Tuesday, January 13, 2015

RESPECT


Setahun lebih, gadis itu menyimpan sendiri. Atau mungkin sebenarnya sudah ia bagi kepada orang yang ia percaya. Tapi tidak padaku. Tidak sampai hari ini, ketika ia datang padaku dan berubah pikiran.
“Gue nggak suka orang itu. Sengak!”
Cerita dimulai dari kisah seseorang yang sudah lama dihapus dari hidupnya. Seseorang yang tak perlu ia ceritakan ke mana-mana, pada siapa-siapa yang bertanya. Apalagi pada si penanya yang hanya ingin memuaskan keingintahuannya. Tidak melegakan hati, tidak ada solusi, tapi justru membuat segalanya jadi rumit.
Seperti orang yang gadis itu ceritakan; seorang perempuan yang sekonyong-konyong datang kepadanya, sekaligus menjadi alasan gadis itu untuk bercerita padaku saat ini.
“Tanpa aba-aba, dia bertanya ke gue dengan ekspresi yang bikin muak seolah-olah dia tau segalanya. Seakan-akan setengah hidup gue dihabiskan bareng dia, lalu dia tau kehidupan gue dari A sampai Z, jadi berhak mengambil kesimpulan sesukanya!”
Aku bisa melihat kilatan amarah di mata gadis itu ketika bercerita tentang perempuan yang membuatnya jengkel. Sejujurnya, aku tidak begitu mengerti tentang masalahnya, tentang orang yang sudah lama ia hapus, juga tentang perempuan yang memuakkan itu.
Lalu, aku memberanikan diri untuk bertanya, dan gadis itu percaya padaku untuk bercerita. Selama itu, nalarku berhati-hati mengambil kesimpulan, hingga mengerucut pada satu kalimat; gadis itu dikecewakan.
Pada dasarnya, aku mengenal gadis itu dengan baik. Ketika ia menyayangi seseorang, ia akan sayang sebenar-benarnya. Dan ia pernah bilang suatu hari padaku, kalau ia dikecewakan, ia juga akan kecewa pada dirinya sendiri—yang dengan mudahnya percaya pada orang yang pada ujungnya membuatnya kecewa—sehingga berimbas pada tingkah lakunya yang cenderung menghindar. Ia takut kembali berhadapan, karena yang di bayangannya—sesuatu yang mengecewakan itu akan kembali terulang.
Gadis itu sakit hati. Dan sakit hati itu berbeda dengan patah hati.
Maka, aku kembali bertanya; apa tidak ada maaf?
Gadis itu diam. Tatapan dan ekspresinya mendingin. “Maaf dan mempelajari kesalahan itu berbeda kan?”
Aku tercekat, bingung harus menjawab. Apa gadis itu sebenarnya sudah memaafkan? Atau sikapnya yang seperti ini karena butuh waktu agar tak ada lagi kesalahan yang sama?
Sepertinya menurutku, yang kedua lebih tepat.
Mungkin memang bagi kebanyakan orang, memaafkan adalah melupakan. Menghapus segalanya dan merangkai sedari awal. Namun buat beberapa orang, memaafkan itu bukan melupakan. Perlu waktu untuk belajar untuk tidak jatuh pada lubang yang sama. Apa pun, luka tetaplah luka.
Dulu, mungkin gadis itu telah memberi kesempatan untuk memperbaiki keadaan pada orang yang sama dengan sekarang. Tapi, karena yang terjadi adalah ‘terulang’, maka gadis itu menarik diri dan menjadi seperti ini.
Nampaknya, aku masih pada keingintahuanku. Lalu aku kembali melontarkan tanya; apa yang mereka lakukan selama tahu sikapmu seperti ini?
Dia membuang tawa. Tawa sinis dan mata yang tak lepas dari kilatan marah. “They act as what I do is just joke.”
Sudah kuduga, penumpuk kegeraman gadis itu pada sikap kedua orang tadi. Siapa pun, jika pada titik perasaan yang serius pasti akan merasa kesal jika dipermainkan. Dan kedua orang tadi, mempermainkan kekesalan gadis itu seolah-olah ini adalah suatu lelucon.
Gadis itu melenguh. Diembuskan napasnya keras-keras, seraya mengakhiri percakapan kami, “I’m no longer respect to them anymore. Especially to her! I’m sick off with her face when she mocks at me. Gue nggak kebayang, perempuan itu berani dibayar berapa sama dia sampai bisa-bisanya, perempuan itu mengambil kesimpulan kacangan begitu!”
Pada akhirnya, mungkin lebih baik kedua orang tadi ditempatkan di tempat semula. Tempat ketika mereka tak lagi saling mengenal. Supaya tidak ada yang kecewa dan dikecewakan.

-AF

1 comment:

Restii said...

Ngena banget isinya. bahasanya halus fii :D