Wednesday, September 30, 2015

[CERPEN] RECOVERY



Aku mematut diri di depan cermin cukup lama. Benda yang berukuran nyaris setengah badanku itu memantulkan sosok yang menakutkan untuk dilihat; tubuh yang kurus, wajah yang semakin tirus, kelopak bawah mata yang semakin hitam, serta bibir yang tak lagi memerah. Ya, itu aku. Aku yang menakutkan. Dan kenyataan itu tidak ingin kuubah sekalipun hanya dengan menggaris senyum.
Lagi pula, apa yang bisa dijadikan alasan untuk senyum saat keadaan seperti ini? Kalau pertanyaan itu dilontarkan kemarin—ketika terakhir kali aku sadar sebelum ini, mungkin jawabanku saat itu adalah; aku akan tersenyum di saat darah tidak mengaliri tubuhku, napas yang tak lagi berembus dari diriku, serta jiwa yang terpisah dari ragaku. Saat itu, aku ingin kelopak mataku terpejam selamanya dan aku tersenyum penuh kedamaian. Meninggalkan segalanya. Meninggalkan luka. Meninggalkan dia.
Aku sendiri tidak mengerti entah bagaimana caranya bisa ada di sini—ruangan yang didominasi warna putih serta terdapat beberapa bilik dalam satu kamar—dan tidak mengerti juga sejak kapan ada di sini. Karena yang terakhir kali kuingat adalah aku berada di laut, seorang diri, dan tetap pada niatku untuk menjadikan tempat itu sebagai tempat terakhir kali aku membuka mata. Aku ingin mengakhiri hidup di tempat yang paling kusuka. Tempat yang mengingatkanku padanya.
“Kau harus istirahat dan makan makanan yang kami beri, Nona.”
Oh, sial. Kenapa harus ada perawat ini di sini? Aku tidak ingin makan apa pun, dan kurasa, aku juga sudah cukup lama berbaring sejak kemarin-kemarin. Aku membenci diriku sendiri yang masih bisa membuka mata dan bernapas normal saat ini. Kenapa perawat ini tidak membiarkanku lebih lama menatap cermin untuk melampiaskan segalanya?
Aku menatapnya tajam dan penuh amarah, tapi perawat itu justru mengabaikanku. Sebegitu lemahnya kah sorot mataku saat ini sampai apa yang kuekspresikan tidak tersampaikan dengan baik?
Baiklah, kalau begitu, aku yang harus berbicara, “Kalau saya istirahat dan makan sekarang, apa saya akan mati secepatnya?”
Perawat itu terkejut—sebelum akhirnya ia mengendalikan diri dan bertanya, “Maksudmu, Nona?”
“Suster tidak tahu apa yang saya mau. Saya tidak menginginkan makan. Saya tidak ingin istirahat. Saya ingin mati. Secepatnya.”
Kulihat perawat itu terdiam sebentar, lalu meraih sebelah tanganku—yang segera kutepiskan. Hidupku terlalu banyak mempercayai orang yang salah, dan aku tidak ingin memperbanyak daftar kesalahanku dengan mempercayai orang baru.
Aku tidak ingin berhadapan dengan orang yang pura-pura baik saat ini!
“Kau diberi kesempatan untuk melanjutkan hidup, Nona. Mungkin ini cara Tuhan untuk memberitahumu bahwa ada sesuatu yang ingin Ia tunjukkan. Sesuatu yang tak bisa kau lihat kalau kau mengakhiri segalanya.” Perawat itu memberi petuah padaku. Cih!
“Menunjukkan sesuatu?” Aku tertawa sinis. “Melihat seseorang yang dulunya kaupercaya meninggalkanmu, contohnya? Lalu dia memamerkan kebahagiaannya ke mana-mana sementara aku…” Kutatap jarum infus di punggung tanganku yang terhubung pada kantong yang menggantung di tiang infus yang kubawa ke mana pun aku berjalan saat ini.  “Berada dalam kondisi seperti ini?”
Aku sedang berharap perawat itu menyerah, lalu mengabaikan gerutuanku dan meninggalkanku sendirian. Tapi yang terjadi adalah perawat itu tersenyum, mengantarkanku ke bilik, dan membantuku berbaring di atas ranjang. Aku kembali dimintanya untuk istirahat, kalau memang bersikeras tidak ingin makan sesuatu apa pun yang disediakan.
Saat itu, tidak ada yang bisa kulakukan selain memejamkan mata, sementara potongan memoriku tentang dia menyesakkan kepala. Saat itu juga, aku sadar bahwa aku tidak bisa menahan lelehan air mata yang keluar dari sudut mata. Semua mengalir begitu saja, sulit kucegah.
Sampai samar-samar kudengar suara seseorang yang berbicara dari balik gorden bilikku. Suara yang mirip dengannya. Koreksi, sangat-sangat mirip. Keyakinan itu membuatku membuka mata—yang kemudian rasa percaya diri itu disadarkan oleh kondisi tubuhku yang rasanya makin lemah.
Ah, apakah itu karena aku terlalu berhalusinasi akibat efek sakitku?
-AF


*tulisan ini disertakan dalam tantangan #NulisBarengAlumni #KampusFiksi bertema Sakit.

1 comment:

Bening Pertiwi said...

cuma mau komentar
kenapa gambarnya yoon eun hye?
jadi berasa nonton drakor deh

salam kenal dari Bening - KF13