Masih empat
hari lagi, kalau tulisan ini kelar, sisanya tinggal tiga hari lagi… sementara
duo Capricorn—si TanGi dan Heru—udah selesai menyusul Tansis. Ini kapan aku closure-nyaaa?
#heh!
Sebenarnya
ini ditulis dalam keadaan kepala masih rada berat, padahal udah dibawa tidur. Mau
main ponsel, tapi kondisinya lagi drop dan lagi di-charge total. Jadilah
melarikan diri ke sini buat nulis. Kali aja jadi semakin rileks….
Ngomong-ngomong
soal lesson you’ve learn the hard way, pas banget berpapasan sama satu
masalah besar yang baru aja aku sadari kemarin ini; KTP-ku udah kedaluwarsa sejak
2016 kemarin, padahal Pilkada sebentar lagi! Kaget? Nggak, sih. Sebenarnya cuma
ngebayangin bagaimana rempongnya buat urusin lagi. Belum lagi kalau-kalau harus
dikomenin kenapa baru sekarang sadarnya. Ya abis gimana, kebutuhan KTP suka
nggak urgent-urgent amat. Kalaupun KTP-ku masih aktif, tetap aja nggak
terdaftar karena masih dalam bentuk laminating, bukan e-KTP. Jadi boro-boro
juga terdaftar seumur hidup.
Buat yang
masih bingung kenapa KTP-ku masih berlaminating, jadi begini cerita (drama)-nya…
Jadi awalnya,
kayak yang lain-lain pas lagi berbondong-bondong urusin e-KTP, aku juga ikut. Dan
saat itu juga, aku punya. Itu hanya bertahan beberapa lama… sampai negara api
menyerang. Ini yang namanya ‘negara api’, beneran api. Bahasa eksplisitnya,
dompetku terbakar.
Cadas, kan?
=))
Peristiwa dompet
terbakar ini pasti menimbulkan pertanyaan. Jangankan buat yang baca tulisan
ini, buat aku yang—sebenarnya udah terjadi beberapa tahun lalu—masih aja kepo
kenapa bisa. Misterius juga kejadiannya, men!
Ini terjadinya
pas aku lagi KKN. Jadi ceritanya, sehari sebelum ada program seminar buat
ibu-ibu, aku dan seorang temanku bertugas melengkapi alat dan bahan ke beberapa
toko. Saat itu dompet masih kupegang, aku masih jajan sambil beli-beli bahan. Begitu
selesai dan aku kembali sama temanku ke penginapan cewek-cewek dulu, aku juga
masih pegang. Setelah itu nggak begitu ingat karena malamnya kami harus
pengajian di salah satu rumah tetua desa, yang dilanjutkan menyiapkan beberapa
bahan dan alat seminar buat besok.
Antara malam
itu juga atau besoknya, aku mulai sadar karena mau beli sesuatu tapi dompet
nggak ketemu di mana-mana. Obrak-abrik barang sana-sini, cari sampai pelosok
rumah penginapan barangkali keselip, nggak ketemu. Nggak mungkin juga nyasar ke
tempat cowok karena aku sama sekali nggak ke penginapan cowok dalam waktu-waktu
dekat. Berbagai persepsi muncul sampai akhirnya harus menekan persepsi slash
asumsi itu selama hari seminar karena pikiran jadi bercabang. Jadi aku
memilih memfokuskan acara itu dulu, di samping teman-teman juga fokusnya ke
sana dan bersedia mem-back up kalau aku butuh sesuatu terkait uang.
Setelah selesai
seminar, barang-barang otomatis berantakan dan semua bersarang di penginapan
cewek, semakin susah dicari. Sampai sekitar dua hari sejak aku sadar bahwa
dompet itu nggak ada di mana-mana, belum juga kelihatan tandanya. Salah seorang
temanku—yang kita sebut saja si Ijun—di KKN menawarkan diri untuk bertanya
temannya yang konon bisa ‘melihat’ buat dikasih petunjuk, mungkin karena udah
lama juga ngebingungin teman sekelompok soal ini. Dari temannya si Ijun itu,
dapat clue-nya, “Dompet itu ada di tempat hijau. Rada gelap. Kalau bisa,
dicarinya besok pagi sebelum siang. Kalau nggak, bisa nggak selamat.” Dan dia
mengucapkan begitu saat malam-malam. Kebayang, saat itu juga aku nggak bisa
tidur.
Besok pagi,
ditemani oleh salah seorang teman yang lain, si Nenek, langsung melakukan penjelajahan
ke berbagai tempat yang kami kerucutkan ke rumput-rumput dekat rumah. Asumsi kami
dari clue temannya Ijun itu; ada di rumput-rumput tempat berkumpulnya
sampah dan yang dimaksud lenyap itu kalau sampah-sampah itu harus dibuang ke
tempat yang lebih jauh lagi, atau harus dibakar. Jadi semakin pagi semakin
baik. Dan di pagi itu juga, rasanya udah kayak pemulung bermuka bantal yang
korek-korek sampah… tapi nggak ada hasil.
Sempat putus
asa, mungkin karena terlalu percaya sama orang yang konon punya ‘kelebihan’ dan
sempat ragu kalau mempercayainya itu hal yang benar apa nggak. Tapi ya namanya
juga ikhtiar….
Sekitar jam
sembilan menjelang siang, dua teman cowok datang ke penginapan cewek (karena
penginapan cewek kerap lebih dijadikan basecamp rapat atau sekadar makan
menjelang brunch sampai malam), dan dua-duanya memasang wajah yang sulit
didefinisikan; antara getir tapi memaksa senyum, tapi kayak ada yang mau
disampaikan, dan semua ke arahku. Kata salah satu di antaranya, “Jangan kaget,
ya….” Lalu memberi satu bungkus plastik hitam yang isinya sisa-sisa fisik
dompetku yang gosong, koin-koin yang terpaksa berubah warna, nggak ada kartu-kartu,
nggak ada uang kertas yang tersisa. Saat menerima itu rasanya sekujur tubuh
gemetaran—terutama lutut—dan langsung menghampiri salah satu teman cewek
terdekat, buat nangis, tapi sambil ngomel-ngomel karena masih unbelievable.
Cowok-cowok yang tadi memberi tahu terlihat mukanya serba salah, nggak enakan,
mewajarkan kalau aku menangis, sambil menceritakan kronologinya versi mereka. Ternyata
ada di tumpukan sampah dekat penginapan mereka. Tentang bagaimana caranya atau
kenapa bisa sampai ke sana padahal aku lagi nggak berkunjung ke tempat cowok,
itu juga wallahu a’lam. Tapi satu sisi aku juga lega karena fisiknya
ketahuan jadi aku nggak penasaran ada di mananya. Yang—terpaksa harus—lenyap saat
itu; uang tunai yang jumlahnya cukup lumayan buat makan dan jajan sehari—tapi untungnya
nggak banyak, foto, para kartu ATM-KTP-KTM-kartu rumah sakit sama kartu apa lagiii
gitu. ATM udah aku blokir dan pengurusannya harus ke Ciputat (karena selain banknya
di Ciputat, kantor polisi buat mengurus surat kehilangannya juga bersebelahan
beberapa ratus meter) sementara KTP
harus diurus di Bekasi.
Buat jadi
pembelajaran, mengurus hal-hal yang berkaitan dengan surat-surat negara itu
memakan waktunya ampun-ampunan ya! =)) nggak KTP, nggak surat kehilangan, nggak
ATM. Waktu aku bikin KTP itu, kebetulan aku juga lagi butuh buat beli tiket
kereta. Saat itu e-KTP masih simpang siur keberlanjutannya, jadi warga yang mau
bikin KTP lagi dikembalikan ke bentuk laminating. Waktu itu kalau nggak salah
butuh tiga hari sampai aku pegang KTP-nya. Selang beberapa waktu, barulah
dicetuskan e-KTP seumur hidup.
Rasanya bête.
Tapi ya gimana ya… e-KTP sama KTP biasa cuma beda di fisik sih, jadi nggak bête-bete
amat. Coba e-KTP bisa juga digunain buat memanfaatkan fasilitas negara lebih
mudah. Kayak misalnya; baca buku sepuasnya di PNRI, gratis main di MONAS bagian
atas sebelum emasnya, punya rumah di TMII, belanja sepuasnya tanpa bikin
melarat di GI, PI, MOI… #heh
Selesai! Sampai
jumpa di tiga postingan terakhirnya….
-AF
Comments
tapi emng yaa ngurus2 kartu yg berhubungan dengan pemerintah itu nightmare bangett.
iya bener, mana dibutuhkannya sebentar lagi. Hvft!