,
drama berakhir begitu dapat skor melewati batas minimal. Tapi kenyataannya,
begitu aku melampirkan berkas, malah justru mengundang tatapan nggak disukai
oleh bapak-bapak TU saat merekap skor. Beliau mengungkapkan keheranannya pada
ibu-ibu kubikel di sebelah, seberangnya, di sekitarnya, perihal skor yang
melejit itu. Bikin aku tersinggung, hey, ini gue yang capek belajar demi
peraturan baru yang sh*t abis gini, dan lo bisa-bisanya ngerendahin cuma atas
kecurigaan yang nggak berdasar?
Dan kebayang
apa yang terjadi selanjutnya? Disuruh tes lagi. Hari itu juga aku
ngeluh-ngadu-curhat dan ngadep sama banyak orang, termasuk bapak SekJur dan Pak
Wadek (yang bikin peraturannya itu). Pak Wadek dengan ketusnya menyuruh aku ke
TU lagi—yang bikin aku ogah banget ngadep mereka-mereka lagi. Sementara Pak
SekJur menyarankan untuk menghadap Pak Dekan langsung seraya membawa bukti. Aku
yang keukeuh nggak mau melakukan tes yang mengorbankan
waktu-energi-materi demi peraturan yang nggak jelas ini, jelas ikut opsi kedua.
Di tengah
menunggu Pak Dekan dari selesai rapatnya bareng teman-teman lain di depan
ruangannya, KaSubbag TU keluar dari ruang dekanat dan nanya kami ada perlu apa—mungkin
karena aku dan teman-teman nunggunya juga ngemper dan nggak enak banget jadi
pemandangan ruang dekanat yang cool gitu =)), lalu aku menjelaskan
perihal skor TOAFL dan aku bilang aku mau ketemu Pak Dekan buat membantu kasus
ini. Si ibu KasubBag langsung mengambil alih buat menangani ini, lalu
bolak-balik ruangan Pak Wadek (yang itu) demi memperoleh tanda tangan
dan memo supaya aku bisa ikut ujian. Bisa dapat tanda tangan gitu aja? In
your dreams. Sebelumnya jelas aku disalah-salahin; seharusnya kasus begini
nggak sampai ke tangan Pak Dekan, karena tadi aku dirujuk ke TU.
Kalau kata
Cinta AADC, sih, “Basi! Madingnya udah mau terbit!”
Tapi demi
proses yang nggak makin rumit, jadi aku iya-iya-in aja. Biar lebih hemat
energi.
Jadi, bisa
dibilang dapat memo boleh sidang itu bagian awal hasil dari sekelumit proses. Ibaratnya,
dalam proses melahirkan, ini masih pembukaan pertama dari 2 bulan masa
kontraksi. Rasanya capek, tapi udah lumayan bisa senyum karena akhirnya ada
titik cerah. Kebayang dong, di saat H-1 aku sidang dan sowan ke dosen
pembimbing, yang si ibu bilang pertama kali, “eh? Kamu udah lulus belum, sih? Udah
ibu tanda tangan belum, sih?”
Si ibu
bahkan udah lupa kalau anak bimbingannya ini udah di-ACC dari 2 bulan lalu, dan
baru dapat jadwal sidang besoknya.
Lalu kalimat
kedua yang si ibu lontarkan, “Jadi kamu sampai kurus kering gini gara-gara
urusin itu? Ya ampuuuun,” si ibu berdecak-decak, geleng-geleng, lalu
melanjutkan, “kamu nggak nulis novel dulu, kan?”
Pertama,
mudah-mudahan ibunya nggak tau kalo mahasiswinya ini gampang ge-er dibilang
kurusan. Jadi pas direspons kayak begitu, jelas aja dalam hati aku ketawa (eh,
apa udah ketawa beneran ya? Lupa). Kedua, prestasi banget ini du-a-bu-lan bener
bolak-balik kampus dari rumah demi urusin ini. Sumthin’ that I never
imagined before.
Jadi, itu
deh (sebagian sesuatu dari drama sidang yang tertinggal di post sebelumnya) yang
mau aku ceritain. Proses sidangnya sendiri udah aku ceritain di post
sebelumnya, dan bisa dibaca di sana. Nggak tahu cerita ini nyambung apa nggak
dengan tema hari ini, tapi dengan aku ceritain ini, rasanya lebih lega. Setidaknya
bisa jadi referensi kemudian hari kalau ada yang nanya waktu masa-masa skripsi,
bagian tersulit ada di mana, ngalamin drama kayak apa aja, atau siapa-siapa aja
yang jadi sutradara drama itu. This post lil bit longer, dan semoga
nggak bosen buat dibacanya.
-AF
Comments
nanti kalo meet up gue ceritain gimana nyebelinnya doi. yang gue ceritain di sini mah belum seberapaaaaa =))