Saturday, March 31, 2012

Rintikan Hujan Terakhir

Lelaki normal manapun akan memberi kesan yang sama pada gadis itu pada pertama kali melihatnya. Cantik. Lalu deretan pujian lainnya yang menegaskan dan hampir menutupi kekurangan gadis itu ketika mulai mengenalnya dan mencari tahu tentangnya. Cerdas, alim, salehah dan membuat lelaki manapun berharap dapat memiliki atau sekedar menjadi teman dekatnya.
Setidaknya, itulah yang ada di pikiran Rama pada Tika setelah pertemuan mereka yang berawal dari beberapa bulan terakhir dan membawa kedekatan hingga saat ini. Kedekatan itu seharusnya membuatnya bersyukur, bukan? Karena bagaimanapun gadis itu membuat hari-harinya jauh lebih baik dan tentunya membuat lusinan lelaki yang lain menatap iri padanya. Bukannya membiarkan gadis itu pergi tak ingin melihatnya seperti ini.
Tangan kanan Rama mencengkram setir sementara tangan kirinya memencet tombol-tombol di ponselnya. Sederet angka tertera di layar ponselnya, angka yang sudah dihafalnya di luar kepala. Tentu saja sudah dicoba untuk menghubunginya beberapa kali, namun operator ponsel selalu mengatakan bahwa pemilik ponsel itu sedang sibuk. Benarkah sedang sibuk? Ia sendiri tidak yakin dengan gagasan itu. Karena mungkin lebih tepatnya gadis itu tidak ingin menjawab teleponnya.
Matanya menatap datar ke depan sementara otaknya bekerja keras menyusun kata-kata yang tepat untuk dijadikan alasan. Ia berharap ada sedikit pencerahan untuk pikirannya agar bisa memberikan alasan yang logis sehingga membuat gadis itu percaya padanya. Mengingat tatapan gadis itu tadi yang benar-benar tidak bersahabat itu benar-benar membuatnya bersalah. Sangat berbeda dengan tatapan biasanya ataupun tatapan saat pertama kali mereka memulai percakapan.
Ia tersenyum getir ketika mengingat saat pertama kali takdir mempertemukannya dengan gadis itu. Gadis itu datang menghampirinya dan memanggil namanya. Kejadian yang tidak mungkin terlupakan dalam memori Rama.
“RAMA!!” seru gadis itu sambil menepuk kaca jendela mobilnya dan terpaksa membuatnya berhenti mengendarai. Ia keluar dari mobilnya dan mendapati seorang gadis berkerudung dengan sorot mata memohon.
“Tika? Kenapa?” tanyanya keheranan.
“Aku tahu aku pasti sangat mengganggumu, tapi aku mohon bantuanmu,” lalu gadis yang dipanggil Tika itu mengeluarkan secarik kertas dari tasnya, “kau bisa mengantarku ke tempat ini? Aku harus bertemu dengan kakakku disana,”
Rama membaca barisan huruf di carikan kertas itu, sebuah alamat yang tertulis disana kebetulan tidak jauh dari tujuannya. Lalu ia menatap gadis yang masih dengan tatapan memohon itu sambil mengulas senyum seramah-ramahnya. “Tidak masalah, kebetulan aku ingin melewati jalan yang sama,” katanya sambil melangkah ke pintu penumpang depan seraya membuka pintunya dan mempersilahkan Tika masuk. Dengan cepat Tika masuk ke dalam mobil mengingat hari itu langit sedang tidak bersahabat. Siapapun bisa berpendapat bahwa hujan deras kemungkinan besar akan mengguyur kota ini.
Setelah menduduki kursi pengemudi dan memasang sabuk pengaman, Rama langsung mengendarai mobilnya keluar area parkiran kampus mereka.
“Aku minta maaf lagi kalau aku benar-benar mengganggumu,” gumam Tika membuka percakapan di antara mereka.
Rama menoleh sekilas ke arah Tika yang duduk di sampingnya sebelum ia menatap fokus ke depan, “tidak apa-apa, santai saja. Aku sama sekali tidak keberatan,” sahutnya pada gadis di sebelahnya dengan sikap setenang mungkin.
Kalau ia boleh jujur, sebenarnya ia tentu merasa sangat senang bisa membantu gadis berkerudung yang menjadi pusat perhatian teman-temannya selama ini. Sama seperti mahasiswa yang lain, ia juga berharap bisa menjadi sekadar teman yang baik untuk gadis ini. Namun, nyalinya yang kecil menghalangi segalanya sehingga ia tidak punya keberanian untuk berkomunikasi dengan Tika, apalagi bermimpi untuk bisa menjadi seseorang yang penting bagi gadis itu. Dan sekarang, gadis itu datang sendiri meminta bantuannya. Kesempatan bagus, dan tidak mungkin ia menolaknya, bukan?
“Sudah sampai,” gumam Rama pelan ketika mobilnya berhenti di depan rumah kecil. Ia sendiri tidak sadar selama perjalanan tidak mengeluarkan suara sama sekali, sibuk dengan degup jantungnya yang tidak keruan. Dalam hati ia merasa bodoh, seharusnya ia menggunakan kesempatan ini untuk berkomunikasi dengan Tika.
Namun tidak ada reaksi dari gadis itu, membuat Rama menoleh dan menatap Tika yang memiringkan kepalanya ke kiri sementara kedua matanya tertutup rapat. Tidurkah ia? Dalam suasana dingin seperti ini, tidur memang alternatif terbaik. Karena hujan deras sudah mengguyur kota ini.
Rama tersenyum kecil setelah menyadari bahwa ia sudah lama menatap Tika. Karena selama ia mengenal Tika, belum pernah ia menatapnya sedekat ini. Pelan-pelan ia memundurkan posisinya supaya tidak menimbulkan kecurigaan, lalu menepuk bahu Tika dan memanggil namanya pelan.
Gadis itu pelan-pelan bergerak, mengusap matanya lalu menatap sekeliling, “Sudah sampai ya? Aduuuh maaf aku tertidur,” ucapnya bersalah.
Rama tersenyum kecil, “Tidak apa-apa. Oh ya, kau bisa gunakan jaketku, di luar hujan deras, nanti kau kedinginan,” dalam hati ia tahu, tindakannya sungguh pasaran. Namun ia tidak ingin melihat gadis di sampingnya ini menggigil kedinginan lalu jatuh sakit.
Tika buru-buru menggeleng, “Tidak perlu, sungguh!” lalu gadis itu merogoh tasnya dan mengeluarkan sesuatu. Payung. “Tenang saja, aku tidak akan kehujanan,” elaknya sambil tersenyum.
Meskipun Tika sudah menolak, tak urung Rama mengambil jaketnya dan melampirkannya ke atas pundak gadis itu, “Jangan sungkan, pakai saja.”
Tika tersenyum dan menerima jaket itu, “Terima kasih, secepat mungkin akan kukembalikan,” katanya sambil membuka pintu. Lalu ia membuka payungnya dan keluar dari mobil itu.
Ia tidak pernah menyangka sebelumnya, awal bertemu dengan gadis itu membuat sesuatu yang tak berani diimpikannya berubah menjadi kenyataan.
Mereka menjadi dekat. Siapapun bisa menyimpulkan bahwa kedekatan mereka bukan sekadar sahabat biasa. Hal itu bisa dilihat dari cara mereka memandang satu sama lain, bentuk perhatian yang diberikan, bahkan panggilan khusus yang mereka buat.
Dan tentu saja Rama memanfaatkan kedekatan mereka untuk mengutarakan perasaannya pada Tika, berharap sinyal positif yang selama ini gadis itu berikan padanya adalah semata-mata karena gadis itu memiliki perasaan yang sama dengannya. Berharap Tika menerimanya dan dengan begitu ia berjanji untuk tidak menyakitinya.
Beberapa hari setelah hari pengungkapannya, gadis itu memberikan jawaban. Tika  menerima perasaan Rama dan membuat Rama terkesima tak percaya. Tidak percaya bahwa tidak ada lagi hari-hari dimana ia hanya mengagumi gadis ini secara sepihak, tidak ada lagi pertanyaan-pertanyaan tentang perasaan Tika padanya yang belakangan ini mendominasi pikirannya, tidak ada lagi rasa takut ketika melihat lelaki lain yang menjadi pesaing baginya untuk mendapatkan Tika. Dalam hati ia berjanji akan melindungi dan menyayangi Tika dengan seluruh jiwa raganya dan ia juga berjanji untuk tidak membuat gadis ini pergi.
Beberapa bulan kemudian, Tika meminta Rama untuk bertemu dengan kedua orang tuanya. Rama setuju. Dan pada hari itu pulalah, ia mengunjungi rumah Tika selepas mereka selesai kuliah. Orang tua Tika menyambutnya dengan ramah, ia dipersilahkan untuk memakan jamuan yang ada dan sempat mengobrol dengan keduanya selama beberapa jam sebelum ia meninggalkan rumah Tika.
Secara tersirat ia menyimpulkan bahwa ayah Tika berharap bahwa ia serius menjalani hubungan dengan putrinya. Dengan optimis, Rama menyanggupinya tanpa ragu.
Selanjutnya adalah hari yang sulit baginya untuk menghubungi Tika. Perbedaan jadwal kuliah semester baru membuat mereka sulit bertemu, ditambah lagi jadwal kegiatannya yang tak kalah padat. Namun sebisa mungkin ia tidak benar-benar kehilangan kontak dengan gadis itu. Lalu ia bertemu dengan Noni, seorang gadis berkerudung modis yang menjadi teman barunya di kegiatan yang baru-baru ini diikutinya.
“Mau pulang bersama?” tawar Noni padanya ketika ia sedang membereskan peralatannya ke dalam tas.
Ia menatap gadis itu, “terima kasih, Noni. Kebetulan aku bawa mobil jadi bisa pulang sendiri.” Tolaknya halus.
“Oh, kau bawa mobil?” tanyanya sambil menatap Rama, “kalau begitu bagaimana kalau kau mengantarku pulang? Hari ini aku tidak bawa kendaraan. Boleh ya?” pintanya dengan nada memohon.
Berbeda dengan Tika, gadis berkerudung modis di depannya ini lebih ekspresif dan sangat percaya diri. Belakangan ini ia selalu pergi bersama-sama dengan Rama meskipun sebenarnya ia tahu Rama sudah memiliki Tika. Awalnya Rama terus menolak tawarannya, tapi akhir-akhir ini penolakannya sudah berkurang, bahkan terkadang Rama suka mengajaknya ke berbagai tempat.
Rama mengulas senyum setelah membereskan peralatannya. Ia sudah tahu dari berbagai sumber bahwa Noni menyukainya. Awalnya ia keberatan dengan segala tawaran yang diberikan oleh gadis itu, namun lama-kelamaan ia tidak lagi menolak. Setidaknya ia bisa memperlakukan gadis itu sebagai teman dekatnya, atau teman untuk sekadar berbagi cerita. Karena di matanya, Noni adalah gadis unik. Dan mungkin di luar perkiraannya, kedekatan mereka selama ini bisa memutarbalikkan perasaan meskipun ia berusaha menolaknya.
Rama menatap Noni yang masih di depannya, “baiklah,” jawabnya. Noni tersenyum penuh kemenangan dan segera menggamit tangan Rama, sama seperti yang biasa ia lakukan belakangan ini. Rama sama sekali tidak menolak, bahkan ia menyambut tangan gadis itu dan membawanya ke mobil.
“Hari ini kau langsung pulang atau ingin jalan-jalan dulu?” tanya Noni begitu mobil sudah melaju meninggalkan area kampus.
“Sepertinya langsung pulang.”
“Begitukah?” Noni mengerucutkan bibirnya dan menengok ke arah Rama sambil tersenyum, “padahal tadinya kupikir kau ingin jalan-jalan dulu,”
Rama menengok ke arah Noni sebentar lalu mengalihkan lagi ke arah depan, “Oh ya? Kau ada rencana jalan-jalan kemana?”
Noni menyebutkan sebuah mall dengan mata berbinar-binar, berharap Rama menuruti keinginannya. Dan senyum kemenangannya kembali mengembang ketika Rama memberhentikan mobilnya tepat di lantai dasar mall yang ia sebutkan tadi.
“Kita kemana dulu ya? Kau ada ide?” tanya  Noni riang sambil mengayunkankan tangan kanannya yang menggenggam tangan kiri Rama.
“Hmm.. bagaimana kalau kita makan dulu? Aku lapar..” usul Rama sambil mengulas senyumnya.
“Oke,” Noni mengangguk, “Kalau begitu aku yang pilih tempat,”
Mereka baru saja ingin berbelok ke arah foodcourt, namun langkah Rama terhenti seolah terpaku di tempatnya. Matanya terbelalak ketika menatap pasang mata yang lain di seberangnya dengan pandangan terluka. Meskipun pemilik pasang mata itu tidak menggurat apapun di wajahnya, namun Rama yakin benar, ada bara api yang menyala di bola mata itu. Kemudian pemilik pasang mata itu berlari menghindar sebelum ia sempat menghampirinya.
Tika, lirihnya. Sebagian pikirannya merasa ia sudah terjebak, namun pikiran lain mengatakan ia justru menikmati dan tidak masalah kalau terperosok ke dalamnya.
***
Berhenti meneleponku, besok temui aku di Café biasa.
Rama menghela napas dan menghembuskannya dengan keras setelah membaca pesan itu. Baiklah, ia akan berusaha bersabar menurut kata Tika untuk menjelaskan semuanya besok.
***
Entah sudah berapa lama hujan di luar mulai menderas, ia tidak tahu. Atau yang lebih tepatnya lagi, ia tidak ingin tahu. Karena semenjak langit mendung dan hujan belum turun, ia sudah duduk di depan gadis ini dan belum menjelaskan apapun. Terdiam dan sibuk menyusun kata-kata juga mengendalikan emosinya yang meluap.
Tika mendengus, “baiklah, kalau begitu aku yang mulai bicara,” gumamnya sambil melirik ke arah Rama yang masih bergeming.
“Maaf kalau aku tidak memberitahumu tentang ini. Sebelumnya aku masih menerka pemikiran orang tuaku yang secara tersirat menolakmu tanpa sebab, untuk itu aku berusaha mencari tahu alasannya dengan caraku, tanpa berkomunikasi denganmu.”
Rama masih bergeming, namun dari sorot matanya terlihat ia menunggu kelanjutan penuturan Tika. Sayangnya perhatiannya teralihkan dan terkejut ketika seseorang bergabung dengan mereka dan dengan santai menarik bangku kosong yang ada lalu duduk di atasnya.
“Maaf aku datang terlambat.” sahutnya
“Noni?” gumamnya lebih pada diri sendiri. Ia tidak percaya dengan penglihatannya, dan pikirannya buntu untuk menebak apapun.
Mendadak suasana menjadi dingin, sampai sebuah suara memecahkan, “Rama, bisa kulanjutkan penuturanku?” tanya Tika padanya.
Rama mengangguk lemah. Tak sadar ia menatap kedua gadis di depannya secara bergantian. Berusaha menemukan sesuatu.
“Aku sangat bersyukur pada Allah karena Ia memberitahukan semuanya sebelum kita melangkah lebih jauh, meskipun jawaban yang Ia berikan sama sekali bukan jawaban yang kumau..”
“Tika,” sela Rama tak sabar, “tolong jelaskan, aku benar-benar tidak mengerti!” serunya meninggi.
Tika mengangguk,  “singkat cerita, aku yang mengatur semuanya. Noni adalah sepupuku sekaligus tempat curhatku. Ia tidak ingin terus-terusan melihatku memendam semuanya, maka ia bersedia membantuku. Sekaligus ia ingin tahu seperti apa sifat calon suamiku.”
“Oh ya, Rama,” sela Noni menambahkan, “aku yang berusaha keras untuk memaksa Tika tidak menemuimu dan meminimalisir komunikasi kalian. Tentu saja karena aku tidak ingin laki-laki manapun hanya menjadikannya boneka. Oh ya, aku juga minta maaf selama ini. Semua ungkapanku, tentu saja kau bisa menyimpulkannya kalau itu bukan sungguhan, bukan?”
Rama benar-benar tercengang, tidak percaya. Ia tidak bisa berkata-kata apapun, seakan mulutnya terkunci. Pikirannya benar-benar menolak kenyataan ini. Kenyataan bahwa ia terperangkap dalam jebakan dan ia bermain di dalamnya. Ia tidak tahu siapa yang jadi tersangka disini. Tidak ada yang salah dan bersikap egois disini menurutnya.
Sampai akhirnya, di detik berikutnya ia baru menyadari bahwa ia-lah tersangkanya!
“Aku sudah menjelaskan semuanya. Ada yang ingin kaujelaskan? Kalau ada, aku bersedia mendengarkannya.” Ujar Tika bijak.
Berkali-kali otaknya berpikir keras, menemukan pencerahan. Meskipun ia sudah berusaha puluhan kali mencoba menyusun kalimat yang tepat, namun lidahnya yang kelu menggagalkan semuanya. Ia mendengus keras, kesal, hingga akhirnya ia hanya mampu melirihkan kata maaf dengan memalingkan muka.
Dari ujung manik matanya, ia menangkap Tika yang tersenyum. Senyum yang ia yakini adalah senyum bijak yang dibuatnya sebisa mungkin. Karena dari sorot mata gadis itu terlihat guratan kekecewaan, juga keterlukaan. Dan tampaknya kali ini matanya ingin mengeluarkan air mata yang sebenarnya sudah ditahannya.
“Terima kasih, Rama.” Ucap Tika. “Terima kasih untuk selama ini,” lalu tetesan bening itupun jatuh sebelum ia sempat menyekanya.
Rama tahu meskipun Tika tidak mengucapkannya secara langsung bahwa kata-katanya yang tadi adalah ucapan perpisahan. Maka dari itu, ia tidak mencoba menghalangi apapun yang ingin dilakukan gadis itu. Bahkan ketika gadis itu dan sepupunya beranjak dari bangkunya, keluar café dan meninggalkannya.
Hari itu, tepat di rintikan terakhir hujan di luar café, ia melihat bayangan kedua gadis itu. Dan sekaligus sebagai rintikan hujan terakhir setelah ribuan rintikan hujan yang pernah ia lewati bersama gadisnya.

No comments: