Sunday, September 15, 2013

REVIEW BOOK: RAIN IN PARIS (2013)



“Drey, apa yang paling kamu suka?”
“Hujan,”
“Mengapa hujan?”
“Karena hujan selalu turun tanpa peduli omongan orang.”  Mata Drey menengadah, menatap langit yang kini hujan rintik-rintik. “Ketika hujan turun, ada orang yang mencaci makinya karena mengganggu harinya, atau membuat cuciannya nggak kering, atau bisa juga karena orang itu takut banjir di daerah rumahnya.” Drey mulai menjelaskan filosofi hujannya. “Tapi, hujan tetap akan turun karena ia tahu selalu ada orang yang menginginkan kehadirannya. Entah karena bosan dengan musim kemarau berkepanjangan, atau ingin melihat pelangi sesudahnya.”

Beberapa kalimat cantik yang ditulis oleh Cindy Pricilla dalam novel pertamanya yang berjudul Rain In Paris, membuatku kagum begitu memaparkan filosofinya sendiri tentang hujan. Lalu, dikemas dalam cerita yang unik ber-setting Paris lewat tokoh-tokoh utama bernama Audrey dan Valian; dua orang yang saling jatuh cinta, namun memilih berpisah karena Valian tidak terima pada keputusan Audrey yang meninggalkannya untuk bertolak ke Paris.
“Jadi, aku ingin seperti hujan, tanpa peduli orang yang tidak suka denganku. Aku akan terus hidup dan berkarya. Karena, aku tahu selalu ada orang yang menyayangiku.”
Audrey yang bertekad untuk melanjutkan studinya di IFA-Paris, sebenarnya mengharap akan persetujuan Valian untuk sama-sama sanggup melakukan Long Distance Relationship. Sayang, Valian justru berbeda anggapan. Ia tak akan sanggup menjalankan itu, sekalipun mereka juga bisa berkomunikasi lewat Skype.
Tiga tahun rupanya bukan waktu yang efektif untuk Valian melupakan Audrey. Ia pun berinisiatif untuk mencari-cari beasiswa ke Paris demi menyusul Audrey. Yang ia tahu, ia hanya mencintai gadis itu, sekali pun sang ibu menjodohkannya pada Sidney; gadis blasteran Australia yang memiliki latar belakang sebagai anak broken home atas perceraian kedua orang tuanya.
Begitu pun di Paris, Audrey masih menyimpan luka atas perpisahannya dengan Valian, meskipun di satu sisi, ia juga masih mengharapkan keajaiban untuk kembali bersama Valian datang. Ia enggan membuka hati pada siapa pun, termasuk Alex, yang selalu bersikap manis padanya. Namun, ia akhirnya bisa menerima kenyataan ketika ia tahu bahwa sakit hati pada lubang yang sama adalah kebodohan. Maka, perlahan ia mulai bisa menerima Alex dan berusaha meninggalkan Valian.
Di bawah rintikan hujan, Menara Eiffel menjadi saksi bisu atas pertemuan kembali Valian dan Audrey. Mereka berdua terkesiap. Terlalu terkejut untuk membayangkan cerita baru di atas perihnya cerita lama…

Yang paling kusuka dalam novel ini, Cindy Pricilla sanggup mengalirkan logika cerita tepat pada jalurnya. Karena, ini menjadi konflik bagi penulis pemula yang terkadang tidak disadari; alur melenceng, berusaha berbahasa romantis tapi justru tidak logis, penokohan yang begitu aneh, salah mengemas cerita, dsb. (jujur banget, ya, aku, hehehe :p) Tapi, beruntung ketika aku membaca ini, kasus-kasus penulis awal di atas tidak terjadi. Pembaca justru dibuat mengalir lewat cerita yang tersampaikan lewat sosok Audrey dan Valian. Kedua tokoh yang menjadi perantara bagi kita untuk memetik amanat lewat turunnya hujan; Tetap terus berkarya dan berjuang!
Sebuah kalimat lain yang kugores sendiri, terinspirasi dari novel ini; Lewat sebelah mata, hujan memang dipandang tidak menyenangkan. Tapi, hanya orang yang bisa melihat dengan kedua mata lah keindahan pelangi itu datang sesudahnya.
Love,
-AF-

***
JUDUL NOVEL: RAIN IN PARIS
PENULIS: CINDY PRICILLA
PENERBIT: DE TEENS (DIVA PRESS 2013)
HARGA: 32.000

1 comment:

Evi Sri Rezeki said...

Review yang manis sekali :)