Tuesday, March 11, 2014

[PARE 2]: FIRST IMPRESSION, UNFORTUNATELY BECAME YOUR NIGHTMARES. :"


 
Suasana kelas Aidina 2
Bagi sebagian yang jeli dalam penglihatan, kesan utama menjadi patokan penilaian dalam sebuah pertemuan. Dan sebagian yang lainnya, lebih peduli untuk menilai di kesan selanjutnya.
Di hari itu, ketika resmi tiba di Pare bersama Lele, ketika kami langsung mendaftar kursus beserta asramanya di tempat, menit selanjutnya datang tiga orang perempuan datang ke ruangan dan melakukan hal yang sama dengan kami; mendaftar jadi murid. Kalau tidak salah, mereka hanya memverifikasi pendaftaran yang sudah mereka lakukan di website, berbeda denganku dan Lele. Kami berkenalan di sana dan ternyata sesuatu mengejutkan terjadi selanjutnya; kami berasal dari universitas dan jurusan yang sama! Aku, Lele, dan tiga anak itu. Namanya Gita, Kiki, dan Ami. Adegan yang hampir seperti di film-film. Kami yang saling tidak kenal sebelumnya, bertemu di sana. Mungkin karena mereka menjadi adik kelasku dan punya kegiatan yang berbeda di luar kampus, jadi jarang bertemu. Hoho. *alibi*
Dalam hal memilih kelas, aku dan Lele terpisah. Dia di kelas Aidina 1 (kelas percakapan/muhadatsah) dan Qowaid 1 di Ocean. Sedangkan aku, memilih Aidina 2 dan mengambil Qowaid 1 di Alfarisi –lembaga lain yang direkomendasi Nuyuy dalam hal Qowaid. Sedangkan dalam hal kamar di maskan, aku dan Lele dipisah. Kami berada di kamar yang bersebelahan, yang sebelumnya kami menyatukan diri di kamar yang didominasi oleh anak-anak dari UIN Malang.
Kesan pertama saat tiba di sana? Tentu saja sempat shock dan merasa tidak betah. Proses adaptasi memang tidak bisa secara instan dilakukan. Pernah juga aku berpikir buat beli tiket pulang saat itu juga, namun di detik selanjutnya menyadari bahwa itu tindakan cuma-cuma. Berpikir susah payahnya mendapat ridho orang tua agar dapat izin belajar di Pare dari semester satu, dan baru terealisasi di semester lima. Mungkin begini rasanya orang yang pernah tinggal di pondok yang posisinya ratusan kilometer dari rumah. Berbeda denganku yang masih tinggal di kota, segala sesuatunya terjangkau dengan mudah.
Kalau ada yang berpikiran Kampoeng Arab itu seperti tinggal di pesantren, dalam persentase 75%, aku akan mengangguk. Peraturan di asrama Ocean memang dibuat layaknya pesantren dan sempat membuatku ciut. Meskipun pernah tinggal di pesantren, dua setengah tahun dibebaskan di luar dan kembali dikekang rasanya sempat down. Tapi alhamdulillah itu hanya sebatas persepsi awal, karena 25% sisanya itu mematahkan gagasan yang hanya sebatas mengandalkan perasaan tadi. Peraturan di asrama ternyata nggak kaku. Jadi kita sebagai anggota merasa hangat, bersaudara, dan nyaman. Masih bisa pakai gadget –kecuali untuk menelepon- sampai jam berapa pun, agar tidak mengganggu.

Pertama kali ada perkumpulan di asrama (yang kemudian rutin dilakukan tiap habis solat maghrib), satu persatu diperkenankan untuk mengenalkan diri berupa nama dan asal. Saat giliranku tiba, beberapa pasang mata menatap, detik selanjutnya mereka menahan tawa dengan kompak, aku mengerjap-kerjap. Ini kenapa coba? Bahkan, di antara mereka ada yang terang-terangan tergelak dan menunjuk sesuatu di kepalaku.
Aku introspeksi, mencari sesuatu yang menjadi sumber memalukan di depan teman-teman baruku ini.
Oh dear, kenapa aku baru sadar kalau aku masih mengenakan mukena punya nyokap yang nyaris-seperti-daun-selada di bagian kepala? Pantas aja mereka ketawa! Aku aja kalau mengaca dalam style ini rasanya ogah melihat muka sendiri. Sudah seperti bayi di kartun Tom and Jerry jadinya!
 Dan di saat itu juga, aku mengikrarkan dalam hati kalau aku gagal memberi kesan –yang setidaknya keren- di depan teman semaskan. It’s mean, aku gagal pencitraan… :”
***
Masuk di kelas baru Aidina 2 dengan tidak ada siapa pun yang kukenal, membuat bibirku tertutup lebih lama. Ada Vero, anak UIN Malang yang baru kemarin kuajak kenalan beserta dua sahabatnya. Tapi sayangnya, dua sahabatnya itu lebih memilih di kelas Aidina 1, satu kelas bersama Lele.
Kelas Ocean kami dipakai secara bergantian. Mulai dari Aidina 1-3 dan Qowaid 1-3. Kami duduk secara lesehan di atas karpet hijau dengan posisi putri di kanan dan putra di kiri. Sebelum belajar, kami dirutinkan untuk bernyanyi. Ada sekitar empat sampai lima yel-yelan yang diputar secara berulang. Sesuatu yang sempat bikin aku ternganga karena harus melakukan hal begini.
Toh, mengelak pun akhirnya tak bisa, bukan? Karena pada selanjutnya, aku jadi ikut terlarut dalam adegan seperti ini. :D
Adegan shock selanjutnya adalah, ketika aku menyadari bahwa aku dipertemukan pada kelas yang tingkat aktif dalam berbicaranya tinggi! Dan parahnya, itu kebanyakan terjadi pada kaum lelaki. Jadi ceritanya sama, ketika awal masuk, masing-masing anak di kelas Aidina wajib memperkenalkan diri di depan kelas. Kurang lebih kalimatnya diseragamkan seperti ini:
“Fii hadzihi furshoti’tsamiinah, ismahuliy an u’arrifa nafsiy lakum. Ismiy kamil….” (Di dalam kesempatan yang berharga ini, perkenankan saya yang akan mengenalkan diri pada kalian. Nama saya… {setelah itu menyebutkan nama sendiri})
Dilanjuti dengan; “tunaadunaniy…” (panggilan saya… {sebutkan nama panggilan})
Lalu: “Ji’tu min…” (saya datang dari… {sebutkan asal})
Dan yang terakhir; “hal indakum su-al?” (Apakah kalian punya pertanyaan?)
Untuk pertanyaan terakhir itu, kita yang memperkenalkan diri wajib menjawab apa pun pertanyaan dari audience. Entah itu cita-cita, makanan kesukaan, kenapa datang ke sini, dan lain-lain. Apa pun. Dan dilarang dengan menjawab; sirr yang berarti ‘rahasia’, karena akan diberi hukuman oleh ustad.
Kesan pertamaku pada kelas sendiri itu adalah anak cowoknya pada bawel! Ada aja yang diledek dan lontaran pertanyaan aneh kalau anak putri yang disuruh untuk maju. Entah bajunya lah, tingkah lakunya lah. Pernah suatu hari ada temanku yang diledek karena gamis yang dikenakannya banyak pita. Katanya, baju itu mirip dengan paket pos. Benar-benar uji mental!
Sampai suatu hari giliran majuku tiba. Yang sayangnya, aku terlewat dalam memadupadankan rok dan blus yang benar. Bukan seharusnya baju crop tee dipasangkan dengan rok jeans yang belt-nya lumayan besar. Hasilnya, saat aku maju, sempat harus memperbaiki posisi rok supaya terlihat tepat. Yang tanpa disangka, justru itu mengundang tawa dan tanya menyebalkan dari pihak cowok.
“Hal indakum su-al?” tanyaku setelah memperkenalkan diri. Dalam hati, berharap lolos dari pertanyaan-pertanyaan aneh yang akan terlontar.
Tapi sayangnya, dewi Fortuna seperti tak ingin berpihak padaku. Mungkin ia ingin aku berada dalam gagal pencitraan yang totalitas –setelah hal itu terjadi di maskan. Hiks… apa yang terjadi? Salah satu anak putra bertanya, kombinasi rasa malu yang meluap ditemani dengan tawa yang tak lagi bisa dibendung menyatu padu. Aku sendiri jadi tak bisa menahan untuk tertawa pada diri sendiri.
“Hal anti mulaakimah?” (Apakah kamu petinju wanita?)
Oh dear, sepertinya saya sedang berselimut pada mimpi buruk! Maluuuu….!

2 comments:

Arina Istiqomah said...

haha, iya? kamu digituin? parah emang dasar mereka zifit banget, tapi mending dari pada aku dikain mumatsilah, aduhh. gila banget emang mereka :D

Arina Istiqomah said...

Selalu ada cerita baru disetiap perkenalan,emang zifit banget mereka. Hahahahahah