Wednesday, May 15, 2013

CERPEN: GONE AND DONE


 

Tentu saja aku tidak setuju untuk mengikuti lomba Fisika antar sekolah ini. Salah satunya adalah, ketidaksetujuanku terhadap guru pembimbingku nanti adalah seorang alumni dari SMA Bumi Pertiwi, yang beberapa tahun terakhir menjadi lawan kami. Bagaimana bisa aku setuju, sementara guru pembimbingku nanti berasal dari sekolah lawan yang biasa menyebabkan berita di penjuru kota, bahwa sekolah kami adalah sarangnya pelajar yang sering terlibat tawuran? Bagaimana jika nanti seandainya mereka melakukan hal serupa ketika lomba berlangsung? Dalam hal apapun, posisi kami tetaplah sebagai saingan. Lalu pihak sekolah masih tetap ingin menjadikan bagian dari mereka sebagai guru pembimbingku dalam hal ini? Aku benar-benar tak habis pikir…
Sayangnya, sekarang aku berada di depan guru pembimbingku ini. Aku telah terdaftar sebagai peserta lomba Fisika antarsekolah, dan secara langsung berhadapan dengan SMA Bumi Pertiwi sebagai lawan terkuat kami. Tidak ada lagi celah bagiku untuk keluar dari kompetisi ini.
Namanya Randi, seorang alumni SMA Bumi Pertiwi dua tahun lalu yang memiliki prestasi gemilang dalam bidang Fisika, seorang mahasiswa jurusan Fisika di sebuah universitas ternama. Ya, sebenarnya banyak info yang harusnya kutahu tentangnya saat ia memperkenalkan dirinya di depanku. Namun aku sama sekali tak peduli apapun tentangnya.
Dia menatapku dan memberikan lembar-lembar soal di tangannya padaku sambil tersenyum, “Sekarang kerjain yang sudah Kakak tandai ya. Gampang kok! Asalkan kamu pakai rumus yang Kakak ajarkan tadi.”
Aku melihat lembaran-lembaran itu dan menghitung jumlah nomer yang ia tandai. Dua puluh nomer! Ck. Bagaimana mungkin ia begitu tega menyuruhku mengerjakan soal ini, sementara aku telah mengerjakan lima puluh soal analisis sebelumnya? Benar-benar tak berperasaan untuk kepalaku yang hampir mendidih ini!
Sepintas bayangan-bayangan temanku berkeliaran, membuatku teringat akan kejadian kemarin siang saat bel istirahat berbunyi. Dimana aku dan Selvi -teman sebangkuku- masih duduk di bangku kami. Tiba-tiba Fedi, sahabatku, menghampiri kami dan bertanya, “Eh gimana sama guru pembimbing lo? Baik-baik aja kan?”
Aku mengernyitkan dahi, “Maksudnya?”
“Nggak. Umm.. maksud gue, kalo dia macem-macem jangan segan-segan buat lapor ke gue.”
Aku masih bingung, lalu mencegat langkah Fedi dan menuntun penjelasan darinya.
Fedi tersenyum dan menepuk pundakku, “Gini, si Randi itu dulunya pentolan Bumi Pertiwi, juga provokator di sekolahnya. Jadi kalo misalnya dia kelihatan mau macem-macem ke lo, jangan ragu buat lapor ke gue. Biar gue sama yang lain cari tindakan. Tapi sekarang kita percaya sama lo untuk semuanya. Lo pasti menang nanti dan bisa ngembaliin nama baik sekolah.”
Aku terpaku di tempatku berdiri. Sebenarnya aku sudah tahu lama bahwa sekolah kami tidak bersahabat baik dengan SMA Bumi Pertiwi. Tapi aku tidak menyangka bahwa beberapa hari belakangan ini, aku sedang berhadapan dengan peran utama dalam musuh bebuyutan kami.
Fedi kembali menepuk pundakku, “Lo gak usah khawatir, sekarang lo fokus aja untuk lomba. Kita pasti berhasil.” Katanya optimis.
***
Sesekali aku melihat Kak Randi, sambil membandingkan sosoknya dengan kata Fedi kemarin. Sebenarnya seperti apapun dirinya, aku tidak peduli. Toh, aku tidak pernah bersikap ramah padanya sejak pertemuan pertama kami. Bertolak belakang dengannya yang selalu ramah dan tersenyum setiap berhadapan denganku, sama sekali tidak mencerminkan bahwa ia adalah pentolan yang sering menyerang sekolah kami dulu.
“Sudah selesai?” tanya Kak Randi sambil melihat pada kertas soalku yang baru terisi lima soal. Lalu melihat wajahku yang sama sekali terlihat tak bersahabat.
Ah, ingin sekali kuutarakan padanya bahwa aku penat dengan semua ini. Mencecarnya habis-habisan bahwa aku membenci keadaan ini. Aku harus membawa piala kemenangan sekolahku, demi mengembalikan nama baik sekolah kami yang sempat hancur sebagian karena ulahnya. Lalu memforsir hampir seluruh tenagaku untuk menang, padahal hal ini tak pernah kulakukan pada lomba apapun sebelumnya.
Lalu dia tersenyum seakan mengetahui isi pikiranku. Matanya yang teduh disertai senyum optimisnya membuat pikiran negatifku tentangnya meleleh seketika. Sampai-sampai imajinasiku menganggap bahwa aku adalah manusia bersayap yang bisa terbang akan hal ini. Hatiku gelisah, mungkinkah ini pertanda bahwa aku tengah berbunga-bunga?
***
 “Akhirnya kita nemuin lo juga!”
Aku menoleh pada seseorang yang memanggilku dari arah belakang, sambil tersenyum yakin pada mereka bahwa kita bisa menang. Lomba berjalan dengan baik, dan aku perlu berterima kasih pada Kak Randi akan hal itu. Tapi kini sosoknya tak kunjung terlihat, di mana dia?
 “Eh Vir, beberapa teman kita nunggu kamu di sekolah lho, buat syukuran dan berdoa sama-sama. Yuk ke sana.” Selvi menarik tanganku menuju mobil milik sekolah yang terparkir di halaman gedung lomba. Aku sebisa mungkin untuk tetap tersenyum di depan mereka, meskipun sama sekali tidak bertemu Kak Randi. Aku berharap bisa menemuinya lagi saat pengumuman pemenang lomba nanti.
***
Senyum bahagia disertai pelukan dari teman-teman akhirnya menyambutku ketika aku memeluk piala dan sertifikat juara satu. Kami berhasil mendapat juara satu, dan aku akan diikutkan dalam lomba Fisika tahap selanjutnya. Suasana haru biru seketika menghampiri kami pada pengumuman yang membanggakan ini.
Tiba-tiba seorang bapak berkemeja batik menghampiri kami dan bersalaman dengan kepala sekolah kami, “Selamat atas kemenangan sekolah Bapak. Kami turut senang.”
“Terima kasih, Pak. Bagaimana dengan hasil lomba SMA Bumi Pertiwi?”
Aku terkejut ketika mendengar SMA Bumi Pertiwi. Tanpa kudengar lebih dulu jawaban sang kepala sekolah, aku segera berlari mencari rombongan sekolah tersebut setelah menitipkan piala dan sertifikat pada Selvi. Aku harus menemukan mereka… aku harus menemukan Kak Randi!
“Nama lo Vira ya?”
Aku menengok, menghadap pada seseorang yang memanggilku sambil mengatur napasku yang terengah-engah. Indah, si perwakilan dari Bumi Pertiwi berjalan menghampiriku dengan membawa piala di dekapannya. Sekilas aku membaca tulisan yang tertera di sana, SMA Bumi Pertiwi mendapat juara dua.
“Kak Randi nitip sesuatu buat lo…”
Aku tersentak, “Sekarang dia di mana?”
“Dia gak ngasih tau lo?” tanya Indah sambil merogoh saku kemejanya, lalu memberikan sepucuk surat dengan amplop berwarna biru padaku. “Beberapa hari yang lalu dia berangkat ke Australia untuk pertukaran pelajar sekaligus ngelanjutin studi Fisikanya.”
Aku menerima surat itu dengan perasaan yang campur aduk. Bagaimana mungkin beberapa hari ini aku memikirkannya, sementara ia sama sekali tidak memperdulikanku? Bahkan sekadar berbagi kabar baik untukku juga tak dilakukannya. Tanganku yang bergemetar mencoba membuka amplop biru tersebut.
“Eh Vir, gue nggak punya banyak waktu, selamat ya atas juara satunya. Lo beruntung dapat guru pembimbing kayak dia.” Indah menepuk pundakku sebelum akhirnya meninggalkanku sendirian di tempatku berdiri.
Setelah menghela napasku, kubuka amplop dan surat yang tertulis dengan tulisan tangannya.
Hai Vira…
Selamat ya atas kemenangannya, Kakak ikut bangga! Sebenarnya Kakak sudah tahu lebih awal, tapi Kakak pikir lebih baik kamu tahu sendiri pada waktunya…
Satu hal yang menyenangkan ketika Kakak tau kamu menang; itu sama artinya dengan kamu membawa nama baik sekolah dan menyatukan sekolah kita lagi. Jadi di saat kamu terlihat mulai lelah menghadapi semua ini, Kakak berusaha bertahan untuk meyakinkanmu bahwa kamu bisa. Dan menyenangkan sekali bahwa usaha kita selama ini membuahkan hasil yang manis.
Sekali lagi, selamat Vira. Tetap semangat ya untuk berprestasi ke tingkat selanjutnya.
-Randi-
Aku menutup surat itu dengan air mata yang mengalir, meratapi kenyataan yang menyakitkan dalam pandanganku; kita sama-sama bodoh. Dia begitu bodoh untuk pergi tanpa mengetahui perasaanku sedikitpun, dan aku begitu bodoh karena terlalu berlebihan menganggap sosoknya sementara ia berpikiran bahwa kepergiannya itu menandakan kita telah selesai dengan urusan yang telah kita lalui. Gone and done…
***
*cerpen ini diikutsertakan dalam lomba #KampusFiksi Diva Press ank ke3

No comments: