Sunday, March 30, 2014

[PARE 11]: BELAJAR TAMYIZ


“Kolom satu saudaranya bi jarin, lagunya… bi ka li laa, ila ‘ala, bifi’lin an dzorof hatta…”
Ada yang tau belajar atau ada yang pernah belajar Tamyiz?
Nah, salah satu kenanganku belajar bahasa Arab di Pare adalah belajar Tamyiz. Salah satu metode baru yang dikembangkan oleh seorang kiai untuk mempermudah para pelajar dalam mencerna bahasa Arab, mulai dari yang masih bocah sampai yang udah bangkotan.
Cara belajarnya? Kita sebagai murid itu harus bernyanyi! Yap, harus. Lagunya bervariasi di tiap kolomnya dan disesuaikan dengan lagu zaman sekarang. Contohnya kalimat di atas, kolom satu itu menggunakan nada dari lagu Iwak Peyek. Sedangkan pada kolom lainnya, mempunyai nada sendiri-sendiri. Dan lagu-lagu di tiap kolom Tamyiz itu kami sebut sebagai mantra.
Pertama kali dikenalkan pada metode Tamyiz, tentu saja aku heran plus penasaran. Selama ini dalam ilmu nahwu yang kupelajari, Tamyiz itu dikenal sebagai takaran. Ada Tamyiz jarak, timbangan, dlsb. Tapi, ini beda. Justru Tamyiz yang dimaksud karena metode ini dibentuk sama kiai yang bernama Tamyiz. Maka, digunakanlah sekaligus sebagai nama metodenya.
Rasa penasaranku bertambah begitu teman-teman semaskan mempromosikan pelajaran ini saat taqyim (evaluasi) setelah maghrib. Testimoni dari mereka yang pernah belajar, katanya mempelajari Tamyiz itu menghilangkan stress. Rasanya asyik-asyik aja gitu disuruh belajar sambil nyanyi. Adu kencang suara juga boleh. Mau yang ditampilkan justru suara falsnya juga nggak masalah. Pokoknya bebas. Siapa yang nggak tertarik coba denger kalimat provokatif macam begini? Lagi pula, rasanya unik banget gitu, belajar nggak pakai stress. Apalagi belajar bahasa Arab yang notabene-nya justru rumit.
Singkat cerita, aku akhirnya mendaftar dan membeli bukunya. Setelah mencocokkan jadwal beserta pengajar, jadilah yang terpilih Ustadzah Nadia Sarah Shabrina Safnihar yang mengajarkanku dalam metode ini.
Kami memulai pelajaran ini justru paling terlambat. Sekitar sepuluh hari sebelum pulang, itu pun cuma berlangsung sampai tiga pertemuan, karena susah mengatur jadwal. Dan selama mengenyam pelajaran yang nggak tuntas itu, aku ditempatkan ke dalam satu kelas bersama mayoritas mahasiswi-mahasiswi teladan. Siapa mereka? Ada Mbak Ani Ana (atau Ana Ani, ya? Lupa. Pokoknya itu :D) yang paling pendiam, Badi’ah, Ariena, sama Nadia. Saking teladannya mereka, nggak segan-segan buat berpartisipasi kalau aku dikit-dikit protes sama lagu dari mantra Tamyiz yang menurutku rada-rada. :p
Contohnya begini, aku kasih gambaran salah satu adegan a la mahasiswi teladan yang lagi belajar Tamyiz sama ustadzah yang masih jadi anak sekolahan.
“Udah lanjutin lagi, nih,” kata ustadzah Sarah yang waktu itu mungkin lagi berusaha buat mengendalikan kita yang bawel. Ia menyanyikan lagu dari salah satu kolom (yang aku lupa kolom berapa), yang menurut kita paling awkward. “huwa huma hum, tak gendong, hiya huma hunna, gendong balik, anta antuma antum, anti antuma antunna. Ana nahnu, ana nahnu…”
Aku cengo. Lagu apa coba pakai ada adegan gendong-gendong segala? Mau dikaitin sama lagunya Mbah Surip juga nggak sama.
Aku lihat ekspresi teman-teman sekitar. Berharap bukan aku doang yang merasa aneh begini.
Tapi Mbak Ani tetap diam sambil senyam-senyum sebagai respons. Atau mungkin karena dari sananya dia diam, ya? Entah.
Badi’ah membuka mulut lebar-lebar. Matanya dipicingkan. Pasti dia juga heran.
Nadia mengerutkan dahi. Mungkin ini pertama kalinya dia yang sebagai penyanyi dengar lagu yang unik begini.
Ariena? Pingsan. ;p
Maka, sebelum semuanya pingsan, aku mengambil alih situasi, “Ih, kok aneh banget, sih? Nggak mau nyanyi ah.”
“Nggak boleh nanyaaa!!” seru –entah suara siapa.
Yup, satu keunikan lagi di belajar Tamyiz ini, kita dilarang bertanya! Unik, kan? Padahal, dari kecil di tiap pelajaran apa pun, justru ada penekanan buat siswa untuk bertanya supaya tidak tersesat menelan pelajaran. Tapi saat belajar Tamyiz, justru berbeda…
Kemudian Nadia, Ariena sama Badi’ah punya cara lain. Mereka tetap nyanyi, dengan menambahkan kata ‘serrr’ ala lagu dangdut di dalam mantra itu. Jadinya kayak begini; “huwa huma hum, tak gendong, serrr, hiya huma hunna, gendong balik, serr….”
“Heh! Laa tughoyyir!
Kali ini, seruan datang dari kamar tetangga membuat kita bergeming sekaligus cekikikan. Artinya, kita nggak boleh mengubah-ubah lagu.
Yap, rules selanjutnya dari belajar Tamyiz ini, kita nggak boleh menambahkan, mengurangi, membuat variasi sendiri baik dari kata, nada, ataupun lagu. Sekreatif apa pun kita suka, pokoknya nggak boleh. Harus menurut ajaran dari sananya supaya kita nantinya nggak kebingungan sendiri saat belajar. Termasuk dilarang mengaitkan ilmu shorof atau nahwu dalam belajar ini.
Sebenarnya, yang paling penting dari belajar apa pun adalah menikmati. Kayak kita berlima ini, menikmati belajar teorinya sekaligus menikmati buat ngerjain ustadzahnya yang masih bocah. :p Meskipun beberapa kali aku (doang) yang harus kena tamparan di tangan ataupun paha dari si ustadzah yang songong itu, ikhlasin aja. Mudah-mudahan lain kali ada waktu buat ngebalesnya. *siapin sarung tinju*
Anyway, meskipun tiga kali belajar Tamyiz, teorinya lumayan ngena di aku. Setidaknya sedikit banyak mengerti lah, meskipun sebenarnya nanggung banget karena (sayangnya) nggak sampai tuntas. Penasaran sih sebenarnya buat selesaiin sampai Tamyiz 3. Tapi waktu kita nggak cukup.
“Ada CD-roomnya nggak, sih? Nanti kita belajar dari dengarin dari sana aja,” usul Ariena yang sebenarnya pakai bahasa Jawa yang kental. Anggap aja dari kalimatnya kalau dia benar-benar mahasiswi panutan yang suka mengulang pelajaran di luar kelas. :p
“Ada, tapi nggak boleh. Belajar Tamyiz itu modelnya harus begini. Face to face sama gurunya,” jawab Ustadzah Sarah –yang tentu aja bikin kami cemberut.
Rada bête, memang. Apa-apa dibatasi. Tapi, kalau kita harus berpikiran luas, strategi belajar yang seperti ini justru bagus. Jadi, nggak ada penyelewengan dari teorinya supaya bisa ditangkap siswa seratus persen.
Lalu, Ustadzah Sarah menggoreskan tulisan di papan tulis. Kali ini, kita belajar analisis kalimat dari Al-Qur’an dengan teori Tamyiz.
“Lho, kok pake spidol ijo sih, ustadzah?” aku bertanya lagi.
Ustadzah Sarah menoleh.
“Eh iya , lupa. Nggak boleh nanya ya…”
Sontak, dia tergelak. “Gebleek…!” sahutnya seraya menamparku. Kali ini kena paha.
Siaull. Monyong banget sih bocah ini! err…. 
Ini dua buku Tamyiz yang jadi objek pembelajaran.
 
Ini sejarah Tamyiz yang harus dicatat di pertemuan pertama! dan kalau bisa, pakai pensil catatnya. :))

-AF

1 comment:

Anonymous said...

Whilst good nutrition is among the most crucial aspects of a child's
health, what we give our kids to drink is equally as significant as
the standard of food we let them have to eat. The range of medicines for children also may include medicines and accessories
for infants and toddlers. According to Ayurveda the obese persons tend to be
vulnerable to the next diseases.